Beberapa saat lalu Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyerukan
kepada masyarakat untuk bertobat agar segala macam musibah dan ujian
dari Tuhan bisa berakhir, termasuk musibah berupa kebakaran hutan dan
lahan serta kabut asap (Merdeka.com, 1/11). “Kita melakukan
tobat sehingga apa yang merupakan musibah ujian bisa segera diakhiri,”
kata Lukman Hakim di Masjid Istiqlal, Jakarta, Minggu (1/11).
Terkait itu, pemerintah
dalam hal ini Kemenag, pada 29 September 2015 mengirimkan surat edaran
ke kantor wilayahnya se-Indonesia sampai ke seluruh madrasah-madrasah
untuk menunaikan Shalat Istisqa (Antaranews.com, 1/11).
Sebelumnya, MUI menyeru umat Islam
di Indonesia untuk melaksanakan shalat memohon hujan (istisqa) untuk
mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap (Antaranews, 21/10).
MUI juga menyeru umat Islam
di Indonesia agar bertobat dan memohon ampunan kepada Allah SWT dari
segala macam maksiat. “Karena kekeringan berkepanjangan yang melanda
negeri ini bisa jadi merupakan peringatan dari Allah SWT,” kata Ketua
MUI KH Ma’ruf Amin.
MUI pun menyeru pemerintah
untuk mengambil kebijakan tegas dan strategis yang berimplikasi pada
upaya penghentian atau pengurangan dari berbagai dampak buruk kemarau
panjang. Tindakan tegas bisa berupa penegakan hukum yang menjerakan terhadap setiap pelaku pembakaran hutan dan lahan yang menyebabkan bencana asap serta melancarkan ekonomi yang pro rakyat kecil, yang paling merasakan dampak kemarau panjang (Antaranews, 21/10).
Semua Pihak Harus Bertobat
Betul, semua pihak di negeri ini memang harus segera bertobat. Seruan
tobat baik dari MUI, Menag atau siapapun itu haruslah segera disambut.
Tobat tentu harus dilakukan dalam bentuk tawbat[an] nashuha secara menyeluruh dan dilakukan bersama-sama oleh umat ini.
Ali bin Abi Thalib radhiyalLâh ‘anhu menjelaskan bahwa tobat
harus menghimpun enam hal: 1. menyesal atas dosa yang telah lalu; 2.
kembali melaksanakan kewajiban; 3. menolak atau mengembalikan kezaliman
(mengembalikan hak kepada yang berhak); 4. mengurai persengketaan; 5.
ber-‘azam tidak akan mengulangi kemaksiatan itu; 6. menggiatkan
diri dalam ketaatan seperti dulu membiasakan diri dalam kemaksiatan
(Imam al-Baydhawi, Anwar at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, tafsir QS at-Tahrim: 8).
Karena itu untuk melakukan tawbat[an] nashuha itu kita harus: Pertama, menyesali kemaksiatan yang dilakukan. Bahkan menurut Imam an-Nawawi, an-nadam (penyesalan) ini adalah rukun utamanya. Kedua, memohon ampunan (istighfar) kepada Allah. Ketiga, berhenti dan meninggalkan kemaksiatan itu. Keempat, bertekad tidak mengulangi kemaksiatan itu pada masa datang. Kelima, meng-qadha’ kewajiban yang ditinggalkan yang memang harus di-qadha’. Keenam, mengembalikan hak kepada pemilik hak dan atau meminta bara’ah
(pembebasan) dari orang yang haknya dilanggar. Tentu tobat menjadi
tidak bermakna jika hak orang yang dilanggar masih terus dikangkangi.
Ada beberapa kemaksiatan yang terjadi, yang erat kaitannya dengan
bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang melanda negeri
ini lebih dari dua bulan terakhir. Di antara kemaksiatan itu: Pertama, pembakaran hutan dan lahan. Jelas ini merupakan kemaksiatan sebab pembakaran ini menyebabkan dharar
(bahaya) bagi masyarakat. Karena itu pelaku pembakaran, baik individu
atau korporasi (perusahaan), harus menjadi pihak pertama yang bertobat.
Kedua, penguasaan lahan yang sangat luas, apalagi yang semula adalah hutan, jelas merupakan kemaksiatan. Pasalnya, dalam pandangan Islam
hutan adalah milik umum seluruh rakyat. Hutan haram dikuasai atau
dikuasakan kepada individu, korporasi (perusahaan) atau sekelompok
orang. Karena itu, dalam pandangan Islam,
penguasaan lahan dan hutan itu berarti mengangkangi hak milik umum.
Jelas itu merupakan kemaksiatan yang sangat serius karena berakibat
buruk bagi rakyat banyak. Jika untuk mendapat konsesi itu disertai
dengan kolusi, suap dan lainnya, juga jika kemaksiatan penguasaan lahan
itu lantas diikuti dengan pembersihan lahan dengan cara dibakar, maka
itu menjadi kemaksiatan di atas kemaksiatan. Bertobat dari kemaksiatan
ini adalah dengan menghentikan kebijakan penguasaan lahan dan hutan itu.
Lalu hutan harus dikembalikan kepada pemiliknya, dalam hal ini adalah
seluruh rakyat. Artinya, hutan yang dikuasai segelintir orang itu harus
dikembalikan sebagai milik umum, sebagaimana ketentuan syariah.
Ketiga, penguasaan (pemberian konsesi) lahan dan hutan
kepada swasta, pelegalan hal itu dengan UU dan peraturan, kebijakan
mengubah hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan dan hutan tanaman
industri serta kebijakan-kebijakan yang terkait, dsb. Semua itu jelas
merupakan kemaksiatan karena menyalahi syariah Islam tentang hukum kepemilikan umum. Kemaksiatan sistemik yang dilakukan oleh penguasa dan politisi ini malah bisa dianggap sebagai salah satu pangkal dari bencana kabut asap itu.
Bencana kabut asap terus membesar di antaranya juga dipengaruhi oleh lamban dan gagapnya pemerintah
menangani kebakaran lahan dan hutan. Bahkan bencana kabut asap yang
sudah terjadi berulang lebih dari 18 tahun seolah tak pernah diambil
sebagai pelajaran agar program dan kebijakan bisa dibuat untuk mencegah,
mengatasi dan menyelesaikan dampaknya. pemerintah
juga lambat dalam memberikan pelayanan kesehatan dan mengatasi dampak
kabut asap pada rakyat. Semua itu antara lain sebagai akibat dari
penerapan sistem politik demokrasi, ego sektoral, ego daerah, otonomi daerah yang kebablasan dan sederet problem lain yang ada dalam sistem yang dijalankan saat ini.
Keempat, ketidakpedulian terhadap kemaksiatan yang terjadi.
Allah SWT dan Rasul saw. memperingatkan umat dari sesuatu yang akan
menimpa masyarakat secara umum akibat kemaksiatan yang dilakukan oleh
sebagian orang di tengah mereka, sementara masyarakat tidak berusaha
mengubah mencegah, menghentikan dan mengubah kemaksiatan itu. Semua
kemaksiatan di atas—yang berujung pada bencana kabut asap yang menimpa
sedemikian banyak orang—haruslah menjadi pelajaran bagi umat ini
seluruhnya untuk bersama-sama mencegah, menghalangi, menyudahi dan
mengubah berbagai kemaksiatan yang ada.
Tobat Harus Total
Bertobat dalam konteks bencana kabut asap berarti harus: menyesali
semua bentuk kemaksiatan di atas; menghentikan dan meninggalkan serta
beristighfar atas semua kemaksiatan itu; bertekad kuat tidak
mengulanginya; mengembalikan hak kepada yang berhak; dan kembali pada
ketaatan.
Saat ini umat ramai-ramai memohon ampunan dan memohon agar diturunkan
hujan sehingga bencana kabut asap hilang. Allah SWT telah berkenan
menurunkan hujan di beberapa wilayah. Mudah-mudahan musim hujan akan
segera datang dan bencana kabut asap pun hilang. Namun, ingat dan
merujuk kepada Allah SWT hendaknya tidak hanya ketika terjadi bencana,
tetapi harus secara terus-menerus. Allah SWT memperingatkan hal itu:
]وَإِذَا مَسَّ الْإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا
لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ
مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَىٰ ضُرٍّ مَّسَّهُ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ
لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ[
Apabila manusia ditimpa bahaya maka dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri.
Namun, setelah Kami menghilangkan bahaya itu dari dia maka dia
(kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah
berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpa
dirinya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan (TQS Yunus [10]: 12).
Karena itu umat harus berusaha agar tidak seperti yang diperingatkan
dalam ayat tersebut. Jika itu terjadi, umat ini benar-benar tidak tahu
bersyukur. Karena itu pula umat ini harus terus-menerus mengingat dan
merujuk kepada Allah SWT.
Bencana kabut asap kali ini harus dijadikan pelajaran besar untuk
menumbuhkan kesadaran demi menghentikan berbagai kemaksiatan yang
terjadi dan kembali ke ketaatan. Ibrah itulah yang tidak boleh gagal
diambil dari bencana yang terjadi ini. Allah SWT berfirman:
]ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ[
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan (kemaksiatan) manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Sebagai wujud tobat yang sebenarnya, maka ke depan yang harus menjadi
fokus agenda umat adalah mewujudkan ketaatan secara menyeluruh.
Ketaatan menyeluruh itu tidak lain dengan menerapkan syariah Islam secara total dan menyeluruh dalam institusi Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Inilah sesungguhnya wujud nyata dan hakiki dari tawbat[an] nashuha yang harus menjadi agenda utama umat ini ke depan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []Al-Islam edisi 779
Tidak ada komentar:
Posting Komentar