Senin, 15 Mei 2023

Dalil Wajibnya Khilafah atau Imamah

Kirimkan Komentar yang membangun

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Khilafah merupakan ajaran Islam yang dalam istilah modern disebut dengan negara Islam (ad-daulah al-islâmiyyah) atau sistem pemerintahan Islam (nizhâm al-hukm fî al-Islâm). Dalam istilah para fuqaha terdahulu, Khilafah disebut juga dengan sejumlah istilah yang kurang lebih semakna, yaitu Imâmah atau Dârul Islâm atau Imâratul Mukminin. (Wahbah Az-Zuhailî, Al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuhu, 8/407; Imam Nawawi, Al-Majmû’ Syarah Al-Muhadzdzab, 17/517).

Meskipun jelas Khilafah merupakan ajaran Islam, masih banyak umat Islam yang menolak Khilafah, dengan berbagai alasan. Salah satu alasannya, menurut Syekh Mushthofâ As-Sibâ’i dalam kitabnya Ad-Dîn wa Ad-Daulah fî al-Islâm, karena umat Islam menyamakan agama Islam dengan agama Kristen, yakni dianggap sama-sama agama spiritual belaka yang tidak mengatur urusan masyarakat dan negara.

Padahal, ajaran Islam dan Kristen sangat berbeda dalam hal hubungannya dengan negara atau politik. Agama Kristen, memang hanya agama spiritual, tidak mengatur segala aspek kehidupan. Maka dari itu, karakter dasar (nature) agama Kristen adalah bersifat secular, yakni tidak mempunyai ajaran bernegara. Hal ini terbukti dari fakta bahwa Nabi Isa AS hanyalah seorang nabi, namun tidak memimpin negara.

Karena itulah, ketika Nabi Isa AS ditanya orang Yahudi sambil memegang koin dinar Romawi,”Apakah kami harus membayar pajak kepada Kaisar ataukah tidak?”, maka Nabi Isa AS menjawab, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Matius, 22:21). (https://en.wikipedia.org/wiki/Render_unto_Caesar).

Karakter dasar Kristen yang secular itu jelas berbeda dengan karakter dasar (nature) agama Islam. Islam tidak mengenal sekularisme secara mutlak. Hal ini karena Islam merupakan agama sempurna (QS Al-Mâ`idah : 3), yang mengatur segala aspek kehidupan sebagaimana firman Allah SWT :

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ

”Dan Kami telah turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu. “(QS An-Nahl : 89).

Maka dari itu, konsekuensi logisnya, wajar sekali Islam memerlukan institusi negara agar umat Islam dapat mengamalkan ajarannya secara menyeluruh (kâffah). (QS Al-Baqarah : 208). Dan wajar pula Nabi Muhammad SAW tak hanya bertugas sebagai nabi, tetapi juga sebagai kepala negara, khususnya setelah beliau berhijrah ke Madinah pada tahun 622 M.

Syekh Abdullah Ad-Dumaijî dalam konteks ini berkata :

إِنَّ الرَّسولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ أَقَامَ أَوَّلَ حُكومَةٍ إِسْلاميَّةٍ فِي المَدينَةِ ، وَصَارَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ أَوَّلَ إِمامٍ لِتِلْكَ الحُكومَةِ

”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mendirikan pemerintahan Islam yang pertama di Madinah, sehingga Rasulullah SAW itulah yang menjadi Imam pertama untuk pemerintahan Islam itu… Rasulullah SAW melakukan tugas-tugas sebagai kepala pemerintahan, seperti mengadakan berbagai perjanjian, memimpin pasukan perang, mengirim duta dan utusan, dan sebagainya.” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘inda Ahlis Sunnah wa-Al-Jamâ’ah, hlm. 52).

Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, tugas sebagai nabi berakhir, namun tugas sebagai kepala negara, tidak ikut berakhir, namun diteruskan oleh khalifah-khalifah, mulai Khalifah Abu Bakar Shiddiq, dan khalifah-khalifah selanjutnya, hingga khalifah terakhir Sultan Abdul Majîd II, saat Khilafah Utsmaniyyah hancur tahun 1924 di Turki. Sistem pemerintahan Islam yang dijalankan oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq itulah, yang melanjutkan sistem pemerintahan yang dicontohkan Rasulullah SAW, dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan istilah Khilafah.

Khilafah itu sendiri telah didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai ragam redaksi, namun intinya sama, yaitu berkisar pada tiga susbstansi makna berikut ini :

Pertama, Khilafah adalah sistem pemerintahan yang menjadi pengganti atau penerus fungsi kepemimpinan Nabi SAW. Imam Mawardi, misalnya, berkata :

اَلْإِمَامَةُ مَوْضُوْعَةٌ لِخِلافَةِ النُّبوَّةِ

”Imamah (Khilafah) itu ditetapkan sebagai pengganti kenabian…” (Al-Mâwardi, Al-Ahkâmus Al-Sulthâniyyah, hlm. 5).

Kedua, Khilafah menerapkan hukum-hukum Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Biasanya ulama mengungkapkan substansi ini dengan redaksi bahwa Syariah Islam itu, mengatur urusan agama dan dunia. Imam Al-Juwaini misalnya menyatakan :

اَلْإِمَامَةُ رِيَاسَةٌ تَامَّةٌ ، وَزَعَامَةٌ تَتَعَلَّقُ بِاَلْخَاصَّةِ وَالْعَامَّةِ فِي مُهِمَّاتِ الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا

“Imamah (Khilafah) adalah suatu kepemimpinan menyeluruh dan suatu pengaturan yang terkait dengan urusan khusus dan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia.” (Al-Juwaini, Ghiyâtsul Umam, hlm. 15).

Ketiga, Khilafah merupakan sistem tunggal untuk seluruh umat Islam (kâffat al-ummah), yakni tak boleh ada lebih dari satu Khilafah bagi seluruh umat Islam. Ulama biasanya mengungkapkan ini dengan redaksi bahwa Khilafah adalah “kepemimpinan umum” (ri`âsah ‘âmmah) atau “kekuasaan umum untuk seluruh umat” (al-wilâyah al-‘âmmah ‘ala kâffat al-ummah). Imam Al-Qalqasyandi, misalnya, berkata :

اَلْإِمَامَةُ هِيَ الْوِلاَيَةُ الْعَامَّةُ عَلَى كَافَّةِ الأُمَّةِ وَ الْقِيَامُ بِأُمُوْرِهَا وَ النُّهُوْضِ بِأَعْبَائِهَا

”Imamah (Khilafah) adalah kekuasaan umum atas seluruh umat Islam, pelaksanaan segala urusan umat, dan pengembanan segala tanggung jawabnya .” (Al-Qalqasyandî, Ma`âtsirul Inâfah fî Ma’âlim Al-Khilâfah, I/8).

Tiga substansi makna itulah, yang kemudian oleh Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî, dihimpun menjadi sebuah definisi komprehensif untuk Khilafah :

اَلْخِلاَفَةُ هِيَ رِئاسَةٌ عامَّةٌ لِلْمُسْلِمِينَ جَمِيْعًا فِي الدُّنْيَا لِإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَميِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاميَّةِ إِلَى الْعاَلَمِ

”Khilafah adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.” (Taqiyuddîn An-Nabhânî, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, 2/12).

Khilafah ini hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Kewajiban Khilafah ini sungguh telah disepakati secara ijmâ’ (konsensus) oleh seluruh ulama yang terpercaya (tsiqah) dan mu’tabar (kredibel) dari berbagai mazhab.

Syekh Abdurrahman Al-Jazîrî dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Alâ Al-Madzâhib Al-Arba’ah menegaskan :

إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ

”Telah sepakat para imam (Imam Abû Hanîfah, Imam Mâlik, Imam Syâfi’i, dan Imam Ahmad) –semoga Allah merahmati mereka– bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu…” (Abdurrahman Al-Jazîrî, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzâhib Al-Arba’ah, 5/416).

Para ulama telah menjelaskan dalil-dalil wajibnya Khilafah ini berdasarkan dalil Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Kaidah Fiqih (qâ’idah syar’iyyah).

Dalil Al-Qur`an, antara lain firman Allah SWT :

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat,”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS Al-Baqarah : 30).

Imam Al-Qurthubî berkata :

وَهَذِهِ الآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمامٍ وَخَليفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ ، لِتَجْتَمِعَ بِهِ الكَلِمَةُ ، وَتُنَفِّذَ بِهِ أَحْكامَ الخَليفَةِ

“Ayat ini adalah dasar dalam pengangkatan seorang Imam atau Khalifah yang didengar dan ditaati, agar terjadi kesatuan pendapat umat dan agar dapat diterapkan hukum-hukum Khalifah.” (Imam Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur`ân, 1/81).

Dalil lainnya dari Al-Qur`an, firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرمِنكُمْ

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…” (QS An-Nisâ` : 59).

Syekh Ad-Dumaijî berkata :

أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَوْجَبَ عَلَى المُسْلِمِينَ طاعَةً أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ وَهُمْ الأَئِمَّةُ ، والْأَمْرُ بِالطَّاعَةِ دَليلٌ عَلَى وُجوبِ نَصْبِ وَليِّ الأَمْرِ ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَأْمُرُ بِطاعَةٍ مَنْ لَا وُجُوْدَ لَهُ ، وَلَا يَفْرِضُ طاعَةً مَنْ وُجودُهُ مَنْدوبٌ ، فَالْأَمْرُ بِطَاعَتِهِ يَقْتَضِي الأَمْرَ بِإيجادِهِ ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ إِيجَادَ إِمامٍ لِلْمُسْلِمِينَ واجِبٌ عَلَيْهُمْ

”Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk menaati ulil amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk menaati ulil amri itu adalah dalil untuk mengangkat ulil amri, sebab tak mungkin Allah memerintahkan taat kepada pihak yang tidak ada eksistensinya, dan tidak mungkin pula Allah mewajibkan mentaati pihak yang keberadaannya hanya disunnahkan. Maka perintah mentaati ulil amri itu menghendaki adanya perintah untuk meng-ada-kan ulil amri. Jadi perintah ini menunjukkan wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi kaum muslimin.” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm. 47).

Adapun dalil As-Sunnah, antara lain hadits dari Abdullah bin ‘Umar RA dari Nabi SAW :

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتََةً جَاهِليَّةً

”Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak terdapat baiat (kepada seorang Khalifah/Imam) maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim, no. 1851).

Syekh Ad-Dumaijî berkata :

أَنَّ الرَّسولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ وَصَفَ مَنْ يَموتُ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ بِأَنَّهُ مَاتَ ميتَةً جاهِليَّةٌ . والْبَيْعَةُ لَا تَكونُ إِلَّا لِلْخَلِيفَةِ لَيْسَ غَيْرَ . هَذَا واضِحٌ الدِّلالَةِ عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ الخَليفَةِ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ تَكُنْ فِي عُنُقِ كُلِّ مُسْلِمٍ بَيْعَةٌ لِخَليفَةٍ مَاتَ ميتَةً جاهِليَّةً وَلِهَذَا كَانَ الحَديثُ دَلِيلًا عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ الخَليفَةِ

”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mensifati orang yang mati sedang di lehernya tidak ada baiat, sebagai mati jahiliyah. Padahal baiat itu tidak ada kecuali bagi Khalifah (Imam). Ini adalah dalil yang jelas untuk wajibnya mengangkat seorang khalifah, sebab jika baiat ini tidak ada pada leher setiap muslim, maka dia akan mati secara mati jahiliyah. Maka hadis ini adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang khalifah.” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm. 47).

Dalil lain, hadits dari Abu Said Al-Khudri RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :

‏إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ . رواه أبو داود

”Jika keluar tiga orang dalam sebuah perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat amir (pemimpin) salah satu dari mereka.” (HR. Abu Dawud, no. 2708).

Imam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berkata :

فَإِذَا كَانَ قَدْ أَوْجَبَ فِي أَقَلِّ الجَماعاتِ وَأَقْصَرِ الِاجْتِماعاتِ ، أَنْ يوَلّيَ أَحَدَهُمْ ، كَانَ هَذَا تَشْبِيهًا عَلَى وُجوبِ ذَلِكَ فِيمَا هوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ

”Jika syara’ telah mewajibkan pada jamaah yang paling sedikit dan interaksi yang paling minimal, agar mengangkat seorang pemimpin yang mengurus mereka, maka ini adalah perumpamaan untuk wajibnya mengangkat pemimpin pada jamaah yang lebih besar dari tiga orang.” (Ibnu Taimiyyah, Al-Hisbah, hlm. 11).

Adapun dalil Ijma’ Shahabat, antara lain dijelaskan oleh Imam Abdul Qâhir Al-Baghdâdî (w. 429/1037) yang berkata :

فَقَدْ اجْتَمَعَتْ الصَّحابَةُ عَلَى وُجوبِها وَلَا اعْتِبارَ بِخِلَافِ الفوَطيِّ وَالأَصَمِّ فِيهَا مَعَ تَقَدُّمِ الإِجْماعِ عَلَى خِلافِ قَوْلِهِمَا

”Sungguh para shahabat Nabi SAW telah bersepakat mengenai wajibnya Imamah (Khilafah), dan [dengan demikian] tidak teranggap pendapat berbeda dari Al-Fûthi dan Al-‘Ashamm dalam masalah Imamah ini, karena telah lebih dahulu terjadi ijma’ [shahabat] yang berbeda dengan pendapat keduanya.” (Abdul Qâhir Al-Baghdâdî, Ushûluddîn, hlm. 272).

Imam Al-Baihaqî (w. 458/1066) berkata :

وَاسْتَدَلَّ غَيْرُهُ مِنْ أَصْحابِنا فِي وُجوبِ نَصْبِ الإِمامِ شَرْعًا بِإِجْماعِ الصَّحابَةِ بَعْدَ وَفاةِ الرَّسولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَصْبِ الإِمامِ

”Para shahabat kami yang lain ber-istidlâl mengenai wajibnya mengangkat Imam (khalifah) menurut syara’ berdasarkan Ijma’ Shahabat setelah wafatnya Rasulullah SAW untuk mengangkat seorang imam (khalifah).” (Al-Baihaqi, Syu’abul Imân, 6/6).

Sedang dalil Qawâ’id Fiqhiyyah, antara lain disebutkan oleh Syekh Abdullah Ad-Dumaijî :

وَمِن الأَدِلَّةِ عَلَى وُجوبِ الإِمامَةِ القاعِدَةُ الشَّرْعيَّةُ القَائِلَةُ بِأَنَّ مَا لَا يَتِمُّ الواجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ واجِبٌ ، وَقَدْ عُلِمَ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَمَرَ بِأُمورٍ لَيْسَ فِي مَقْدورِ آحَادِ النّاسِ الْقِيَامُ بِهَا ، وَمِن هَذِهِ الأُمورِ إِقامَةُ الحُدودِ . . . إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الوَاجِبَاتِ اَلَّتِي لَا يَسْتَطيعُ أَفْرادُ النّاسِ الْقِيَامَ بِهَا ، وَإِنَّمَا لَا بُدَّ مِنْ إِيجَادِ السُّلْطَةِ وَقوَّةً لَهَا حَقُّ الطّاعَةِ عَلَى الأَفْرادِ ، تَقومُ بِتَنْفِيذِ هَذِهِ الوَاجِبَاتِ ، وَهَذِهِ السُّلْطَةُ هِيَ الإِمامَةُ

”Di antara dalil-dalil atas wajibnya Imamah (Khilafah) adalah kaidah syar’iyyah yang berbunyi “Mâ lâ yatimmul wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib” (Segala kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). Sungguh telah diketahui bahwa Allah SWT telah mewajibkan berbagai perkara yang tidak dimampui oleh orang perorang, misalnya menegakkan hudûd… melainkan harus dengan cara mewujudkan kekuasaan (as-sulthân) yang akan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut dan wajib ditaati oleh rakyat. Kekuasaan ini, tiada lain adalah Imamah [Khilafah].” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm. 59).

Demikianlah sekilas dalil-dalil wajibnya Khilafah. Terkait dalil-dalil ini, ada komentar menarik dari Syekh Yusuf Al-Qaradhawî,”Andaikata dalil-dalil yang sharîh (jelas) mengenai wajibnya Khilafah ini tidak ada, atau andaikan contoh Nabi SAW dan praktik para shahabat menjalankan sistem Khilafah juga tidak ada, namun sesungguhnya karakter dasar agama Islam sebagai agama yang sempurna dan unik, niscaya sudah cukup bagi seorang muslim untuk meyakini wajibnya Khilafah.” (Yusuf Al-Qaradhâwî, Min Fiqh Al-Dawlah fî Al-Islâm, hlm. 19). Wallâhu a’lam.

Rabu, 12 Oktober 2022

pengertian-filsafat-menurut-para-ahli-dan-penjelasan-metodenya

Mata Kuliah S2 Unismuh Palu

Socrates menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas ada dengan mengandalkan akal budi
Eksistensi manusia merupakan hal yang menarik untuk dipelajari. Manusia merupakan makhluk fana yang kompleks. Dalam kehidupan yang singkat di dunia ini, tujuan hidup manusia seringkali dipertanyakan. Aristoteles berpendapat dalam buku Nicomachean Ethics bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir dari eksistensi manusia karena kebahagiaan merupakan hal yang kita lakukan untuk diri kita sendiri.

Perdebatan tentang eksistensi manusia, tujuan hidup, dan sebagainya merupakan bagian dari ilmu filsafat. Dalam Dictionary of Philosophy, filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia yang terdiri dari dua kata, yakni philos yang berarti “cinta” dan sophia yang artinya “kebijaksanaan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.

Pengertian Filsafat Menurut Para Ahli Aristoteles berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Socrates menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas ada dengan mengandalkan akal budi. Menurut Al-Farabi, filsafat adalah ilmu mengenai yang ada, yang tidak bertentangan dengan agama, bahkan sama-sama bertujuan mencari kebenaran. Rene Descartes menjelaskan bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang hakikat bagaimana alam maujud yang sebenarnya.

Menurut Immanuel Kant, filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan tentang Tuhan, alam, dan segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi (teori pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat diketahui. Immanuel Kant menjelaskan, filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup didalamnya empat persoalan yaitu:

Apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika). Apakah yang boleh kita kerjakan? (dijawab oleh agama). Sampai dimanakah pengharapan kita? (dijawab oleh etika). Apakah yang dinamakan manusia? (dijawab oleh filsafat antropolog). Sidi Gazalba dalam Sistematika Filsafat menjelaskan bahwa filsafat adalah hasil kegiatan berpikir yang radikal, sistematis, universal. Kata “radikal” berasal dari bahasa Latin radix yang artinya akar. Filsafat bersifat radikal, artinya permasalahan yang dikaji, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang diberikan bersifat mendalam sampai ke akar-akarnya. Mengutip Buku Ajar Filsafat Pendidikan, Harold H. Titus mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Dalam arti sempit, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan metodologi atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna.

Filsafat diartikan sebagai “science of science” yang bertugas memberi analisis secara kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-konsep ilmu, serta mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup, dan makna hidup.

Ada beberapa definisi filsafat yang dikemukakan Harold Titus, yaitu: Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta. Filsafat adalah suatu metode berpikir reflektif dan penelitian penalaran. Filsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah. Filsafat adalah seperangkat teori dan sistem berpikir. Pertanyaan filsafat ilmu dari Harold Titus meliputi: Apakah akal manusia? Dapatkan akal manusia mengetahui apa yang ingin diketahuinya? Dari apa sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang? Definisi filsafat berbeda bagi setiap orang, tergantung pandangan, analisis, dan keyakinan. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari kebenaran yang sedalam-dalamnya sesuai kemampuan akal budi manusia.

Metode Filsafat Bersumber dari buku Pengantar Filsafat Ilmu, metode digunakan sebagai alat pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filsuf masing-masing. Adapun metode filsafat dijelaskan sebagai berikut. 1. Metode Kritis (Socrates dan Plato) Metode kritis bersifat analisis istilah dan pendapat. Metode ini menjelaskan keyakinan dan memperlihatkan pertentangan dengan cara bertanya, berdialog, membedakan, membersihkan, menyisihkan, dan menolak sehingga pada akhirnya dapat ditemukan hakikat. 2. Metode Intuitif (Plotinus dan Bergson) Metode intuitif menggunakan cara intuitif dan pemakaian simbol-simbol untuk berusaha melaksanakan pembersihan intelektual bersama dengan penyucian moral, sehingga tercapai suatu pemikiran yang jernih. 3. Metode Skolastik (Aristoteles dan Thomas Aquinas) Metode skolastik bersifat sintetis deduktif. Artinya, metode ini memecahkan suatu persoalan dengan analisis dan pengambilan kesimpulan yang dimulai dari prinsip-prinsip umum, kemudian diimplementasikan ke hal-hal atau prinsip-prinsip khusus. Metode ini bertitik tolak dari definisi dan prinsip yang jelas lalu dilakukan penarikan kesimpulan. 4. Metode Geometris (Rene Descartes) Metode geometris dilakukan dengan analisis mengenai hal-hal yang kompleks untuk dicapai intuisi terhadap hakikat-hakikat sederhana, kemudian dideduksi secara matematis segala pengertian lainnya.

5. Metode Empiris (Hobbes, Locke, Berkeley, dan David Hume) Hanya pengalaman yang menyajikan pengertian benar, maka sebua pengertian atau ide akan menghasilkan pengetahuan jika itu bersumber dari pengalaman. 6. Metode Transendental (Immanuel Kant) Bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu berlandaskan dinamika kesadaran diri. Metode ini merupakan salah satu pendekatan teologi kontekstual yang menyatakan bahwa realitas bukan sesuatu yang “ada di luar”, melainkan hakikat sejatinya yang tidak tampak secara imanen. 7. Metode Fenomenologi (Husserl) Metode ini dilaksanakan dengan penyederhanaan secara sistematis (reduction) dan melakukan refleksi secara mendalam dalam setiap fenomena agar tercapai hakikat sesuatu yang ada di balik fenomena. 8. Metode Dialektis (Hegel dan Mark) Metode ini dilakukan dengan mengikuti dinamika pikiran berbasis peristiwa di alam semesta dan bersandarkan pada dialektika, tesis, antitesis, dan sintesis untuk mencapai hakikat kenyataan. 9. Metode Neo Positivis Kenyataan dipahami menurut hakikatnya dengan menggunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksakta). 10. Metode Analitika Bahasa (Wittgenstein) Merupakan metode yang khusus dalam filsafat dengan cara menguji ungkapan-ungkapan yang digunakan berdasarkan analisis bahasa dengan tujuan untuk mencapai kebenaran yang hakiki.

Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul "Pengertian Filsafat Menurut Para Ahli dan Penjelasan Metodenya" , https://katadata.co.id/safrezi/berita/61f205ff60208/pengertian-filsafat-menurut-para-ahli-dan-penjelasan-metodenya
Penulis: Iftitah Nurul Laily
Editor: Safrezi



Kirimkan Komentar yang membangun

Sabtu, 18 September 2021

Pengaruh Corona luar biasa

Apa yang anda pikirkan ??

Setiap membuka FB saya selalu di tanya apa yang anda pikirkan??, Kalau biasanya saya enggan untuk menanggapi atau membalas, tapi kali ini saya memutuskan untuk menanggapi tentang apa yang saya pikirkan:

 Kami sekeluarga isoman selama 10 hari kedepan atas anjuran pemerintah/petugas kesehatan karena ada 3 anggota keluarga kami yang dinyatakan positif Corona.(ok. .ok. . sebagai warga negara yang baik dan yang mencintai sesama saudaranya karena Allah, untuk mencegah penularan kami akan patuh pada apa yang diperintahkan), Namun yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang bertanggungjawab atas penyediaan segala kebutuhan kami sekeluarga ???😭😭😭

Bagaimana kami bisa mengadakan nya, jika keluar rumah saja tidak bisa ??😭😭 . Banyak jualan2 online delivery sih. . tapi khawatir mereka enggan menerima pembayaran uang yang kami pegang 😭. 🙏🙏

Alhamdulillah setiap hari petugas datang memeriksa suhu tubuh kami dan menanyakan berbagai keluhan yang kami rasakan, itu memang tugas mereka, dan kami ucapkan terimakasih untuk itu, tp sebenarnya pertanyaan yang ingin kami dengar adalah apa kebutuhan keluarga yang kurang??, yang harus di adakan??,(bukan tugas mereka sih. .u menanyakan itu. .)  jadi kami bisa betah istirahat dgn nyaman dirumah. 🙏🙏
#semogakalian sehat selalu
#Isoman

Kirimkan Komentar yang membangun

Minggu, 16 Agustus 2020

Anak adalah aset dunia akhirat

*ISLAMIC PARENTING*

﴾ *Mendidik Anak ala Nabi* ﴿

♻️ _Bagian 1_

🔴Lelah mendidik anak? Itu adalah bukti bahwa anda belum menikmati proses dan hasil mendidik anak.

🔴Apakah kita bahagia setelah anak kita sukses (sarjana, dapat kerja, dll)? Itu terlalu lama. Apalagi kalau anaknya banyak.

🔴Anak-anak itu aset. Bukan beban. Anak shalih yang bisa mendoakan orang tuanya, itu aset. Ketika kita meninggal, maka yang paling berhak menshalatkan kita adalah anak kita. Itu aset. Shalat jenazah itu isinya doa semua. Anak itu kekayaan di dunia dan akhirat.

🔴Rasulullah ﷺ bersabda: "Kamu (anak lelaki) dan hartamu milik orang tuamu." (HR. Ibnu Majah, no. 2291)

🔴Artinya, walaupun sudah menikah, orang tua punya hak atas harta kita. Anak-anak yang kita dorong untuk menghafal Al Qur'an 30 juz kelak di hari kiamat yang mendapat keistimewaan bukan hanya anak itu, tapi juga orang tuanya (mahkota).

🔴Hilangkan anggapan bahwa anak-anak itu beban. Anak-anak kita tidak numpang hidup pada kita. Numpang? Anda sombong. Bayi lahir sudah membawa rezekinya. Yang menjadi masalah adalah kita belum "yakin" pada Allah ﷻ dalam masalah rezeki.

🔴Tidak ingin punya anak banyak karena biaya pendidikan mahal? Logis. Tapi itu iman belum berperan. Kalau anak adalah aset, maka kita ingin punya sedikit atau banyak?

🔴Apa fungsinya sabar dan syukur kalau bukan untuk bahagia. Tawakkal. Petani itu bahagia saat tanamannya tumbuh baik, padahal belum panen. Saat hujan turun, padahal belum menanam.

🔴Jadi bahagia itu jangan tunggu panen, jangan tunggu sampai anak besar. Asal prosesnya baik. Kalau seperti ini, maka orang tua akan bahagia sepanjang usia anaknya.

🔴Ada masanya ketika orang tua panen raya. Syaratnya, hanya dengan cara Islam. Mendidik anak itu persis seperti menanam pohon. Allah ﷻ berfirman dalam QS. 3:35-37, didik anak dengan pertumbuhan yang baik.

🔴Di akhir QS. Al Fath berbicara tentang proses pertumbuhan tanaman hingga ia kokoh. Tapi dalam ayat ini Allah ﷻ tidak membahas hingga tanaman tersebut berbuah. Namun hingga tahap ini sudah menyenangkan hati penanamnya.

🔴Allah ﷻ berbicara ini (tanaman) ketika Rasul ﷺ mendidik sahabat-sahabatnya. Dalam surat ini, belum panen saja Allah ﷻ sudah memberikan kebahagiaan.

🔴Anak kita yang menanam siapa? Kita. Setiap proses pertumbuhannya kita merasakan bahagia.

🔴Lalu kapan Allah ﷻ bicara buahnya? Di QS. Ibrahim: 24-25. Baiknya anak kita nanti, maka itu adalah hak Allah ﷻ. Tugas kita adalah menanamnya dengan baik. Semoga kelak Allah ﷻ mengizinkan agar hasilnya baik juga.


♻️ _Bersambung_


📚 Budi Ashari, Lc.
➖➖➖➖➖
۝Allahu A'lam

📖سبحا نك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

🔹۩۞۞۞۝🕌📚🕌۝۞۞۞۩🔹



Kirimkan Komentar yang membangun

Rabu, 15 Juli 2020

NASIHAT SEBAGAI MOTIVASI BAGI PENGHAFAL QURAN

Berikut ini adalah 8 hal yang insya Allah membuat kita senang menghafal Al-Qur'an.

Tips ini dari ustaz di Indonesia yang berjaya menghafal 30 juz dalam 19 hari dan mengambil 56 hari untuk melancarkan hafazannya.

Tapi uniknya, dia mengundang kita untuk berlama-lama dalam menghafal.

Pernah menerima panggilan telefon dari seseorang yang ingin dikirim di pesantren (sekolah pondok) dia.

“Ustadz, menghafal di tempat antum (pesantren) tu berapa lama untuk khatam 30 juz? 

“SEUMUR HIDUP” jawab ustaz dengan santai.

Meski bingung, Ibu bertanya lagi “targetnya ustaz? 

“Targetnya HUSNUL KHOTIMAH, MATI DALAM KEADAAN PUNYA HAFALAN” jawab ustaz lagi.

Jawapan tersebut sarat dengan makna. Prinsip ustaz “CEPAT HAFAL datangnya dari ALLAH, manakala INGIN CEPAT HAFAL (boleh jadi) datangnya dari hawa nafsu dan syaithan. 

(Sebelum membaca lebih jauh, saya harap Anda punya komitmen terlebih dahulu untuk meluangkan waktu 1 jam hari khusus untuk qur'an. Tak kira waktu, yang penting durasi 1 jam.)

1. MENGHAFAL TIDAK HARUS HAFAL

Allah memberi kemampuan menghafal dan mengingat yang berbeza-beza pada setiap orang.

Bagaimanapun imam besar dalam ilmu qiroat, guru dari Hafs yg membaca bacaan kita pada pembahasannya adalah Imam Asim mengambil masa 20 tahun untuk menghafal seluruh Al-Quran.

Target menghafal kita menghabiskan hafazan dengan cepat tetapi kita menghabiskan waktu (hani) yang sudah kita agendakan HANYA untuk menghafal

2. JANGAN TERGESA-GESA, JANGAN PULA DITUNDA-TUNDA

Jika kita sudah memutuskan durasi, dari jam 6 sampi jam 7 adalah WAKTU KHUSUS untuk menghafal misalnya,

Maka berapa pun pun ayat yang bisa kita hafal tidak bisa masalah.

Jangan lari-buru pindah ke ayat ke-2 jika ayat pertama belum benar-benar kita hafal.

Nikmati saja saat-saat ini. Saat-saat di mana kita berbicara dengan Allah.

1 jam saja, tinggal terlalu lama kan? jika dibandingkan dengan masa yang dihabiskan dengan facebook, instagram setiap hari.

Tapi ingat!

Juga bukan untuk ditunda-tunda. Jangan tunggu esok, tunggu keesokan hari masih mengatakan esok lagi.

3. MENGHAFAL BUKAN UNTUK KHATAM, TAPI UNTUK SETIA BERSAMA QUR'AN.
Kondisi HATI yang tepat dalam menghafal adalah BERSYUKUR bukan BERSABAR.

Tapi kita sering mendengar kalimat “menghafal memang perlu banyak bersabar”

Sebenarnya tak salah, hanya kurang tepat.

Kerana pertimbangan mindset kita mengatakan 'sabar', seolahnya ayat quran yang dihafal itu satu beban pula.

Adalah di awal surat Thoha Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan BUKAN SEBAGAI BEBAN.

Untuk apa cepat khatam jika tidak pernah diulang? Setialah bersama Al-Qur'an.

4. SENANG DIRINDUKAN AYAT

Ayat-ayat yang sudah kita baca berulang-ulang belum juga 'melekat' di otak kita, ayat itu sebenarnya rindu dengan kita. Mungkin ayat ini nak kita terus ulang dan ulang.

Maka katakanlah pada ayat tersebut "Aku juga merindukanmu ..." hehe.

Kuba dibaca maksud dan tafsirny. Boleh jadi ayat ini adalah 'jawapan' dari 'pertanyaan' kita.

5. MENIKMATI SAAT MENGHAFAL QURAN

Nikmatnya suatu makanan itu terasa kompilasi kita sedang dikumpulkannya, bukan sebelum makan bukan pula setelahnya.

Nikmatnya menghafal adalah kompilasi menghafal dan kompilasi berulangnya.

6. FOKUS PADA PERBEZAAN, ABAIKAN PERSAMAAN

“Fabi ayyi alaa'i rabbikuma tukadz dziban” jika kita hafal 1 ayat ini, 1 saja! maka sebenarnya kita sudah memiliki 31 ayat dari 78 ayat yang ada di surat Ar-Rahman.

Sudah hampir separuh surat kita hafal.

Maka ayat ini dihafal satu kali saja, fokuslah pada ayat berikutnya dan sebelumnya yang merangkai ayat tersebut.

7. MENGUTAMAKAN DURASI

Seperti yang menjawab di atas, komitmen pada DURASI bukan pada jumlah ayat yang akan dihafal.

Serahkan 1 jam kita pada Allah. Masa yang khusus untuk Kalam Allah.

8. PASTIKAN AYATNYA BERTAJWID

Cari guru yang bisa men'tahsin '(membetulkan) bacaan kita.

Bacaan tidak bertajwid yang 'terlanjur' kita hafal akan sulit dirubah / diperbaiki di hari selanjutnya.

Diharapkan 8 perkara menjadi solusi bagi mereka yang tertekan, bosan, bahkan putus asa dalam menghafal.

Semoga kita masuk syurga dengan jalan menghafal Qur'an. Amiin. Selamat menghafal

 


Kirimkan Komentar yang membangun