Rabu, 26 Juli 2017

iman lemah


GRAFIK KEIMANAN Jika NAFSU > AQAL = AMARAH Type orang yang menyepelekan amaliyah-amaliyah akhirat. Bisa jadi IQ tinggi tap... Sebagai Seorang Muslim yang sejati, adalah keharusan baginya untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik di dunia dan di akhirat, selalu meningkatkan keimanan serta ketaqwaannya kepada Allah SWT, sehingga iapun akan semakin dekat dengan Allah SWT. akan tetapi terkadang keimanan seseorang melemah dan ia tidak sanggup untuk berbuat apa- apa, apa saja tanda- tanda orang yang sedang lemah imannya, berikut adalah tanda- tanda orang yang sedang melemah kadar keimanannya serta bagaimana cara menanggulanginya.



Tanda-tanda Lemah Iman

 1.Terus menerus melakukan dosa dan tidak merasa bersalah

2.Berhati keras dan tidak berminat untuk membaca Al-Qur'an

3.Berlambat-lambat dalam melakukan kebaikan, seperti terlambat untuk melakukan shalat

4.Meninggalkan sunnah

5.Memiliki suasana hati yang goyah, seperti bosan dalam kebaikan dan sering gelisah

6.Tidak merasakan apapun ketika mendengarkan ayat Al-Qur'an dibacakan, seperti ketika Allah mengingatkan tentang hukumanNya dan janji-janjiNya tentang kabar baik.

7.Kesulitan dalam berdzikir dan mengingat Allah

8.Tidak merasa risau ketika keadaan berjalan bertentangan dengan syari'ah

9.Menginginkan jabatan dan kekayaan

10.Kikir dan bakhil, tidak mau membagi rezeki yang dikaruniakan oleh Allah

11.Memerintahkan orang lain untuk berbuat kebaikan, sementara dirinya sendiri tidak melakukannya.

12.Merasa senang ketika urusan orang lain tidak berjalan semestinya

13.Hanya memperhatikan yang halal dan yang haram, dan tidak menghindari yang makruh

14.Mengolok-olok orang yang berbuat kebaikan kecil, seperti membersihkan masjid

15.Tidak mau memperhatikan kondisi kaum muslimin

16.Tidak merasa bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu demi kemajuan Islam

17.Tidak mampu menerima musibah yang menimpanya, seperti menangis dan meratap-ratap di kuburan

18.Suka membantah, hanya untuk berbantah-bantahan, tanpa memiliki bukti

19.Merasa asyik dan sangat tertarik dengan dunia, kehidupn duniawi, seperti merasa resah hanya ketika kehilangan sesuatu materi kebendaan

20.Merasa asyik (ujub) dan terobsesi pada diri sendiri

Hal-hal berikut dapat meningkatkan keimanan kita:

 1.Tilawah Al-Qur'an dan mentadabburi maknanya, hening dan dengan suara yang lembut tidak tinggi, maka Insya Allah hati kita akan lembut. Untuk mendapatkan keuntungan yang optimal, yakinkan bahwa Allah sedang berbicara dengan kita.

2.Menyadari keagungan Allah. Segala sesuatu berada dalam kekuasaannya. Banyak hal di sekitar kita yang kita lihat, yang menunjukkan keagunganNya kepada kita. Segala sesuatu terjadi sesuai dengan kehendakNya. Allah maha menjaga dan memperhatikan segala sesuatu, bahkan seekor semut hitam yang bersembunyi di balik batu hitam dalam kepekatan malam sekalipun.

3.Berusaha menambah pengetahuan, setidaknya hal-hal dasar yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti cara berwudlu dengan benar. Mengetahui arti dari nama-nama dan sifat-sifat Allah, orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang berilmu.

4.Menghadiri majelis-majelis dzikir yang mengingat Allah. Malaikat mengelilingi majels-majelis seperti itu.

5.Selalu menambah perbuatan baik. Sebuah perbuatan baik akan mengantarkan kepada perbuatan baik lainnya. Allah akan memudahkan jalan bagi seseorang yang bershadaqah dan juga memudahkan jalan bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. Amal-amal kebaikan harus dilakukan secara kontinyu.

6.Merasa takut kepada akhir hayat yang buruk. Mengingat kematian akan mengingatkan kita dari terlena terhadap kesenangan dunia.

7.Mengingat fase-fase kehidupan akhirat, fase ketika kita diletakkan dalam kubut, fase ketika kita diadili, fase ketika kita dihadapkan pada dua kemungkinan, akan berakhir di surga, atau neraka.

8.Berdo'a, menyadari bahwa kita membutuhkan Allah. Merasa kecil di hadapan Allah. 

9.Cinta kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala harus kita tunjukkan dalam aksi. Kita harus berharap semoga Allah berkenan menerima shalat-shalat kita, dan senantiasa merasa takut akan melakukan kesalahan. Malam hari sebelum tidur, seyogyanya kita bermuhasabah, memperhitungkan perbuatan kita sepanjang  hari itu.

10.Menyadari akibat dari berbuat dosa dan pelanggaran. Iman seseorang akan bertambah dengan melakukan kebaikan, dan menurun dengan melakukan  perbuatan buruk. 

11.Semua yang terjadi adalah karena Allah menghendaki hal itu terjadi. Ketika musibah menimpa kita, itupun dari Allah. Wallau A'lam Bish-showab
Kirimkan Komentar yang membangun

masalah Keimanan

THORIQUL IMAN (PROSES KEIMANAN)

Uqdatul Kubro
mbah-ngaji
Di saat manusia meranjak dewasa, yang ditandai oleh kesempurnaan akalnya, maka semenjak itu ia mulai berpikir tentang “keberadaanya” di dunia ini. Ia mulai berpikir tentang beberapa pertanyaan mendasar yang sangat perlu, bahkan harus ia jawab. Jawaban tersebut haruslah jawaban yang memuaskan akal dan menenangkan jiwanya. Dan jawaban itu pula yang akan menjadi landasan kehidupan pada masa-masa selanjutnya. Maka selama masalah ini belum terjawab, selama itu pula manusia tidak akan berjalan di dunia dengan tenang. Tanpa jawaban tersebut, ia ibarat manusia tersesat tanpa tujuan yang jelas. Karena sifatnya yang demikian, beberapa pertanyaan pokok dan mendasar ini sering disebut sebagai ‘uqdatul kubro’ (masalah/simpul yang sangat besar).

Pertamyaan mendasar tersebut berupa pertanyaan “Dari manakah asal manusia dan kehidupan ini?” “Mau kemana manusia dan kehidupan setelah ini?” “Untuk apa manusia dan kehidupan ini ada?” Bila pertanyaan ini terjawab terlepas dari jawaban itu benar atau salah maka seseorang akan memiliki landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya itu sendiri. Selanjutnya berjalanlah ia di dunia ini dengan ‘landasan/dasar’ tersebut; ia berbuat dengan standar dan nilai yang ber-dasarkan ‘landasan’ tersebut. Berekonomi dan berbudaya berdasar ‘landasan’ tersebut, bahkan ia akan mengajak orang/kaum lain agar mengikuti ‘landasan’ tersebut.
Sebenarnya, jawaban tersebut sekaligus menjadi pemahaman (mafaahim) orang/kaum tersebut terhadap kehidupan ini. Seseorang atau suatu kaum yang menyelesaikan ‘uqdatul kubro’ tersebut dengan jawaban: “kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah/materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi/benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagian materi selama ia mampu hidup”, maka mereka akan hidup dengan aturan yang dibuatnya sendiri, dengan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan akan berbudaya , berekonomi dan berpolitik untuk mencapai kebahagian material, selama mereka masih mampu hidup. Orang dan kaum seperti ini tidak meyakini adanya hal ghaib (ruh, akhirat, pahala-dosa, dsb), diluar materi.

Sementara itu seseorang atau suatu kaum yang menjawab: “dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia”, maka mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Sang Pencipta tersebut. Standar baik-buruk berdasar aturan Sang Pencipta dan sekaligus menjadi strandar amal yang harus dipertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pencipta.
Demikian gambaran ringkas tentang ‘landasan kehidupan’ seseorang/suatu kaum, yang sekaligus merupakan jawaban’uqdatul kubro’ manusia. Hanya saja gambaran tersebut belum menjelaskan tentang landasan kehidupan mana yang benar dan mana yang salah.

Pemecahan Shohih ‘Uqdatul Kubro
Dengan berbagai upaya, manusia mencoba mencari jawaban tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau akalnya. Karena segala hal yang dapat dijangkau akal manusia, tidak lepas dari alam semesta (al kaun), manusia (al insaan), dan kehidupan (al hayaat), maka ketiga hal inilah yang dijadikan objek atau media berpikir untuk mencari jawaban yang dimaksud.
Pemecahan yang benar terhadap masalah ini tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang alam semesta (al kaun), manusia (al insaan), dan kehidupan (al hayaat), serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Islam telah memberi jawaban melalui proses berpikir yang jernih. Jawaban tersebut memuaskan/ sesuai dengan akal, menenteramkan jiwa, dan sesuai dengan fitrah manusia.

Pandangan Islam Tentang Asal Usul Manusia, Alam Semesta, dan Kehidupan Merupakan Pandangan Yang Shahih.Islam memberi jawaban tuntas yang shohih/benar, yang lahir dari proses berfikir jernih dan menyeluruh. Islam menjawab bahwa dibalik alam semesta, manusia, dan kehidupan ada Al Khaliq (Sang Pencipta), yang mengadakan semua itu dari tidak ada menjadi ada. Al Khaliq itu bersifat wajibul wujud (wajib/pasti adanya) karena kalau tidak demikian maka ia tidak mampu menjadi Al Khaliq. Ia –pun bukan makhluk karena sifat-Nya sebagai pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukanlah makhluk.
Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya dapat diterangkan sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah (tidak dapat berbuat sesuatu dengan dirinya sendiri), serba kurang, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung terhadap segala sesuatu yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat di lampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari ‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa dilampauinya. Begitu pula halnya dengan kehidupan, ia bersifat terbatas pula, sebab penampakan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan apa yang kita saksikan selalu menunjukan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian pula halnya dengan alam semesta. Ia pun bersifat terbatas. Sebab alam semesta itu hanyalah merupakan himpunan benda-benda di bumi dan angkasa dimana setiap benda tersebut memang bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi alam semesta itu pun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia, alam semesta, dan kehidupan, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan akhir keberadaannya).
Apabila kita melihat kepada segala hal yang bersifat terbatas akan didapati bahwa segalanya tersebut tidak azali (tidak berawal dan berakhir). Sebab apabila ia azali, bagaimana mungkin ia bersifat terbatas?. Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya pencipta yang mengadakannya atau mewajibkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ’sesuatu yang lain’ inilah Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan.

Memang benar, bahwa iman kepada Yang Maha Pengatur ini merupakan suatu hal yang fitri dalam diri setiap manusia. Akan tetapi iman yang fitri ini hanya muncul dari perasaan hati yang ikhlas belaka. Dan proses semacam ini tidak bisa dianggap aman akibatnya serta tidak akan membawa suatu ketetapan/keyakinan apabila ditinggalkan (tanpa dikaitkan dengan akal). Sebab perasaan hati semacam ini sering menambah-nambah terhadap apa yang diimani dengan sesuatu yang realistis. Bahkan mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang lazim terhadap apa yang ia imani sehingga dapat menjerumuskan ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala, kurafat (cerita bohong) dan kebatilan, tak lain tak bukan akibat yang timbul dari salahnya perasaan hati. Maka dari itu Islam tidak membiarkan perasaan hati ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Hal seperti ini tidak akan menambah-nambah atas Dzat Allah dengan sifat-sifat yang bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan, atau mengkhayalkan penjelmaan-Nya dalam benda-benda, atau juga menggambarkan sesuatu kemungkinan untuk mendekatkan diri kepada-Nya melalui penyembahan benda-benda yang dapat menjurus kepada kekufuran atau penyekutuan terhadap Allah, atau ke arah dugaan yang salah dan khurafat yang senantiasa ditolak oleh iman yang lurus.
Oleh karena itu Islam menegaskan penggunaan akal bersama-sama dengan perasaan hati dan mewajibkan atas setiap muslim untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT serta melarang bertaklid dalam urusan aqidah. Untuk ini Islam tealah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT:
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (Q.S Ali Imran: 190).
Oleh karena itu maka wajib bagi setiap muslim untuk menjadikan imannya benar-benar timbul dari proses berpikir, penelitian, dan memperhatikan serta bertahkim pada akalnya dalam beriman kepada Allah SWT secara mutlak. Dan ajakan untuk memeperhatikan alam semesta dengan seksama dalam rangka mencari sunatullah serta guna memperoleh petunjuk untuk beriman terhadap Penciptanya. Al Qur’an telah menyebut hal tersebut dalam puluhan ayatnya. Semua ini ditujukan terhadap unsur-unsur pemikiran yang dimiliki manusia agar dapat mengajaknya untuk berpikir serta merenung sehingga imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti. Hal ini juga memperingatkan manusia untuk tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya yang telah merasa puas terhadap apa yang telah mereka temui tanpa meneliti dan mengujinya lagi untuk mengetahui kebenarannya.
Inilah iman yang telah diserukan oleh Islam. Dan iman semacam inilah bukan seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang yang tua renta melainkan inilah iman yang jernih yang meyakinkan, yang senantiasa memandang dan berpikir lalu sampai kepada yakin akan adanya Allah Yang Maha Kuasa lewat pengamatan dan perenungannya tersebut.
Kendati wajib atas manusia untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT namun tidak mungkin baginya untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan indera dan akalnya. Hal ini karena akal manusia terbatas sifat dan kekuatannya. Betapa pun tinggi tingkatannya tetap saja ia terbatas dan tumbuh dalam batas-batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Karena itu pemahamannya pun terbatas.
Oleh karenanya, akal tidak mampu untuk memahami Dzat Allah dan hakikat-Nya sebab Allah berada di luar ketiga unsur pokok alami yang dapat diindera manusia (alam semesta, manusia, dan kehidupan). Akal manusia itu sendiri tidak mampu untuk memahami apa yang ada di balik dirinya, maka tentu saja ia tidak mampu untuk mencapai Dzat Allah. Hanya saja tidak dapat dikatakan: “Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada adanya Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Dzat Allah?”
Tidak, tidak bisa dikatakan demikian, sebab pada hakikatnya iman itu adalah percaya akan adanya (wujud/keberadaan-Nya) Allah, di mana wujud Allah ini dapat dipahami melalui wujud makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia, dan kehidupan. Ketiganya ini berada dalam batas-batas yang dapat dicapai oleh akal.
Dengan memahami ketiga hal itu, orang dapat memahami adanya Khaliq, yaitu Allah SWT. Karenanya, iman kepada adanya Allah harus berdasarkan akal dan dalam jangkauan akal. Berlainan halnya jika orang hendak memahami Dzat Allah di mana hal ini mustahil terjadi. Sebab Dzat-Nya berada di luar unsur alam semesta, manusia, dan kehidupan. Jadi ia berada di luar jangkauan kemampuan akal. Padahal akal itu sendiri tidak mungkin memahami hakikat apa yang berada diluar jangkauannya, disebabkan keterbatasannya untuk dapat melakukan hal itu. Bahkan keterbatasan itu, menjadi faktor penguat iman, bukan malah menjadi penyebab keragu-raguan dan syak.
Sesungguhnya apabila iman kita kepada Allah SWT muncul dari akal, pemahaman kita terhadap adanya Al Khaliq pun akan menjadi sempurna pula. Apabila perasaan hati (yang timbul dari fitrah) yang mengatakan adanya Allah dibarengi oleh akal maka perasaan semacam ini akan tumbuh menjadi suatu keyakinan yang kokoh. Kesemuanya ini akan memberikan pada diri kita suatu pemahaman yang sempurna serta perasaan yang yakin atas semua sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya ini akan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami hakekat Dzat Allah, justru karena kuatnya iman kita kepada-Nya. Selain itu hal ini juga meyakinkan kita bahwa kita wajib mempercayai segala apa yang dikabarkan Allah tentang hal-hal yang tidak sanggup dicerna oleh akal atau dipahaminya. Hal ini disebabkan oleh lemahnya akal manusia untuk memahami apa yang ada diluar jangkauannya dengan mengunakan ukuran-ukuran nisbi yang serba terbatas kemampuannya. Padahal untuk memahami hal semacam ini diperlukan ukuran-ukuran yang tidak nisbi dan tidak terbatas, yang justru tidak dimiliki oleh manusia. Bahkan tidak mampu untuk dimiliki.
Bagaimana Kita Beriman Kepada Allah SWT
Dalam menentukan sifat Al Khaliq/Pencipta ini dapat kita temukan adanya tiga kemungkinan. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud serta mutlak keberadaanya. Dengan pemikiran yang jernih dan mendalam akan dipahami bahwa: kemungkinan yang mengatakan bahwasanya Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang batil (tidak dapat diterima oleh akal). Sebab dengan demikian Ia adalah makhluk dan bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya. Demikian pula kemungkinan kedua yang mengatakan bahwasanya Ia menciptakan diri-Nya sendiri adalah kemungkinan yang batil juga. Karena dengan demikian Ia akan menjadi makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Jelas ini tidak dapat diterima oleh akal. Maka dari itu, hanya kemungkinan yang ketigalah yang shohih, yaitu Al Khaliq itu tidak boleh tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-benda itu terdapat pencipta yang telah menciptakannya. Sebab dapat disaksikan bahwa semua benda- benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Yakinlah bahwa semuanya adalah mahluk. Oleh karena itu untuk membuktikan adanya Khaliq yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam diri manusia itu sendiri.
Dengan mengamati salah satu planet yang ada di alam semesta, misalnya saja bumi, kita akan mendapati betapa teraturnya gerak bumi dan segala kejadian di dalamnya. Jarak bumi dengan matahari yang sangat ‘pas’ menyebabkan bumi bisa menjadi tempat kehidupan manusia. Andaikan bumi lebih dekat dengan matahari beberapa puluh kilo meter saja, suhu bumi yang sangat panas yang dapat menghancurkan kehidupan. Begitu pula andaikan jarak bumi lebih jauh beberapa puluh kilo meter dari matahari tentu suhu di bumi akan sangat dingin sehingga dapat membekukan segala kehidupan yang ada. Dengan metode yang sama kita pun dapat merenungi salah satu gejala kehidupan, atau menyelami salah satu segi didalam diri manusia, akan memberikan bukti yang nyata terhadap adanya Allah SWT, Sang Pencipta dan Pengatur.
Karena itu kita jumpai bahwa Al Qur’an senantiasa melontarkan pandangannya kepada benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak manusia untuk turut mengamatinya serta mengamati segala apa yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang menyakinkan manusia terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur. Secara pasti tanpa ada keraguan. Di dalam Al Qur’an telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan .
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang-orang yang berakal” (QS. Ali Imram:190)
Juga firman-Nya:
Artinya: ”(Dan) di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainnya bahasa dan warna kulitmu“ (QS. Ar Rum:22)
Serta firman-Nya yang lain seperti QS. Al Ghasiyah; 17-20, juga surat Ath-Thariq: 5-7, atau firman-Nya:

Artinya: ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit yang berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering) dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran air dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sesunguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al Baqarah:164).
Ditambah lagi dengan ayat-ayat lain yang serupa, yang mengajak manusia untuk memperhatikan dengan seksama terdapat benda-benda alam, serta melihat apa yang ada di sekelilingnya dan yang berhubungan dengannya (dari segi keberadaanya) untuk dijadikan petunjuk atas adanya pencipta yang Maha Pengatur. Sehingga dengan demikian imannya kepada Allah SWT menjadi iman yang mantap, yang berakar dari akal dan bukti.
Inilah jawaban shohih secara ringkas tentang keberadaan Al Khaliq dibalik manusia, alam semesta dan kehidupan.
Kebutuhan Manusia terhadap Rosul
Adapun bukti mengenai kebutuhan manusia terhadap Rasul dapat kita lihat dari terbuktinya manusia sebagai makhluk Allah SWT yang bersifat terbatas, akal dan kemampuannya. Juga dapat dilihat dari terbuktinya agama itu sebagai suatu hal yang fitri dalam diri manusia, karena ia merupakan salah satu fitrah pen-taqdis-an (pengagunggan dan pensucian) manusia. Dalam fitrahnya itu manusia senantiasa mentaqdiskan penciptanya. Pekerjaan mentaqdiskan inilah yang selanjutnya dikenal sebagai ibadah, yang merupakan tali penghubung antara manusia dan penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan sendiri tanpa aturan akan cenderung terjadi kekacauan ibadah serta menyebabkan terjadinya penyembahan terhadap selain dari pencipta yang sebenarnya. Jadi harus ada aturan tertentu yang mengatur hubungan ini dengan baik. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, karena ia sendiri tidak mampu memahami hakekat kholiq (maksudnya tentang perbuatannya, apakah perbuatan itu diterima atau ditolak oleh Kholiq) untuk dapat meletakan aturan antara dirinya dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu aturan ini harus datang dari Kholiq. Dan oleh karena aturan ini harus sampai ke tangan manusia, maka tidak boleh tidak harus ada para Rosul yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia.
Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap para Rosul adalah bahwa pemuasan manusia akan tuntutan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan gharizah/nalurinya merupakan hal yang mutlak perlu. Pemuasan semacam ini apabila dibiarkan berjalan tanpa suatu aturan akan menjurus ke arah pemuasan yang salah dan berlebihan serta akan menyebabkan malapetaka terhadap umat manusia. Oleh karena itu harus ada aturan yang mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani ini. Hanya saja aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, sebab pemahamannya dalam mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan jasmani senantiasa menjadi sasaran kekeliruan, perselisihan dan keterpengaruhan oleh lingkungan yang di diaminya. Apabila ia dibiarkan membuat aturan sendiri maka aturan yang ia buat pun menjadi subjek kekeliruan, perselisihan dan pertentangan yang akan menjerumuskan manusia ke dalam kenestapaan. Maka dari itu aturan tersebut harus datang dari Allah SWT, yang untuk dapat sampai ke tangan manusia haruslah melalui seorang Rasul.
Bukti Al Qur’an Kalamullah
Adapun bukti yang sangat mudah bahwa Al Qur’an itu datang dari Allah dapat dilihat dari kenyataan bahwa Al Qur’an itu sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rosulullah saw. Karena fakta tersebut, maka dalam upaya menentukan darimana asal Al Qur’an itu, akan kita jumpai adanya tiga kemungkinan. Pertama, ia merupakan karangan bangsa Arab. Kedua, ia merupakan karangan Muhammad saw. Ketiga, ia berasal dari Allah SWT semata. Sebagaimana pernyataan pembawanya. Tidak ada kemungkinan lain selain dari yang ketiga ini. Sebab Al Qur’an adalah khas Arab, baik dari segi bahasa maupun sastranya.

Kemungkinan yang pertama yang mengatakan bahwa Al Qur’an karangan bangsa Arab adalah sutu kemungkinan yang bathil. Sebab Al Qur’an sendiri telah menantang mereka (bangsa Arab) untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat:
Artinya: “Katakanlah: ‘Maka datangkanlah se-puluh surat yang menyamainya”
(QS.Yunus 105)

Artinya: “Katakanlah: Kalau benar yang kamu katakan maka cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya” (QS. Yunus 38)
Bangsa Arab telah berusaha untuk menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Jadi Al-Qur’an bukan dari perkataan mereka karena ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan karya yang serupa. Kendati ada tantangan dari Al Qur’an dan usaha dari mereka untuk membuat karya yang serupa.
Adapun kemungkinan yang kedua, yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu karangan Muhammad saw, adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya Muhammad, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota dari masyarakat atau bangsanya. Selama bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk pula apabila Muhammad saw yang orang Arab itu juga tidak mampu menghasilkan yang serupa. Jadi jelaslah bahwa Al Qur’an itu bukan karangannya.
Hal tersebut makin diperkuat lagi dengan banyaknya hadits-hadits shahih yang berasal dari Nabi Muhammad saw yang sebagian malah diriwayatkan lewat cara tawatur yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Apabila setiap hadits ini dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al Qur’an maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasa (uslub). Padahal Nabi Muhammad saw disamping selalu membacakan setiap ayat-ayat yang diterimanya, juga dalam waktu yang bersamaan (selama bertahun-tahun) mengeluarkan hadits pula. Akan tetapi keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun kerasnya seseorang untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap akan terdapat kemiripan antara gaya bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain. Sebab hal ini merupakan bagian dari dirinya. Jadi karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al Qur’an dengan gaya bahasa hadits maka yakinlah bahwa Al Qur’an itu bukan perkataan Nabi Muhammad saw, disebabkan terdapat perbedaan yang tegas dan jelas antara keduanya. Oleh karena tidak seorang pun dari orang Arab yang bisa menuduh bahwa Al Qur’an itu perkataan Muhammad atau mirip dengan gaya bahasa pembicaraannya, justru karena merasa memiliki pemahaman yang begitu dalam akan gaya bahasa mereka sendiri.
Maka terbantahlah kemungkinan pertama dan kedua. Tinggallah kini tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu bahwa Al Qur’an itu disadur oleh Muhammad saw dari seorang pemuda Nasrani bernama Jabr. Tuduhan ini ditolak keras oleh Allah SWT melalui firman-Nya:
Artinya: “(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, Sesunguhnya Al Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non Arab) sedangkan Al Qur’an itu dalam bahasa Arab yang jelas” (QS An-Nahl: 103).
Apabila kini telah terbukti bahwa Al- Qur’an itu bukan karangan bangsa Arab, dan bukan pula karangan Muhammad saw, maka yakinlah bahwa Al Qur’an itu merupakan perkataan Allah (kalam Allah) yang menjadi mukjizat bagi orang yang membawanya (yaitu Muhammad saw). Tidak ada kemungkinan lain selain ini, dilihat dari kenyataan bahwa Al Qur’an itu berbahasa Arab.
Karena Nabi Muhammad orang yang membawa Al Qur’an yang merupakan perkataan dan syariat, sedangkan tidak ada yang membawa syariat-Nya melainkan para Nabi dan Rasul, maka berdasarkan akal dapat diyakini bahwa Muhammad saw itu seorang Nabi dan Rasul.
Demikian uraian-uraian singkat namun jelas dan tegas tentang dalil aqli utuk beriman kepada (wujudnya) Allah, kepada kebenaran kerasulan Muhammad saw dan kepada Al Qur’an, bahwasanya Al Qur’an itu merupakan kalam Allah.
Konsuekensi Iman Kepada Allah, Rasulullah saw, dan Al Qur’an
Jadi iman kepada (wujud) Allah itu datang dari akal, dan memang harus datang dari jalan seperti ini. Ini pula yang menjadi dasar kuat untuk beriman terhadap hal-hal ghaib dan segala hal yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab jika kita telah beriman kepada Allah SWT, yang memiliki sifat-sifat Ketuhanan itu, maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dicerna oleh akal maupun tidak, karena semua itu dikabarkan oleh Allah SWT.
Dari sini kita wajib beriman kepada hari kebangkitan dan pengumpulan (Ba’ats), surga dan neraka, hisab dan siksa, juga beriman akan adanya malaikat, jin, dan syaithan, serta apa saja yang telah diterangkan Al Qur’an dan hadits qath’i. Iman seperti ini walaupun didapat dengan jalan ’mengutip’ (naql) dan ‘mendengar’ (sama’), akan tetapi pada dasarnya telah terbukti oleh akal. Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti dasarnya oleh akal. Karena seorang muslim wajib mengikuti mengi’tiqadkan segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (qath’i). Yaitu yang telah ditetapkan oleh Al Qur’an dan hadits qath’i (Hadits Mutawwatir). Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal sehat serta nash Al Qur’an dan Hadits qath’i (mutawwatir), haram baginya untuk meng-i’tiqadkannya. Sebab, aqidah tidak boleh diambil kecuali dengan kepastian (keyakinan).
Oleh karena itu kita wajib beriman kepada kehidupan sebelum dunia, yaitu adanya Allah SWT dan proses penciptaan oleh-Nya; serta beriman kepada kehidupan setelah dunia yaitu hari akhirat. Perintah-perintah Allah itu merupakan tali penghubung (silah) antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dunia, yaitu hubungan penciptaan (shilatul khalq); dan sekaligus menjadai tali penghubung kehidupan dunia dengan kehidupan sesudah dunia (shilatul muhasabah). Dan pastilah hal ikhwal manusia terikat oleh tali penghubung ini. Karenanya manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah SWT dan wajib beri’tiqad bahwa ia diciptakan oleh Allah, dan akan dihisab di hari kiamat atas segala perbuatannya di dunia.

Dengan demikian telah terbentuklah pemikiran yang jernih tentang apa yang ada di balik kehidupan, alam semesta, dan manusia. Serta telah terbentuk pula pemikiran yang jernih tentang alam sebelum dan alam sesudah dunia. Dan bahwasannya terdapat ‘tali penghubung’ antara dunia dengan kedua alam tersebut. Dengan demikian telah terurailah ’masalah besar’ itu secar pasti kebenarannya dengan Aqidah Islamiyah.
Apabila manusia telah berhasil memecahkan hal tadi ia dapat beralih memikirkan kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim yang benar (terhadap dunia), yang dihasilkan dari pemikiran dasar tersebut. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi berdirinya suatu prinsip ideologis kehidupan (mabda’) yang membentuk jalan menuju kebangkitan suatu kaum. Mabda itu pula yang akan menjadi dasar bagi tumbuh kembangnya peradaban (hadloroh) suatu kaum. Juga menjadi dasar bagi peraturan-peraturan hidupnya, dan juga menjadi dasar untuk mendirikan Negaranya. Dengan demikian dasar bagi berdirinya Islam, baik secara fikroh (ide dasar) maupun thoriqoh (pola operasional/metode pelaksanaan) adalah Aqidah Islam itu sendiri.
Allah SWT berfirman:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja yang mengingkari Allah dan malaikat-Nya dan kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya dan hari akhir maka ia telah sesat sejauh-jauhnya kesesatan”. (QS An Nisaa: 136)
Apabila semua ini (iman kepada Allah, dst tadi) telah terbukti kebenarannya, maka wajiblah bagi seluruh kaum muslimin untuk beriman juga kepada syariat Islam (sebagaimana ia beriman kepada Aqidah Islam). Karena seluruh syariat itu telah tercantum dalam Al Qur’an dan telah dibawa oleh Rasulullah saw. Apabila tidak beriman maka ia kufur. Oleh karena itu ingkarnya seseorang terhadap hukum-hukum syar’i secara keseluruhan atau sebagian darinya secara lebih terperinci, dapat menyebabkan ia menjadi kufur. Baik hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadah, muamalah, uqubat (sanksi), atau pun math’umat (yang berkaitan dengan makanan). Maka kufur terhadap ayat
Artinya: “ Dirikanlah sholat….”
Sebenarnya sama saja kufur terhadap ayat

Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(QS al Baqarah: 275)
Atau terhadap ayat

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya”. (QS Al Maidah: 38)
       Kirimkan Komentar yang membangun

Senin, 24 Juli 2017

Penyebab Futur

💊 Faktor-faktor Penyebab Futur ðŸ’Š

Pada tulisan sebelumnya telah disinggung bahawa futur atau penurunan semangat atau malas beribadah setelah sebelumnya sungguh-sungguh dan rajin merupakan penyakit yang biasa menimpa para ahli ibadah, juru da’wah, dan penuntut ilmu. Dimana jika terserang penyakit ini seseorang menjadi lemah, lamban, dan malas setelah sebelumnya semangat, rajin, dan bersungguh-sungguh. Bahkan pada tingkat yang paling parah seseorang terputus sama sekali dari suatu amal ibadah dan da’wah, wallahul musta’an. 
Pada tulisan sebelumnya juga telah disebutkan beberapa gejala seseorang terjangkiti peyakit futur. Pada tulisan ini insya Allah akan disebutkan beberapa faktor yang menjadi sebab seseorang dilanda penyakit futur, yaitu;
1. Tidak ikhlas dan tidak menjaga keikhlasan,
2. Tidak menguasai ilmu syar’i,
3. Hati terpikat pada dunia dan lupa pada akhirat,
4. Ujian; istri dan anak anak,
5. Hidup di lingkungan yang rusak,
6. Bergaul dengan orang-orang yang tidak punya iradah dan himmah (keinginan dan obsesi),
7. Maksiat, kemunkaran, dan makanan haram,
8. Tujuan yang tidak jelas,
9. Tidak yakin pada tujuan (cita-cita) yang telah dicanangkan,
10. Tidak realistis,
11. Onak dan duri (Cobaan dan ujian)
12. Hidup menyendiri,
13. Statis dalam sarana amal dan fase-fase da’wah,
14. Menyimpang dari sasaran yang benar,
15. Tidak menyadari rintangan atau tantangan yang menghadang,
16. Tarbiyah yang buruk,
17. Tidak ada keselasaran antara keahlian (potensi) dan pekerjaan,
18. Lingungan yang berbeda,
19. Angan-angan kosong,
20. Sebab-sebab lain, (diantaranya); (a) Penyakit hati seperti dengki, suudzan, dan dendam, (b)Syahwat khafiyah (tersembunyi), (c) tidak sungguh-sungguh dalam beribadah, khususnya amal harian, (d) Membanggakan golongan dan fanatik, (e) Tidak konsisten dalam melaksanakan suatu program, dan sebagainya. 
Demikian beberapa faktor penyebab futur, sebagaimana disebutkan oleh Syekh. Prof. DR. Nashir bin Sulaiman Al-Umar hafidzahullah dalam kitabnya Al-Futur; Al-Madzahir, Al-Asbab, Wa Al-‘Ilaj, uraian dari masing-masing poin tersebut akan dijelaskan pada tulisan-tulisan berikutnya insya Allah. Selamat mengikuti. 
Sumber : http://wahdah.or.id/faktor-faktor-penyebab-futur/

Kirimkan Komentar yang membangun

Senin, 03 Juli 2017

Pasca Ramadhan 1438H

Ramadhan telah berlalu, semoga puasa yang kita jalani selama sebulan telah menempa hati, pikiran, perbuatan, prilaku ke arah yang lebih baik layaknya derajat yang dijanjikan oleh Allah yakni derajat taqwa, menjadi orang yang muttaqin baik pada saat ramadhan maupun pasca ramadhan tahun ini 1438H, tentunya banyak hal yang kita telah dapatkan karena puasa adalah rahmat, magfirah, dan ampunan dimana semua dosa diampuni baik yang telah lampau, maupun yang akan datang asalkan puasa yang kita jalani benar-benar. dan membekas pasca ramadhan.  kita sudah diajarkan untuk selalu bertadarus Alqur'an, Salat berjamaah, memperbanyak salat sunah, memperbanyak sedekah, bangun sahur, semoga bangun sahur memberikan pelajaran untuk tidak lagi telak salat subuh setelah ramadhan berakhir, selamat jalan ramadhan 1438H, selamat datang syawal, yang mana di bulan syawal masih menunggu amalan yang tak kalah pentingnya. yakni puasa syawal 6 hari yang dinilai 365 hari lamanya. sungguh Allah maha pengasih dan penyayang kepada hambaNya. tinggal kita?
Kirimkan Komentar yang membangun