Sabtu, 29 September 2018

Belajar Hakikat Tawakal dari Seekor Burung


Hakikat tawakal adalah kemantapan hati terhadap zat yang mengatur segala sesuatu, yaitu Allah. Sekiranya hati terasa tenang,  jauh dari kebingungan ketika berbagai sebab-sebab duniawi sulit terwujud, karena yakin dan percaya kepada zat yang maha menciptakan segala sebab. Dalam hal ini Uwais Al-Qarni berujar:


لَوْ عَبَدْتَ اللهَ عِبَادَةَ أَهْلِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا يُقْبَلُ مِنْكَ حَتَّى تَكُوْنَ أَمِنًا بِمَا تَكَفَّلَ اللهُ مِنْ أَمْرِ رِزْقِكَ وَتَرَى جَسَدَكَ فَارِغًا لِعِبَادَتِهِ. قَالَ تَعَالَى وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوْا اِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
“Andaikan engkau beribadah kepada Allah sebagaimana ibadahnya penghuni langit dan bumi, maka ibadahmu tidak akan diterima darimu sehingga engkau percaya terlebih dulu dengan urusan rejekimu yang telah dijamin oleh Allah dan engkau lihat tubuhmu memiliki waktu luang (yang banyak) untuk beribadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman: ‘Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian semua bertawakal, jika kalian semua benar-benar orang beriman”
Menurut riwayat dari sebagian ulama, makhluk paling tawakal kepada Allah adalah burung, sedangkan yang paling tamak adalah semut. Kita bisa belajar hakikat tawakal dari seekor burung. Burung yang pergi pagi hari dan pulang sore hari demi mencari rejeki untuk bertahan hidup. Burung tidak berpangku tangan dan bermalas-malasan. Sebuah isyarat bahwa tawakal itu tidak berarti meninggalkan usaha. Rasulullah bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian semua bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberi kalian rejeki sebagaimana Allah memberi rejeki pada burung. Burung keluar (mencari makan) di waktu pagi dalam kedaan perut kosong dan pulang di waktu sore dalam kondisi kenyang.”
Hadis tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa apabila manusia bersandar kepada pemberian Allah saat pulang pergi mencari rejeki, dan yakin bahwa kebaikan hanya berada di bawah kekuasaan Allah, maka ia tidak akan pulang terkecuali meraih kesuksesan dan keselamatan.
Sikap tawakal kepada Allah seperti itu akan mencukupi dirinya, sehingga sebenarnya ia tidak butuh menyimpan harta, sebagaimana burung yang juga tidak mempunyai simpanan makanan. Namun, umumnya manusia bersandar pada kekuatan dan usahanya sendiri, yang justru bertolak belakang dengan hakikat tawakal yang sebenarnya.
Dalam kitab Fath Al-Bari, Ibn Hajar Al-‘Asqalani menceritakan bahwa Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang hanya diam berpangkuh tangan di rumah atau hanya beribadah di masjid tanpa berusaha mencari rejeki. Imam Ahmad menyebut orang yang seperti itu dengan orang yang tahu hakikat tawakal. Lebih lanjut Imam Ahmad berkata, tidakkah Rasulullah bersabda dengan jelas:
وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي.رواه البخاري
“Sungguh Allah jadikan mayoritas rejekiku di bawah bayangan tombakku.”
Dengan begitu, jelas sudah bahwa tawakal itu bukan masalah berpasrah diri tanpa usaha sebelumnya. Melainkan sebuah totalitas hati dalam kepasrahan pernuh kepada Allah, sembari berusaha dan bekerja semampu diri. Layaknya seekor burung yang juga mengais rejeki dari pagi hingga sore, terbang kesana kemari.
bincangsyariah.com/khazanah/belajar-hakikat-tawakal-dari-seekor-burung/
Kirimkan Komentar yang membangun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar