“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (TQS. asy-Syura [42]: 30).
Bencana
asap terjadi karena secara kausalitas pemanfaatan lahan gambut
menyimpang dari sunnatullah karakter alami gambut dan juga sunnatullah
tata kelola syariah lahan gambut yang merupakan harta milik umum.
Pada
hakikatnya, bencana Allah timpakan agar kita kembali taat kepada Allah
dan agar Allah mengampuni kesalahan-kesalahan kita. Bencana asap
menunjukkan buruknya riayah atau pengelolaan urusan oleh negara. Negara
lebih mengedepankan unsur bisnis ketimbang mengelola hak hajat dasar
rakyat atas lahan gambut.
Sudah
lazim diketahui bahwa pemerintah daerah maupun pusat kerap tunduk pada
kepentingan para pengusaha kuat. Termasuk mengalihfungsikan lahan yang
semestinya menjadi kawasan resapan air, penstabil kelembapan udara,
penyimpan karbon terbesar dunia, dan penyeimbang iklim dunia menjadi
kawasan bisnis, yakni bisnis pulp n paper terbesar dunia dan bisnis
sawit terbesar kedua dunia.
Padahal
kawasan gambut kita apabila digabung seluas pulau Jawa. Lahan gambut
adalah sejenis batubara muda biasanya dalam cekungan yang diapit oleh
dua hutan tropis. Air yang mengalir dari hutan tropis akan tertampung
dalam rawa gambut tersebut.
Lahan
gambut yang terendam air tersebut merupakan karunia Illahi. Genangan
air yang membasahi gambut sehingga pada kondisi alami tersebut gambut
sangat sulit terbakar. Tekstur gambut seperti spons menyerap air banyak,
apabila musim kemarau panjang datang uap air akan dilepas sdikit demi
sedikit sehingga udara tetap terasa nyaman bagi penduduk. Lahan rawa
gambut juga sebagai sumber air dan mata pencaharian penduduk. Disamping
ekosistem yang baik dan tempat tumbuh kayu-kayu langka.
Saat
ini, justru gambut diciderai, dikeluarkan dari sifat sunnatullah
alaminya. Lahan gambut dikeringkan agar dapat ditanami pohon kayu akasia
dan kelapa sawit. Dikeringkan dengan cara membuat kanal-kanal atau
parit untuk mengalirkan air rawa tersebut ke sungai atau laut.
Tentu
saja, batubara muda dalam keadaan dikeringkan tersebut akan mudah
sekali terbakar saat musim kemarau. Lebih parahnya lagi, lahan gambut
kering tersebut memang dibakar oleh pengusaha tanaman industri dan
kelapa sawit agar lahan memadat dan pH tanah tidak terlalu asam untuk
ditanami tanaman tersebut.
Karena
lahan gambut dikeringkan, musim kemarau terasa menyiksa. Terjadi
kekurangan sumber air dan juga udara menjadi sangat kering karena
sedikitnya titik-titik air yang diuapkan dari lahan gambut.
Jadi
wajar ketika kebakaran sulit sekali dipadamkan oleh tim manggala agni,
sebab sulit mendapatkan suplai air. Tim pembuat hujan buatan pun sulit
berhasil sebab sedikitnya uap air di udara.
Itu dari sisi pemanfaatan lahan gambut keluar dari sunnatulah sifat alami gambut.
Adapun
dari sisi menyimpang dari sunnatullah syariat tata kelola gambut adalah
sebagai berikut: secara sifat keberadaannya, maka gambut dapat
dikategorikan sebagai harta milik umum berdasar mafhum hadits “kaum
muslim berserikat atas 3 hal…”.
Maka
atas harta jenis milik umum tersebut, Asy-Syari’ (Allah Swt) menetapkan
negara sebagai pengelolanya untuk kemaslahatan pemilik harta tersebut,
yakni masyarakat.
Harta
ini tidak seperti harta-harta lain yang ditetapkan Asy-Syari’ sebagai
harta milik negara. Oleh sebab itu, negara harus hadir secara riil dan
langsung mengelolanya untuk masyarakat, tidak boleh menyerahkan
tanggungjawab pengelolaannya kepada pihak lain (swasta). Sementara saat
ini pemerintah melalui nawacitanya, meski di satu sisi meng-klaim selalu
hadir di tengah rakyat, namun kehadirannya tidak langsung, melainkan
hadir sebagai regulator saja dan pengelolaan lahan gambut dilakukan oleh
swasta.
Tentu
saja sangat berbeda secara filosofis, antara naluri pengelola urusan
rakyat dengan naluri pengusaha. Pengusaha tidak akan berpikir bagaimana
melayani kemaslahatan rakyat, yang dipikirkannya adalah untung.
Mengelola
lahan gambut secara teknologi pengelolaan yang benar butuh biaya 10x
lipat daripada membakar, tentu pengusaha akan pilih opsi membakar yang
murah meriah.
Akhir
tahun 2014 REDD+ melakukan audit. Hasilnya, 100% perusahaan tidak taat
pencegahan kebakaran lahan. Wajar-lah uang lebih menarik bagi bisnis,
bukan dampak ISPA, anak-anak banyak yang menjadi korban jiwa, kehilangan
plasma nutfah, dsb. Toh pikir pengusaha, jika kebakaran membesar, nanti
juga ada BNPB yang menangani dan didanai negara trilyunan rupiah.
Disamping
itu secara syariat, status harta milik umum menjadikan harta tersebut
tercegah untuk diproteksi secara istimewa bagi individu tertentu
(swasta) kemanfaatannya. Jadi kesalahan fatal menyalahi syariat, negara
memberikan hak konsesi lahan tersebut bagi pengusaha.
Jadi
bencana ini adalah peringatan Allah, agar kita kembali taat mengikuti
sunnatullah-Nya. Yakni agar kita kembali kepada syariat-Nya.
Karena
pelaku kemaksiatan terbesar pada kasus ini adalah negara, maka kita
perlu amar makruf kepada penguasa. Apabila amar makruf ditinggalkan,
maka Allah mengancam doa-doa orang shalih tidak akan dijawab. Kita
khawatir shalat istisqa kita tidak segera terkabul, padahal memadamkan
titik-titik api di lahan gambut tersebut benar-benar bergantung kepada
kemurahan Allah SWT untuk menurunkan hujan lebat. Oleh sebab itu doa-doa
harus segera diiringi dakwah kepada penguasa dan berbagai pihak agar
kausalitas kembali pada sunnatullah tata kelola lahan gambut yang benar
tersebut segera diterapkan. Wallahu a’lam bish showab [].Sumber http://hizbut-tahrir.or.id/2015/11/05/berpaling-dari-syariah-menuai-bencana-asap/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar