
Oleh Dr.Rini Syafri (Koordinator Lajnah Mashlahiyah)
Setelah terjadi polemik dari berbagai kalangan terkait PerPres Nomor
19 Tahun 2016 yang memuat ketentuan kenaikan iuran Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, akhirnya Presiden menunda kenaikan
Iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III, tetap Rp 25.500 per 1 April 2016.
Alasan penundaan tersebut, karena pemerintah memandang masyarakat kelas
III adalah kelas bawah (baca miskin) yang perlu mendapat perlindungan
negara. Hal ini ditegaskan oleh Sekretaris Kabinet, Pramono Anung dalam
pernyataannya: “Kami melihat, untuk yang kelas III perlu ada
perlindungan yang diberikan oleh negara.” ( Republika 1 April 2016
halaman I).
Masih dari sumber yang sama, Pramono juga menyampaikan instruksi
Presiden agar peserta BPJS Kesehatan kelas III diperbolehkan mendapat
perawatan kelas I, jika memang membutuhkan. Sementara itu, terkait
keberatan masyarakat terhadap kenaikan iuran bagi kelas I dan II,
pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek menyatakan,
”Anggaplah saya peserta mandiri ingin di kelas I. Kalau dinaikkan Rp 80
ribu kemudian saya tidak mampu, bisa minta turun ke kelas II atau kelas
III. Sekarang biaya kelas III ini sudah ditetapkan seperti dulu”, (
Republika, 2 April 2016).
BPJS Kekalkan Liberalisasi Kesehatan
Tampaknya berbagai kalangan utamanya yang aktif menyoal PerPres yang
berisi kenaikan iuran BPJS Kesehatan mengamini sikap dan keputusan
pemerintah tersebut. Bahkan boleh jadi dinilai sebagai sikap yang tepat
dan bijaksana. Menjadi sebuah keniscayaan ketika masyarakat tidak
memiliki gambaran apa yang seharusnya menjadi hak-haknya, dan apa yang
menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah dengan logika kufur
neoliberal beranggapan telah hadir memenuhi hak-hak publik ketika telah
menanggung premi kalangan miskin dan menunda kenaikan premi kelas III.
Karena berpandangan keberadaan BPJS Kesehatan seakan mutlak, sehingga
harus dicegah dari kebangkrutan meski berkonsekuensi pada peningkatan
premi kelas II dari Rp 42.500 menjadi Rp 51.000 dan kelas I dari Rp
59.500 menjadi Rp 80.000.
Sementara itu, BPJS Kesehatan secara konsep maupun faktualnya justru
mengekalkan liberalisasi kesehatan yang tidak saja semakin menjauhkan
masyarakat dari hak-haknya, namun juga memperparah beban penderitaan
masyarakat. Misal beban finansial ganda, yaitu membayar premi wajib tiap
bulan dan membayar lagi saat sakit karena berbagai sebab. Seperti kamar
untuk pasien BPJS Kesehatan penuh, hingga persoalan ketiadaan obat,
tenaga kesehatan, sementara penyakit harus segera diobati. Akibatnya,
sakit bertambah parah dan bahkan diantara kehilangan nyawa. Karenanya
buruknya pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan telah menjadi sorotan
berbagai pihak (Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Ketua
Fraksi IX DPR RI, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dalam
polemik kenaikan iuran BPJS Kesehatan baru-baru ini.
Buruknya akses dan kualitas pelayanan kesehatan NHS (National Health
System) yaitu model UHC (Universal Health Coverage, Asuransi kesehatan
masal wajib) yang diadopsi Negara Inggris baru-baru ini kembali
diberitakan. Seorang dokter terkemuka menyatakan, rumah sakit sudah
kewalahan, pasien dapat meninggal akibat waktu tunggu untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan yang melebihi waktu yang semestinya.
(http://www.theguardian.com/society/2016/mar/10/nhs-hospitals-overwhelmed-patients-could-die-top-doctor).
Berita ini memperpanjang daftar bukti tentang kesalahan prinsip-prinsip
UHC (Indonesia JKN) tidak mampu diatasi oleh lamanya waktu, kemajuan
teknologi dan upaya tambal sulam apapun. Kesalahan prinsip yang dimaksud
utamanya adalah negara melepaskan tanggung jawab pengelolaan pelayanan
kesehatan kepada lembaga keuangan asuransi kesehatan wajib masal BPJS
Kesehatan.
Abainya Pemerintah
Sikap masyarakat tentu akan lain ketika mereka memahami dan menyadari
bahwa layanan kesehatan adalah hak rakyat, baik yang miskin maupun yang
kaya tanpa terkecuali. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan
gratis berkualitas terbaik dari negara dan pemerintah. Pemerintah juga
memahami dan bertanggung jawab memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak
pelayanan kesehatan publik, yaitu pelayanan kesehatan gratis berkualitas
terbaik bagi siapapun tampa membebani masyarakat dengan biaya
sepeserpun. Artinya ketika negara hanya menggratiskan pelayanan
kesehatan untuk orang miskin itupun kelas III sesungguhnya negara justru
telah berlaku diskriminatif terhadap masyarakat.
Apa lagi bila semua pihak memahami bahwa program UHC-JKN dengan BPJS
Kesehatan sebagai badan pengelolanya hanyalah wujud legal komersialisasi
dan liberalisasi kesehatan yang selama ini menjadi sumber petaka di
dunia pelayanan kesehatan. Konsep-konsep batil yang melandasi UHC-JKN
menjadikan perbaikan teknis apapun tidak banyak gunanya untuk mewujudkan
hak-hak publik dan terlaksanannnya tanggung jawab pemerintah. Sehingga
berapapun nilai preminya dan bahkan sekalipun negara menanggung beban
premi semua penduduk, namun negara tetap saja lalai.
Mengapa demikian? karena pemerintah telah menyerahkan tanggungjawab
pentingnya, dalam hal pengelolaan dan pemenuhan hak-hak pelayanan
kesehatan publik kepada lembaga bisnis keuangan BPJS Kesehatan.
Bersamaan dengan itu, ditangan BPJS Kesehatan pelayanan kesehatan
dikelola berdasarkan untung rugi, bukan pelayanan. Salah satu buktinya
adalah keharusan membayar premi agar mendapatkan pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan, yang tak jarang belum tentu bisa diperoleh. Di sinilah
letak kedzaliman pemerintah terhadap puluhan juta jiwa penduduknya, yang
semestinya negaralah yang terdepan dalam menghilangkan kezoliman
tersebut.
Oleh karena itu, topik pembahasan yang seharusnya bukanlah naik
tidaknya premi, tetapi apa yang semestinya menjadi tanggung jawab
negara, apa yang menjadi hak publik dan bagaimana seharusnya negara
hadir agar tanggungjawabnya tertunaikan dan disaat yang bersamaan
hak-hak publik terhadap pelayanan kesehatan terpenuhi sebagaimana
mestinya.
Pelayanan Kesehatan Dalam Sistem Islam
Rasulullah saw telah menegaskan melalui lisannya yang mulia,
“Penguasa adalah penggembala dan penanggung jawab urusan rakyatnya”. (HR
Bukhari). Hadist ini menjadi dasar pandangan bahwa negara adalah pihak
yang bertanggung sepenuhnya terhadap pemenuhan hak-hak publik terhadap
pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu
masyarakat.
Dijelaskan dalam kitab Ajhizatu Daulatil Khilafah (2005), halaman
128, bahwa Rasulullah saw dalam kapasitasnya sebagai kepala negara yang
mengelola secara langsung pemenuhan berbagai kemashlahatan masyarakat,
termasuk pelayanan kesehatan. Para Khalifah sesudah beliaupun mengikuti
langkah ini. Masyarakat diberikan pelayanan kesehatan gratis denga biaya
dari kas baitul maal.
Jika negara dan pemerintah benar-benar tulus dan berniat baik, maka
negara wajib menggunakan konsep yang sohih, mengembalikan keutuhan
wewenang dan tanggungjawabnya dalam memenuhi hak-hak pelayanan kesehatan
publik. Yaitu dengan cara mengelola secara langsung dan sepenuhnya
pemenuhan pelayanan kesehatan publik. Pemerintah harus meninggalkan
logika dan konsep batil neoliberal yang selama ini telah menjauhkannya
dari tugas mulia dan tanggungjawabnya. Konsep-konsep batil negara hanya
sebagai regulator dan pengelolaan pelayanan kesehatan harus diserahkan
pada BPJS Kesehatan serta berbagai pandangan yang bersumber dari
reinventing government (ReGom)/Good Governance (GG) lainnya sudah
saatnya untuk dicampakan. Karena inilah satu-satunya jalan agar
kesehatan terlepas dari cengkraman komersialisasi dan liberalisasi.
Bersamaan dengan itu, negara wajib mengembalikan fungsi semua rumah
sakit plat merah dan puskesmas sebagai perpanjangan tangan fungsi
negara, wajib dikelola di atas prinsip pelayanan, bukan bisnis .
Sehingga apapun alasannya tidak dibenarkan rumah sakit di- BLU-kan
(Badan Layanan Umum) atau di-BLUD-kan (Badan Layanan Umum Daerah).
Demikian pula segala hal yang berbau bisnis dan nyata-nyata menghambat
fungsi pelayanan rumah sakit harus dihilangkan, termasuk sistem
pelayanan berjenjang, konsep case mix dan kapitasi.
Seiring dengan itu, negara wajib menggunakan konsep anggaran yang
bersifat mutlak dalam pembiayaan pelayanan kesehatan, dan meninggalkan
konsep anggaran berbasis kinerja. Dikatakan bersifat mutlak karena
negara wajib mengadakan sejumlah biaya yang dibutuhkan baik ada maupun
tidak ada kekayaan negara pada pos pembiayaan kesehatan. Negara wajib
men-support berapapun biaya yang dibutuhkan rumah sakit untuk
penyelenggaraan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi
setiap individu masyarakat. Karena penundaannnya dapat berakibat dhoror
(penderitaan) masyarakat meski hanya satu orang.
Hal ini mengharuskan negara mengelola kekayaan negara secara benar,
termasuk harta milik umum, sehingga negara memiliki kemampuan finasial
yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Negaralah
pihak yang paling bertanggungjawab mendirikan rumah sakit-rumah sakit,
berikut segala sesuatu yang dibutuhkan untuk berjalannnya fungsi rumah
sakit, termasuk dalam hal ini menyediakan para dokter dengan berbagai
bidang keahlilannnya.
Adapun konsep otonomi daerah/ desentralisasi kekuasaan tidak saja
terbukti menyulitkan terwujudnya hak-hak pelayanan kesehatan publik,
namun lebih dari pada itu bertentangan dengan konsep yang sohih. Karena
syari’at Islam telah menetapkan kekuasaan bersifat sentralisasi dan tata
pelaksanaan bersifat desentralisasi.
Demikianlah sejumlah konsep sohih yang harus diadopsi pemerintah agar
mampu menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Disaat bersamaan,
meniscayakan hak-hak pelayanan kesehatan yang selama ini terampas akan
kembali pada pemiliknya. Yaitu pelayanan kesehatan gratis berkualitas
terbaik, kapanpun dan dimanapun bagi siapapun. Penerapan konsep sohih
inilah yang menjadi kunci bagi terwujudnya pelayanan kesehatan yang
menyejahterakan dan memuliakan semua pihak, baik pemerintah, insan
kesehatan maupun masyarakat secara keseluruhan.
Namun penting dicatat, sifat konsep-konsep sohih ini hanya compatible
(serasi) dengan sitem politik Islam, khilafah Islam. Dan pemerintah
mesti mengadopsinya sebagai sistem politik yang harus diterapkan dalam
pengurusan urusan publik, termasuk urusan pemenuhan hak-hak pelayanan
kesehatan masyarakat. Karenannya kehadiran syariat Islam berikut
Khilafah Islam merupakan persoalan yang tidak perlu diperdebatkan lagi
urgensitasnya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul,
apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu,
dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan
hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan” (TQS Al
Anfal (8): 24).[]