HIDUP ini sebuah misteri dan penuh rahasia! Manusia memiliki keterbatasan dalam memahami makna hidup. Pada umumnya, manusia tidak mengetahui banyak hal tentang sesuatu, yang mereka ketahui hanyalah realitas yang nampak saja(Q.S 30: 6-7).
Tidak ada seorang pun yang tahu berapa lama ia akan hidup, di
mana ia akan mati,(Q.S 31: 34) dalam keadaan apa ia akan mati, dan dengan cara
apa ia akan mati, sebagian manusia menyangka bahwa hidup ini hanya satu kali
dan setelah itu mati ditelan bumi. Mereka meragukan dan tidak percaya bahwa
mereka akan dibangkitkan kembali setelah mati(Q.S An-Naml: 67).
Adapun mengenai kepercayaan adanya kehidupan setelah mati
pandangannya sangat beragam tergantung pada agama dan kepercayaan yang dipeluk
dan diyakini.
Islam menjelaskan makna hidup yang hakiki melalui perbandingan
dua ayat yang sangat kontras, seperti dicontohkan di dalam Alquran. Seorang
yang telah mati menurut mata lahir kita, bahkan telah terkubur ribuan tahun,
jasadnya telah habis dimakan cacing dan belatung lalu kembali menjadi tanah,
namanya sudah hampir dilupakan orang.
Tetapi yang mengherankan, Allah SWT memandangnya masih hidup dan
mendapat rezeki di sisi-Nya serta melarang kepada kita menyebut mati kepada
orang tersebut.
Hal ini dapat kita lihat dalam (Q.S 3: 169). “Janganlah kalian menyangka
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu telah mati, bahkan mereka itu hidup
dan mendapat rezeki di sisi Allah.” Sebaliknya ada orang yang
masih hidup menurut mata lahir kita, masih segar-bugar, masih bernapas,
jantungnya masih berdetak, darahnya masih mengalir, matanya masih berkedip,
tetapi justru Allah menganggapnya tidak ada dan telah mati, seperti disebutkan
dalam firmannya
“Tidak sama orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.
Sesungguhnya Allah SWT mendengar orang yang dikehendaki-Nya, sedangkan kamu
tidak bisa menjadikan orang-orang yang di dalam kubur bisa mendengar,” (QS
Al-Fathir 22). Maksud ayat ini menjelaskan Nabi Muhammad tidak bisa memberi
petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.
Dua ayat ini memberikan perbandingan yang terbalik, di satu sisi
orang yang telah mati dianggap masih hidup, dan di sisi lain orang yang masih
hidup dianggap telah mati. Lalu apa hakikat makna hidup menurut Islam?
Seorang filusuf Yunani Descartes pernah mendefinisikan, manusia
ada dan dinyatakan hidup di dunia bila ia melakukan aktivitas berpikir.
Kemudian Karl Marx menyatakan, manusia ada dan dinyatakan hidup jika manusia
mampu berusaha untuk mengendalikan alam dalam rangka mempertahankan hidupnya.
Sedangkan Islam menjelaskan manusia ada dan dianggap hidup jika ia telah
melakukan aktivitas “jihad” seperti yang telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam
Q.S. Ali Imron: 169 di atas. Tentu saja jihad dalam pengertian yang sangat
luas. Jihad dalam pengertian bukan hanya sebatas mengangkat senjata dalam
peperangan saja, tetapi jihad dalam konteks berusaha mengisi hidup dengan karya
dan kerja nyata. Jihad dalam arti berusaha memaksimalkan potensi diri agar
hidup ini berarti dan bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Misalnya, seseorang yang berusaha mencari dan menemukan energi alternatif
ketika orang sedang kesulitan BBM itu juga sudah dipandang jihad karena ia
telah mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Seseorang yang keluar dari sifat
malas, kemudian bekerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, itu juga
termasuk jihad karena ia telah mampu mengalahkan hawa nafsunya sendiri, dan
bukankah ini jihad yang paling besar karena Rasulullah sendiri menyatakan bahwa
jihad yang paling akbar adalah melawan hawa nafsu sendiri.
Hidup dalam pandangan Islam adalah kebermaknaan dalam kualitas
secara berkesinambungan dari kehidupan dunia sampai akhirat, hidup yang penuh
arti dan manfaat bagi lingkungan. Hidup seseorang dalam Islam
diukur dengan seberapa besar ia melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai
manusia hidup yang telah diatur oleh Dienull Islam. Ada dan tiadanya seseorang
dalam Islam ditakar dengan seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh umat
dengan kehadiran dirinya. Sebab Rasul pernah bersabda “Sebaik-baiknya manusia di antara
kalian adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang lain. (Alhadis).
Oleh karena itu, tiada dipandang berarti (dipandang hidup) ketika seseorang
melupakan dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah diatur Islam.
Dengan demikian, seorang muslim dituntut untuk senantiasa
meningkatkan kualitas hidup sehingga eksistensinya bermakna dan bermanfaat di
hadapan Allah SWT, yang pada akhirnya mencapai derajat Al-hayat Al-thoyyibah
(hidup yang diliputi kebaikan). Untuk mencapai derajat tersebut maka setiap
muslim diwajibkan beribadah, bekerja, berkarya berinovasi atau dengan kata lain
beramal saleh. Sebab esensi hidup itu sendiri adalah bergerak (Al-Hayat)
kehendak untuk mencipta (Al-Khoolik), dorongan untuk memberi yang terbaik
(Al-Wahhaab) serta semangat untuk menjawab tantangan zaman (Al-Waajid).
Makna hidup yang dijabarkan Islam jauh lebih luas dan mendalam
dari pada pengertian hidup yang dibeberkan Descartes dan Marx. Makna hidup
dalam Islam bukan sekadar berpikir tentang realita, bukan sekadar berjuang
untuk mempertahankan hidup, tetapi lebih dari itu memberikan pencerahan dan
keyakinan bahwa. Hidup ini bukan sekali, tetapi hidup yang berkelanjutan, hidup
yang melampaui batas usia manusia di bumi, hidup yang harus
dipertanggungjawabkan di hadapan sang Kholik. Setiap orang beriman harus
meyakini bahwa setelah hidup di dunia ini ada kehidupan lain yang lebih baik,
abadi dan lebih indah yaitu alam akhirat (Q.S. Adl-dluha: 4).
Setiap muslim yang aktif melakukan kerja nyata (amal saleh),
Allah menjanjikan kualitas hidup yang lebih baik seperti dalam firmannya
“Barang siapa yang melakukan amal saleh baik laki-laki maupun wanita dalam
keadaan ia beriman, maka pasti akan kami hidupkan ia dengan al-hayat
al-thoyibah (hidup yang berkualitas tinggi).” (Q.S. 16: 97). Ayat tersebut
dengan jelas sekali menyatakan hubungan amal saleh dengan kualitas hidup
seseorang.
Aktualisasi diri!
Salah satu kebutuhan manusia yang paling mendasar adalah
pengakuan dari komunitas manusia yang disebut masyarakat. Betapa menderitanya
seseorang, sekalipun umpamanya ia seorang kaya raya, berkedudukan, mempunyai
jabatan, namun masyarakat di sekitarnya tidak mengakui keberadaannya bahkan
menganggapnya tidak ada, antara ada dan tiada dirinya tidak berpengaruh bagi
masyarakat. Dan hal ini adalah sebuah fenomena yang terjadi pada masyarakat
muslim. Terlebih rugi lagi jika keberadaan kita tidak diakui oleh Allah SWT,
berarti alamat sebuah kemalangan yang akan menimpa. Ketika usia kita tidak
menambah kebaikan terhadap amal-amal, ketika setiap amal perbuatan tidak
menambah dekatnya diri dengan Sang Pencipta, berarti hidup kita sia-sia belaka.
Allah menganggap kita sudah mati sekalipun kita masih hidup.
Oleh karena itu, seorang muslim “diwajibkan” untuk mengaktualisasikan
dirinya dalam segenap karya nyata (amal saleh) dalam kehidupan. “Sekali
berarti, kemudian mati” begitulah sebaris puisi yang diungkapkan penyair
terkenal Chairil Anwar. Walaupun ia meninggal dalam keadaan masih muda dan
telah lama dikubur di pemakaman Karet Jakarta, tetapi nama dan karya-karyanya
masih hidup sampai sekarang. Kalau Chairil Anwar telah “berjihad” selama
hidupnya di bidang sastra. Bagaimana dengan kita? Mari berjihad dengan amal
saleh di bidang-bidang yang lain. Agar kita dipandang hidup oleh Allah SWT.
Amin.***
Kirimkan Komentar yang membangun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar