Al-'Alim Al-Ustad Syamsudin Ramadhan
(DPP Hizbut Tahrir Indonesia)
(DPP Hizbut Tahrir Indonesia)
Soal:
Saya ingin menanyakan apakah boleh
berjabat tangan dengan lawan jenis, mohon penjelasan yang detail berikut pendapat-pendapat
yang muncul dan tarjihnya.
Jawab: Pembahasan hukum
berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram memerlukan kajian yang
kritis dan mendalam sebelum menyimpulkan, karena terdapat cukup banyak
dalil-dalil syara yang digunakan untuk membahas permasalahan ini. Akibatnya
para ulama yang membahas masalah ini berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada
yang mengharamkannya dan ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya mubah
(boleh).
1. Dalil-Dalil, Serta
Argumentasi Yang Digunakan Oleh Masing-Masing Pendapat
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh
pendapat yang mengharamkannya adalah sebagai berikut:
Pertama, beberapa riwayat
dari ‘Aisyah r.a. yaitu:
Telah berkata ‘Aisyah:
“Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang wanita
yang tidak halal baginya.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Telah berkata ‘Aisyah:
“Tidak! Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah Saw
menyentuh tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan.”
[HR. Bukhari
dan Muslim].
Menurut mereka Hadits-hadits di atas
dan serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa Rasulullah Saw tidak
berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (asing). Karena itu maka hukum berjabat tangan antara
lawan jenis yang bukan mahram adalah haram.
Kedua, hadits-hadits
yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang
maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:
“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu
lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.”
[HR. ath-Thabrani].
Atau hadits yang berbunyi:
“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang
bukan mahram.”
Ketiga, juga di dasarkan
pada sabda Rasulullah Saw yakni:
“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik,
at-Tirmidzi
dan an-Nasa’i].
Sedangkan pendapat yang membolehkan
dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan bahwa tangan Rasulullah Saw
bersentuhan (memegang) tangan wanita.
Pertama, diriwayatkan dari
‘Ummu ‘Athiyyah r.a. yang berkata:
“Kami telah membai’at Rasulullah Saw, lalu Beliau membacakan kepadaku
‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami
melakukan ‘nihayah’ (histeris menangis mayat), karena itulah seorang wanita
dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita
itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin
(terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkata
apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” [HR. Bukhari].
Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum
wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata qa ba dha dalam hadits ini memiliki
arti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang
berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu) (A.W. Munawwir,
Kamus al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq
(tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita
telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu
digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain
itu dari segi mafhum
(tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak
menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan
terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas —baik dari
segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)— bahwa Rasulullah Saw telah
berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzhâm Ijtima’i fi al-Islâm, hal. 57-58, 71-72). Penjelasan
ini juga sekaligus membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits
tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’.” Seperti yang
dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan (Muhammad Ismail, Berjabat Tangan Dengan Perempuan,
hal. 34). Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki arti
selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa dipahami/diterima dari segi bahasa
kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’. Kata qa ba dha juga sering ditemukan dalam
hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan
oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a.
berkata, “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah
Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba
Rasulullah Saw masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia
adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung’.”
Beliau kemudian bersabda:
“Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia
menampakkan anggota badanya kecuali wajahnya dan selain ini —digenggamnya
pergelangan tangannya sendiri— dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan
yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. ath-Thabari
dari ‘Aisyah r.a.].
Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ummu
‘Athiyyah r.a. ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang membolehkan
berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan
syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.
Kedua, diriwayatkan dari
‘Aisyah r.a. yang berkata:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah
buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang
tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’
Dari belakang tabir wanita itu menjawab: ‘Ini tangan seorang wanita.’ Nabi bersabda, ‘Kalau engkau
seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar)’.” [HR. Abu Dawud].
Ketiga, dalil lain yang
membuktikan bahwa hukum mushafahah adalah mubah adalah dari firman Allah SWT:
“…atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. an-Nisâ’ [4]:
43).
Ayat ini merupakan perintah bagi
seorang laki-laki untuk mengambil air wudlu kembali jika ia menyentuh wanita.
Wanita yang ditunjuk oleh ayat itu bersifat umum, mencakup seluruh wanita, baik
mahram maupun bukan. Dengan kata lain, bersentuhan tangan dengan wanita bisa
menyebabkan batalnya wudlu, namun bukan perbuatan yang diharamkan. Sebab, ayat
tersebut sebatas menjelaskan batalnya wudlu karena menyentuh wanita, bukan
pengharaman menyentuh wanita. Oleh karena itu, menyentuh tangan wanita —tanpa
diiringi dengan syahwat— bukanlah sesuatu yang diharamkan, alias mubah.
Walhasil berdasarkan mafhum isyarah
dalam ayat tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum mushafahah
adalah mubah.
Keempat, Adanya
riwayat-riwayat lain yang membolehkan mushafahah adalah sebagai berikut.
Imam ar-Razi dalam at-Tafsir al-Kabîr, juz 8, hal.
137 menuturkan sebuah riwayat bahwa ‘Umar ra telah berjabat tangan dengan para
wanita dalam bai’at, sebagai pengganti dari Rasulullah Saw.
Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabarani
bahwa Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan para wanita sebagai pengganti
dari Rasulullah Saw.
Imam al-Qurthubi di dalam al-Jâmi’ al-Ahkâm al-Qurân, juz 18, hal. 71, juga mengetengahkan
sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw mengambil bai’at dari
kalangan wanita. Diantara tangan Rasulullah Saw dan tangan wanita-wanita itu
ada sebuah kain. Kemudian Rasulullah Saw mengambil sumpah wanita-wanita
tersebut. Dituturkan pula bahwa setelah Rasulullah Saw selesai membaiat kaum
laki-laki Rasulullah Saw duduk di shofa bersama dengan Umar bin Khaththab yang
tempatnya lebih rendah. Lalu, Rasulullah Saw membai’at para wanita itu dengan
bertabirkan sebuah kain, sedangkan Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan
wanita-wanita itu.
Riwayat-riwayat ini merupakan dalil
kebolehan mushafahah. Sebab, ada taqrir dari Rasulullah Saw terhadap perbuatan
Umar bin Khaththab. Taqrir dari Rasulullah Saw merupakan hujjah yang sangat
kuat atas bolehnya melakukan mushafahah. Seandainya mushafahah dengan wanita asing (ajnabiyyah)
adalah perbuatan haram, tentunya Rasulullah Saw tidak akan mewakilkan kepada
Umar bin Khaththab, dan beliau Saw pasti akan melarangnya.
2. Sikap Kita Dalam Menghadapi
Perbedaan Tersebut
Dalam menghadpi perbedaan tersebut dan
pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus
mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk
itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang
seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita
perhatikan hadit-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits
shahih yang harus diterima kebenarannya. Dalam mensikapi hadits-hadits yang
dzahirnya seola-olah bertentangan, menurut ilmu hadits dan ushul fiqh harus
ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Thariqatul jam’i, yakni
menggabungkan dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Apabila langkah ini
tidak bisa dilakukan baru menempuh.
2. Nasikh dan Mansukh,
apabila tidak bisa dilakukan, ditempuh.
3. Tarjih, yakni dengan cara
meneliti dan membandingkan mana dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini harus
dilakukan secara cermat dan teliti serta harus memperhatikan kaidah-kaidah
tarjih yang telah digariskan oleh para ulama. Kalau langkah ini sulit dilakukan
karena sama-sama kuat atau masih kabur baru menempuh langkah terakhir.
4. Tawaqquf, yaitu
menghentikan kajian dalam menggali hukumnya. Namun terus berusaha sampai Allah
SWT membukakan persoalan tersebut untuk diketahui (Dr. Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Hadits, hal. 58).
3. Pendapat Yang Rajih (Kuat)
Pendapat yang rajih
(kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.
Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat
haramnya berjabat tangan dengan bukan mahram adalah hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. Sedangkan golongan yang mengatakan mubah adalah
berdasarkan riwayat ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. Untuk mentarjihnya kita perlu memperhatikan
kaidah tarjih dalam ilmu hadits yang telah dijelaskan para ulama bahwa:
“Rawi yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada
Rawi yang mengetahui tidak secara langsung.”
Dari hadits-hadits diatas, maka hadits
yang diriwayatkan oleh ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. lebih kuat, sebab beliau melihat
dan mengetahui secara langsung perbuatan Rasulullah Saw yang berjabat tangan
dengan wanita bukan mahram pada saat berbai’at. Bahkan ‘Ummu ‘Athiyyah r.a.
sendiri berjabat tangan dengan Rasulullah Saw seperti apa yang tersirat dari
hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah
r.a. isinya merupakan pendapat beliau yang menggambarkan bobot keilmuan beliau.
Bahwa selama beliau (‘Aisyah r.a.) bergaul dengan Rasulullah Saw, beliau tidak
pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Jadi
secara tidak langsung ‘Aisyah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah Saw tidak
pernah berjabat tangan dengan wanita bukan mahram.
2.
Memang benar ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulullah
Saw berjabat tangan wanita bukan mahram. Tetapi tidak bisa langsung disimpulkan
bahwa Rasulullah Saw mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab
apa yang dikatakan ‘Aisyah hanya menjelaskan tentang ketiadaan perbuatan Rasul
—dalam hal ini berjabat tangan— yang diketahui ‘Aisyah, dan tidak menunjukkan
larangan berjabat tangan dengan bukan mahram. Perlu diketahui bahwa kehidupan
Rasulullah sehari-hari tidak selamanya didampingi ‘Aisyah r.a., bahkan
kehidupan Rasulullah Saw bersama ‘Aisyah r.a. lebih sedikit dibandingkan dengan
kehidupan Rasulullah Saw di luar rumah (berdakwah tanpa disertai ‘Aisyah r.a.).
Sehingga kalau ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan
dengan wanita bukan mahram, tidak bisa langsung disimpulkan haram berjabat
tangan dengan bukan mahram. Sebab pada keadaan lain ada yang melihat dan
mengetahui (‘Ummu ‘Athiyyah r.a.) Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita
bukan mahram. Oleh krena itu hadits riwayat ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. lebih rajih (kuat)
untuk dijadikan dalil dan dapat diambil serta menentukan bolehnya berjabat
tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.
3.
Hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’
serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang
berbunyi:
“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu
lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.”
[HR. ath-Thabarani].
Atau hadits yang berbunyi:
“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang
bukan mahram.”
Menurut golongan yang membolehkan
berjabat tangan, menjelaskan bahwa kata massa yang artinya ‘menyentuh’ dalam
hadits tersebut adalah lafadz musytarak (memiliki makna ganda) yakni bisa berarti
‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Selain itu pengertian ‘menyentuh’
juga sering digunakan kata lamasa yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa
berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Ayat-ayat al-Qur’an dan
as-Sunnah dalam menjelaskan menyentuh dengan tangan sering menggunakan kata lamasa.
Hal ini bisa dilihat dalam firman Allah SWT:
“…atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. an-Nisâ’ [4]:
43).
Juga firman Allah SWT:
“… atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. al-Mâ’idah
[5]: 6).
“Dan kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka
dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri…” (Qs. al-An’âm [6]:
7).
Arti kata lamasa menurut bahasa Arab
sendiri adalah ‘menyentuh dengan tangan’. Di dalam Kamus al-Muhith,
karangan Fairuz
Abadi, juz II, hal. 249, arti lamasa adalah al jassu bil yadi
(menyentuh dengan tangan).
Dalam kedua ayat pertama, kalimatnya
berbentuk umum untuk seluruh kaum wanita, yaitu bersentuhan dengan wanita
membatalkan wudhu dan hal ini menunjukkan bahwa hukumnya terbatas pada batalnya
wudhu karena menyentuh wanita (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzhâm Ijtima’i
fi al-Islâm, hal. 58). Sedangkan dalam ayat ketiga memperjelas
bahwa yang dimaksud menyentuh adalah memegang dengan tangan.
Didalam hadits-hadits pun terdapat kata
lamasa
yang artinya menyentuh dengan tangan. Diriwayatkan:
Telah berkata Ibnu ‘Abbas:
“Tatkala Ma’iz bin Malik datang kepada
Nabi Saw (mengaku berzina), bersabdalah Rasulullah Saw: ‘Barangkali engkau
hanya mencium atau menyentuh atau melihat saja?’ Jawab dia, ‘Tidak! Ya
Rasulullah.’ Berkata (Ibnu ‘Abbas), ‘Maka sesudah itu beliau memerintahkan agar dia itu
dirajam’.” [HR. al-Ismailiy]. (Lihat A. Hassan, Soal-Jawab,
hal. 53 – 55).
Juga diriwayatkan:
“Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw melarang jual-beli dengan
cara mulamasah dan munabadzah.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Jual beli secara mulamasah
yaitu: Jika seorang pembeli berkata, apabila engkau menyentuh kainku dan aku
menyentuh kainmu, maka terjadilah jual-beli. (Lihat kitab hadits Lu’lu wal Marjan,
juz II, hal. 150).
4.
Kata massa merupakan lafadz musytarak, sehingga dalam sebuah ayat dan beberapa riwayat
berarti ‘menyentuh dengan tangan’. Yakni di dalam firman Allah SWT:
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Qs. al-Wâqi’ah
[56]: 78).
Juga dalam riwayat:
“Dan dari Abu Bakar bin Muhammad bin
Amr bin Hazm dari ayahnya, dari datuknya, bahwa Nabi Saw pernah mengirim surat
kepada penduduk Yaman, yang (di dalamnya): ‘Tidak boleh menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci’.”
[HR. al-Atsram
dan ad-Daraquthni].
Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa.
Tetapi, hadits-hadits yang diggunakan
sebagai dalil oleh golongan yang mengharamkan ‘menyentuh wanita’ menggunakan
kata massa
yang lebih tepat diartikan ‘bersetubuh’ bukan ‘menyentuh dengan tangan’.
Kata-kata massa
dengan arti ‘bersetubuh’ lebih banyak ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Misalnya firman Allah SWT:
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka…” (Qs. al-Baqarah
[2]: 236).
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu sentuh (setubuh)
mereka, padahal…” (Qs. al-Baqarah [2]: 237).
Juga firmanNya:
“Maryam berkata: ‘Bagaimana aku bisa mempunyai anak laki-laki sedangkan
tidak pernah seorang manusiapun yang menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang
pezina’.” (Qs. Maryam [19]: 20).
“…kemudian kamu ceraikan mereka sebelum sentuh (setubuh) mereka…”
(Qs. al-Ahzab [33]:
49).
Dan masih banyak ayat lain yang
menggunakan kata massa
untuk makna ‘bersetubuh’ bukan arti menyentuh secara bahasa.
Juga di dalam beberapa hadits
menunjukkan bahwa kata massa memiliki arti ‘bersetubuh’. Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka wajiblah mandi.”
[HR. Muslim].
5.
Walaupun kata massa dapat diartikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’
tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang mengharamkan jabat
tangan dengan wanita bukan mahram, ini lebih tepat jika diartikan dengan
‘bersetubuh’. Sebab jika di artikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ maka
pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan ‘Ummu
‘Athiyyah r.a. dimana tangan Rasulullah Saw yang mulia telah menyentuh
(berjabat tangan) dengan wanita yang bukan mahram. Juga riwayat lain yang
menjelaskan dimana Rasulullah Saw pernah memegang tangan wanita seperti
diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah
buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang
tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’
Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita.’ Nabi bersabda, ‘Kalau engkau
seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar)’.” [HR. Abu Dawud].
Selain itu Rasulullah Saw pernah
berjabat tangan di dalam air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah
juga Rasulullah Saw berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw pernah menyuruh Umar bin Khaththab r.a untuk mewakili beliau
dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan berjabat tangan. Kalau memang
berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan, tentunya Rasulullah Saw
tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun.
Juga tidak mungkin Rasulullah Saw memerintahkan Umar bin Khaththab r.a.
melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan wanita yang bukan mahram, sebab hal
tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru
sebaliknya.
Juga kalau memang berjabat tangan
(bersentuhan) anatar lawan jenis yang bukan mahram itu diharamkan, tentunya Daulah Khilafah
Islamiyyah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan
kondisi-kondisi atau keadaan yang sangat memungkinkan terjadi persentuhan.
Bahkan Daulah akan memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata
tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan
bahkan Daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji pria dan wanita, juga
antara pria dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan
terjadinya bersentuhannya pria dan wanita yang bukan mahram.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa
dimaksud dengan kata ‘menyentuh’ pada hadits-hadits yang digunakan oleh
pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita bukan mahram adalah
‘bersetubuh’ bukan menyentuh secara bahasa (berjabat tangan).
6.
Pendapat yang mengharamkan berjabat tangan antara pria dan
wanita bukan mahram juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik,
at-Tirmidzi
dan an-Nasa’i].
Hadits di atas serta hadits-hadits lain
yang serupa sering dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan dengan
bukan mahram.
Pendapat ini adalah lemah,
karena ada sebuah kaidah ushul fiqh yang mengatakan:
Inna ‘adam fi’l al-rasûl lisyain laisa
dalîl syar’iyan (Sebenarnya
perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw bukanlah dalil syara’).
Sedangkan yang bisa dijadikan dalil
syara’ adalah perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Oleh karena itu, perkataan Rasulullah
Saw, “Sesungguhnya aku
tidak berjabat tangan dengan wanita.” Tidak bisa dijadikan dalil
untuk mengharamkan berjabat tangan (mushafahah). Akan tetapi, hadits itu harus dipahami bahwa
Rasulullah Saw ada kalanya menjauhi dan tidak pernah mengerjakan sama sekali
perbuatan-perbuatan yang berhukum mubah. Misalnya, Rasulullah Saw selalu
menjauhi dan tidak pernah menyimpan dirham dan dinar di rumahnya. Rasulullah
Saw juga menjauhi untuk memakan daging biawak. Padahal, perbuatan-perbuatan semacam
ini bukanlah perbuatan yang dilarang bagi kaum muslim. Artinya, meskipun
Rasulullah Saw tidak pernah mengerjakan perbuatan tersebut, akan tetapi beliau
Saw tidak melarang umatnya untuk melakukan perbuatan tersebut.
Demikian juga dengan kasus mushafahah.
Meskipun Rasulullah Saw tidak pernah melakukan mushafahah, bukan berarti
mushafahah itu dilarang bagi kaum muslim. Sebagaimana bahwa menyimpan dirham
dan dinar bukanlah perkara terlarang, meskipun Rasulullah Saw tidak pernah
mengerjakannya. Walhasil, apa yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw tidak
mesti dipahami bahwa perbuatan itu berhukum haram.
7.
Adapun kritik yang dikemukakan oleh Ibnu al-‘Arabi
terhadap keshahihan riwayat-riwayat ‘Umar bin Khaththab bisa ditangkis dari
kenyataan bahwa hadits-hadits yang bertutur tentang mushafahahnya ‘Umar bin
Khaththab dicantumkan di dalam kitab Fâth al-Bârî karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani,
juz 8, hal. 636, dan beliau tidak berkomentar terhadap riwayat ini. Ini
menunjukkan bahwa Ibnu Hajar telah mengakui keshahihan riwayat ini. Al-Hafidz
sendiri adalah seorang muhadits yang sangat termasyhur dan kitabnya Fâth al-Bârî,
diakui sebagai kitab syarah terbaik dan karya ilmiah yang dijadikan rujukan
para ‘ulama fiqh dan hadits. Atas dasar itu, riwayat-riwayat yang menuturkan
mushafahahnya Umar bin Khaththab dengan kaum wanita bisa digunakan hujjah
secara pasti.
8.
Kelompok yang mengharamkan berjabat tangan mengatakan bahwa
riwayat Ummu ‘Athiyah ini adalah mursal, yang berarti dha’if. Hal ini telah dijelaskan oleh Imam an-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, jld. 1, hal.
30) dan juga al-Hafidz Ibnu
Hajar al-Asqalani (Fâth al-Bârî, jld. 8, hal. 636). Ibnu Hajar mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh
‘Aisyah adalah merupakan hujjah (bantahan) terhadap apa-apa yang diriwayatkan oleh
Ummu ‘Athiyah mengenai Rasulullah memanjangkan tangannya untuk berjabat tangan
dengan para wanita.
Memang sebagian ulama memasukkan hadits
mursal ke dalam hadits yang mardud (tertolak). Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini
adalah Imam
Syafi’i dan beberapa ulama lainnya. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah,
Imam Ahmad
dan Imam
Malik menjadikan hadits mursal sebagai hujjah.
Hadits Ummu ‘Athiyyah adalah hadits marfu’
(sambung) hingga Nabi Saw. Perawi hadits tersebut adalah Musaddad,
yang menurut Imam
Ibnu Hanbal ia adalah shaduq (orang yang sangat terpercaya). Menurut Yahya bin Mu’în,
ia adalah tsiqat
tsiqat (lebih dari sekedar terpercaya).
Perawi berikutnya adalah Abdu al-Wârits.
Menurut an-Nasâ’i
ia adalah tsiqat
(terpercaya); menurut Abu Zur’ah ar-Razi, ia adalah tsiqat.
Menurut Abu
Hatim ar-Razi ia adalah shaduq.
Sedangkan Ayyub,
nama lengkapnya adalah Ayyub bin Tamimah Kisâniy, seorang tabi’in kecil (al-shughra min
at-tâbi’în). Menurut an-Nasâ’i dan Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat (terpercaya).
Perawi selanjutnya adalah Hafshah binti
Sîrîn, namanya kunyahnya adalah Ummu Hudzail. Seorang tabi’in
tengah (al-wasthiy
min at-tâbi’în). Ibnu Hibban mencantumkannya di dalam al-Tsiqat.
Menurut Yahya
bin Mu’în ia adalah tsiqat hujjah (terpercaya yang menjadi hujjah). Ia adalah
salah seorang murid dan perawi dari Ummu ‘Athiyyah (shahabiyyah).
Sedangkan, Ummu ‘Athiyyah
adalah seorang shahabat wanita.
8.1. Berhujjah Dengan Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan
oleh seorang tabi’iy namun tidak menyebutkan shahabatnya. Dengan kata lain,
hadits mursal adalah perkataan seorang tabi’iy (baik tabi’iy besar maupun
kecil), maupun perkataan shahabat kecil yang menuturkan apa yang dikatakan atau
dikerjakan oleh Rasulullah Saw tanpa menerangkan dari shahabat mana berita
tersebut didapatkannya. Misalnya, seorang tabi’iy atau shahabat kecil berkata,
“Rasulullah Saw
bersabda demikian…”, atau “Rasulullah Saw mengerjakan demikian”, atau “Seorang shahabat
mengerjakan di hadapan Rasulullah Saw begini…”
Sebagian ‘ulama menjadikan hadits
mursal sebagai hujjah. Ulama yang berpendapat bahwa hadits mursal bisa
dijadikan sebagai hujjah adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad. Sedangkan Imam Syafi’i dan ulama-ulama yang
lain menolak berhujjah dengan hadits mursal. Akan tetapi, Imam Syafi’i
tidak menolak secara muthlak
hadits mursal. Imam
Syafi’i berpendapat, bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai
hujjah asalkan memenuhi syarat: (1) hadits mursal dari Ibnu al-Musayyab. Sebab, pada
umumnya ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari Abu Hurairah ra. (2)
Hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits musnad, baik dha’if maupun shahih. (3)
Hadits mursal yang dikuatkan oleh qiyas; (4) hadits mursal yang dikuatkan oleh
hadits mursal yang lain (Manhaj Dzawi an-Nadzar, hal. 48-53; Nudzat an-Nadzar,
hal. 27). Jika kita mengikuti pendapat Imam Syafi’i ini, maka hadits Ummu
‘Athiyyah layak digunakan sebagai hujjah, sebab banyak hadits-hadits shahih
yang senada dengan hadits Ummu ‘Athiyyah.
Kami menguatkan pendapat yang
menyatakan bahwa hadits mursal bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, perawi
yang dihilangkan adalah para shahabat yang seluruh ulama telah sepakat bahwa
seluruh shahabat adalah adil. Benar, status hadits yang perawinya tidak
diketahui, maka ketsiqahannya tidak diketahui alias majhul. Padahal, riwayat yang bisa
digunakan hujjah adalah riwayat yang perawinya tsiqah dan yakin, alias tidak majhul.
Tidak ada hujjah bagi perawi yang majhul. Ini adalah alasan mereka yang menolak
hadits mursal sebagai hujjah.
Sesungguhnya, bila diteliti secara
mendalam, maka alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang yang menolak berhujjah
dengan hadits mursal adalah lemah. Sebab, perawi yang dibuang (majhul)
adalah shahabat. Meskipun jatidiri shahabat tersebut tidak diketahui, akan
tetapi selama orang tersebut diketahui dan dikenal sebagai seorang shahabat
maka haditsnya bisa diterima dipakai sebagai hujjah. Kita semua telah memahami,
bahwa seluruh shahabat adalah adil. Oleh karena itu, ‘illat
yang digunakan untuk menolak hadits mursal, sesungguhnya tidak ada di dalam
hadits mursal. Sebab, ketidakjelasan jati diri shahabat tidak menafikan
keadilan dan ketsiqahannya. Ini menunjukkan, bahwa hadits mursal tetap bisa
digunakan sebagai hujjah. Dihilangkannya seorang shahabat dari rangkaian sanad
tidaklah menurunkan derajat hadits tersebut, selama diketahui bahwa ia adalah
shahabat. Sebab, seluruh shahabat adalah adil, dan tidak perlu lagi diteliti
ketsiqahannya.
Seandainya kita mengikuti komentar al-Hafidz Ibnu
Hajar dan Imam an-Nawawi, mengenai kemursalan hadits Ummu
‘Athiyyah, hadits itu tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, pendapat
terkuat menyatakan, bahwa hadits mursal memang absah digunakan sebagai hujjah. Selain
itu, banyak riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah Saw dan ‘Umar bin
Khaththab pernah berjabat tangan dengan wanita (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm
al-Qur’an; Qs. al-Mumtahanah [60]: 12).
4. Khatimah
Dari tarjih kedua pendapat diatas menunjukkan bahwa pendapat yang
mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram adalah lemah jika dibandingkan
dengan pendapat yang membolehkannya. Karena hukumnya mubah maka dibolehkan bagi
kaum muslimin untuk berjabat tangan dengan bukan mahram baik secara langsung
ataupun dengan pembatas, juga dibolehkan untuk tidak berjabat tangan.
Pendapat yang membolehkan berjabat
tangan dengan bukan mahram mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada syahwat
maka hukumnya haram. Karena itu para ulama yang membolehkan berjabat tangan
dengan bukan mahram mengingatkan karena antara syahwat dan tidak itu sangat
samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat berjabat tangan. Terutama sekali
kalau yang berjabat tangan adalah pria dan wanita muda yang sebaya, sebab
sangat mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak
khawatir timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan mahram.
Misalnya dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.
Golongan yang membolehkan berjabat
tangan dengan bukan mahram, bukanlah karena mereka senang berjabat tangan
dengan bukan mahram. Tetapi karena mereka tidak berani untuk mengharamkan
sesuatu yang secara jelas Allah SWT telah membolehkannya lewat perbuatan
RasulNya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT atau menghalalkan sesuatu yang
diharamkan oleh Allah SWT. Sebab Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan
orang yang menghalalkan sesuatu yang haram.” [HR. as-Sihab].
Perlu diingat bahwa sesuatu yang mubah
tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat
menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan.
Bagi mereka yang mengikuti pendapat
yang mengharamkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka haramlah hukumnya
bagi mereka untuk berjabat tangan dan atau menyentuh dengan tangannya siapapun
yang bukan mahramnya, baik bukan mahramnya tersebut anak kecil, remaja, dewasa
ataupun orang yang sudah tua sekalipun. Sebab mereka semua adalah bukan
mahram, yang haram untuk berjabat tangan dan bersentuhan dengannya. Sedangkan
bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah sampai penjelasan
yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah SWT akan meminta
pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang
telah ia ikuti. Walaupun berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak
boleh hanya karena perbedaan pendapat yang masih dibolehkan tersebut, sesama
muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka.
Yang jelas kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri adanya
perasaan suka atau tidak suku. Wallahu a’lam bi ash-showab. [] dikutip dari berbagai sumber, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar