Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai
saya di depan pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya
lama. Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga
mendaratkan kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. “Alhamdulillah, kamu
sudah pulang” itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya
mendapati ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.
Ba’da Ashar, “Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih”.
Gegas saya angkat pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil itu diisi
setengahnya. “Ah mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja”
pikir saya “Eh,tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram”.
Sebuah ember putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya.
Saya memindahkannya ke
halaman depan dengan mudahnya. Saya pandangi bunga-bunga peliharaan
Ibu. Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga.
“Nak, Ibu ba ru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di
pagar yah” pinta Ibu. “Eh,bantuin Ibu potongin daging ayam” sekilas saya
memandang Ibu yang tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu
banyak meminta bantuan, biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala
hal.
Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang
dari ziarah. “Neng..” itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya.
“Bu, siapa itu…?” tanya saya. “Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang”
pendeknya. Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka
mengeluarkan uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah
tangga. Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari biasanya.
Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya
membaca al-qur’an selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk
yang terbuat dari kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf
al-qur’an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Ke riput,
urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun.
Tangan itu terus bergetar. Saya berpaling, menyembunyikan bening kristal
yang tiba-tiba muncul di kelopak mata. Mungkinkah segala bantuan yang
ia minta sejak saya pulang, karena tangannya tak lagi paripurna
melakukan banyak hal? “Dingin” bisik saya, sambil beringsut membenamkan
kepala di pangkuannya. Ibu masih terus mengaji, sedang tangan kirinya
membelai kepala saya. Saya memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang
dilimpahkannya tak berhingga.
Adzan isya berkumandang,
Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya
memenuhi udara mushala kecil rumah. Usai shalat, saya menunggunya
membaca wirid, dan seperti tadi saya pandangi lagi tangannya yang terus
bergetar. “Duh Allah, sayangi Mamah” spontan saya memohon. “Neng…” suara
ibu membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di depan saya,
kebiasaan saat selesai shalat, saya rengkuh tangan berkah itu dan
menciumnya.
“Tangan ibu kenapa?” tanya saya pelan. Sebelum menjawab, ibu
tersenyum manis sekali. “Penyakit orang tua. Sekarang tangan ibu hanya
mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit tenaga” tambahnya.
Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap
berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari teras
depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan
beranjak jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman manis Ibu
sehabis shalat isya tadi.
Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti melayang. Telah banyak
hal yang dipersembahkan tangannya untuk saya. Tangan yang tak pernah
mencubit, sejengkel apapun perasaannya menghadapi kenakalan saya. Tangan
yang selalu berangsur ke kepala dan membetulkan letak jilbab ketika
saya tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu dan selalu mengelus
lembut ketika saya mencari kekuatan di pangkuannya saat hati saya ber
gemuruh. Tangan yang menengadah ketika memohon kepada Allah untuk setiap
ujian yang saya jalani. Tangan yang pernah membuat bunga dari pita-pita
berwarna dan menyimpannya di meja belajar saya ketika saya masih kecil
yang katanya biar saya lebih semangat belajar.
Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah dan harus tinggal jauh
darinya, suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya kadang membuat
saya mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf n
dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat dengan tulisan
sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi yang diciptakannya
sendiri. Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka
menyanjung :
Kau adalah gemerlap bintang di langit malam
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa sana,
Bukan!, kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu,
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau ada lah Sinopsis semesta
Itu saja.
Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca
dari sebuah buku. Jika saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang
ibunda adalah perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta,
ketulusan ..
Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja
makan untuk sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari
ketika mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam
menapaki hidup? Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya
membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas
semua persembahan tangannya?..Pernahkah..?
Ketika akan meninggalkannya untuk kembali, saya masih merajuknya “Bu,
ikutlah ke jakarta, biar dekat dengan anak-anak”. “Ah, Allah lebih
perkasa di banding kalian, Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu
yang seharusnya sering datang, Ibu akan lebih senang” Jawabannya ringan.
Tak ada air mata seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak
lebih pasrah,
menyerahkan semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi, saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat , saya reguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya ciumi sepenuh takzim. Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di kening.
menyerahkan semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi, saya merengkuh kembali punggung tangannya, selagi sempat , saya reguk seluruh keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya. Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya ciumi sepenuh takzim. Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan meraih tangannya, meletakannya di kening.
IBUMU adalah Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan
***
Emha Ainun Najib
Emha Ainun Najib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar