Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Khilafah merupakan ajaran Islam yang dalam istilah modern disebut dengan negara Islam (ad-daulah al-islâmiyyah) atau sistem pemerintahan Islam (nizhâm al-hukm fî al-Islâm). Dalam istilah para fuqaha terdahulu, Khilafah disebut juga dengan sejumlah istilah yang kurang lebih semakna, yaitu Imâmah atau Dârul Islâm atau Imâratul Mukminin. (Wahbah Az-Zuhailî, Al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuhu, 8/407; Imam Nawawi, Al-Majmû’ Syarah Al-Muhadzdzab, 17/517).
Meskipun jelas Khilafah merupakan ajaran Islam, masih banyak umat Islam yang menolak Khilafah, dengan berbagai alasan. Salah satu alasannya, menurut Syekh Mushthofâ As-Sibâ’i dalam kitabnya Ad-Dîn wa Ad-Daulah fî al-Islâm, karena umat Islam menyamakan agama Islam dengan agama Kristen, yakni dianggap sama-sama agama spiritual belaka yang tidak mengatur urusan masyarakat dan negara.
Padahal, ajaran Islam dan Kristen sangat berbeda dalam hal hubungannya dengan negara atau politik. Agama Kristen, memang hanya agama spiritual, tidak mengatur segala aspek kehidupan. Maka dari itu, karakter dasar (nature) agama Kristen adalah bersifat secular, yakni tidak mempunyai ajaran bernegara. Hal ini terbukti dari fakta bahwa Nabi Isa AS hanyalah seorang nabi, namun tidak memimpin negara.
Karena itulah, ketika Nabi Isa AS ditanya orang Yahudi sambil memegang koin dinar Romawi,”Apakah kami harus membayar pajak kepada Kaisar ataukah tidak?”, maka Nabi Isa AS menjawab, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Matius, 22:21). (https://en.wikipedia.org/wiki/Render_unto_Caesar).
Karakter dasar Kristen yang secular itu jelas berbeda dengan karakter dasar (nature) agama Islam. Islam tidak mengenal sekularisme secara mutlak. Hal ini karena Islam merupakan agama sempurna (QS Al-Mâ`idah : 3), yang mengatur segala aspek kehidupan sebagaimana firman Allah SWT :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ
”Dan Kami telah turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu. “(QS An-Nahl : 89).
Maka dari itu, konsekuensi logisnya, wajar sekali Islam memerlukan institusi negara agar umat Islam dapat mengamalkan ajarannya secara menyeluruh (kâffah). (QS Al-Baqarah : 208). Dan wajar pula Nabi Muhammad SAW tak hanya bertugas sebagai nabi, tetapi juga sebagai kepala negara, khususnya setelah beliau berhijrah ke Madinah pada tahun 622 M.
Syekh Abdullah Ad-Dumaijî dalam konteks ini berkata :
إِنَّ الرَّسولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ أَقَامَ أَوَّلَ حُكومَةٍ إِسْلاميَّةٍ فِي المَدينَةِ ، وَصَارَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ أَوَّلَ إِمامٍ لِتِلْكَ الحُكومَةِ
”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mendirikan pemerintahan Islam yang pertama di Madinah, sehingga Rasulullah SAW itulah yang menjadi Imam pertama untuk pemerintahan Islam itu… Rasulullah SAW melakukan tugas-tugas sebagai kepala pemerintahan, seperti mengadakan berbagai perjanjian, memimpin pasukan perang, mengirim duta dan utusan, dan sebagainya.” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘inda Ahlis Sunnah wa-Al-Jamâ’ah, hlm. 52).
Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, tugas sebagai nabi berakhir, namun tugas sebagai kepala negara, tidak ikut berakhir, namun diteruskan oleh khalifah-khalifah, mulai Khalifah Abu Bakar Shiddiq, dan khalifah-khalifah selanjutnya, hingga khalifah terakhir Sultan Abdul Majîd II, saat Khilafah Utsmaniyyah hancur tahun 1924 di Turki. Sistem pemerintahan Islam yang dijalankan oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq itulah, yang melanjutkan sistem pemerintahan yang dicontohkan Rasulullah SAW, dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan istilah Khilafah.
Khilafah itu sendiri telah didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai ragam redaksi, namun intinya sama, yaitu berkisar pada tiga susbstansi makna berikut ini :
Pertama, Khilafah adalah sistem pemerintahan yang menjadi pengganti atau penerus fungsi kepemimpinan Nabi SAW. Imam Mawardi, misalnya, berkata :
اَلْإِمَامَةُ مَوْضُوْعَةٌ لِخِلافَةِ النُّبوَّةِ
”Imamah (Khilafah) itu ditetapkan sebagai pengganti kenabian…” (Al-Mâwardi, Al-Ahkâmus Al-Sulthâniyyah, hlm. 5).
Kedua, Khilafah menerapkan hukum-hukum Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Biasanya ulama mengungkapkan substansi ini dengan redaksi bahwa Syariah Islam itu, mengatur urusan agama dan dunia. Imam Al-Juwaini misalnya menyatakan :
اَلْإِمَامَةُ رِيَاسَةٌ تَامَّةٌ ، وَزَعَامَةٌ تَتَعَلَّقُ بِاَلْخَاصَّةِ وَالْعَامَّةِ فِي مُهِمَّاتِ الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا
“Imamah (Khilafah) adalah suatu kepemimpinan menyeluruh dan suatu pengaturan yang terkait dengan urusan khusus dan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia.” (Al-Juwaini, Ghiyâtsul Umam, hlm. 15).
Ketiga, Khilafah merupakan sistem tunggal untuk seluruh umat Islam (kâffat al-ummah), yakni tak boleh ada lebih dari satu Khilafah bagi seluruh umat Islam. Ulama biasanya mengungkapkan ini dengan redaksi bahwa Khilafah adalah “kepemimpinan umum” (ri`âsah ‘âmmah) atau “kekuasaan umum untuk seluruh umat” (al-wilâyah al-‘âmmah ‘ala kâffat al-ummah). Imam Al-Qalqasyandi, misalnya, berkata :
اَلْإِمَامَةُ هِيَ الْوِلاَيَةُ الْعَامَّةُ عَلَى كَافَّةِ الأُمَّةِ وَ الْقِيَامُ بِأُمُوْرِهَا وَ النُّهُوْضِ بِأَعْبَائِهَا
”Imamah (Khilafah) adalah kekuasaan umum atas seluruh umat Islam, pelaksanaan segala urusan umat, dan pengembanan segala tanggung jawabnya .” (Al-Qalqasyandî, Ma`âtsirul Inâfah fî Ma’âlim Al-Khilâfah, I/8).
Tiga substansi makna itulah, yang kemudian oleh Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî, dihimpun menjadi sebuah definisi komprehensif untuk Khilafah :
اَلْخِلاَفَةُ هِيَ رِئاسَةٌ عامَّةٌ لِلْمُسْلِمِينَ جَمِيْعًا فِي الدُّنْيَا لِإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَميِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاميَّةِ إِلَى الْعاَلَمِ
”Khilafah adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.” (Taqiyuddîn An-Nabhânî, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, 2/12).
Khilafah ini hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Kewajiban Khilafah ini sungguh telah disepakati secara ijmâ’ (konsensus) oleh seluruh ulama yang terpercaya (tsiqah) dan mu’tabar (kredibel) dari berbagai mazhab.
Syekh Abdurrahman Al-Jazîrî dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Alâ Al-Madzâhib Al-Arba’ah menegaskan :
إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ
”Telah sepakat para imam (Imam Abû Hanîfah, Imam Mâlik, Imam Syâfi’i, dan Imam Ahmad) –semoga Allah merahmati mereka– bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu…” (Abdurrahman Al-Jazîrî, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzâhib Al-Arba’ah, 5/416).
Para ulama telah menjelaskan dalil-dalil wajibnya Khilafah ini berdasarkan dalil Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Kaidah Fiqih (qâ’idah syar’iyyah).
Dalil Al-Qur`an, antara lain firman Allah SWT :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat,”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS Al-Baqarah : 30).
Imam Al-Qurthubî berkata :
وَهَذِهِ الآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمامٍ وَخَليفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ ، لِتَجْتَمِعَ بِهِ الكَلِمَةُ ، وَتُنَفِّذَ بِهِ أَحْكامَ الخَليفَةِ
“Ayat ini adalah dasar dalam pengangkatan seorang Imam atau Khalifah yang didengar dan ditaati, agar terjadi kesatuan pendapat umat dan agar dapat diterapkan hukum-hukum Khalifah.” (Imam Al-Qurthubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur`ân, 1/81).
Dalil lainnya dari Al-Qur`an, firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرمِنكُمْ
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…” (QS An-Nisâ` : 59).
Syekh Ad-Dumaijî berkata :
أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَوْجَبَ عَلَى المُسْلِمِينَ طاعَةً أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ وَهُمْ الأَئِمَّةُ ، والْأَمْرُ بِالطَّاعَةِ دَليلٌ عَلَى وُجوبِ نَصْبِ وَليِّ الأَمْرِ ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَأْمُرُ بِطاعَةٍ مَنْ لَا وُجُوْدَ لَهُ ، وَلَا يَفْرِضُ طاعَةً مَنْ وُجودُهُ مَنْدوبٌ ، فَالْأَمْرُ بِطَاعَتِهِ يَقْتَضِي الأَمْرَ بِإيجادِهِ ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ إِيجَادَ إِمامٍ لِلْمُسْلِمِينَ واجِبٌ عَلَيْهُمْ
”Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk menaati ulil amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk menaati ulil amri itu adalah dalil untuk mengangkat ulil amri, sebab tak mungkin Allah memerintahkan taat kepada pihak yang tidak ada eksistensinya, dan tidak mungkin pula Allah mewajibkan mentaati pihak yang keberadaannya hanya disunnahkan. Maka perintah mentaati ulil amri itu menghendaki adanya perintah untuk meng-ada-kan ulil amri. Jadi perintah ini menunjukkan wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi kaum muslimin.” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm. 47).
Adapun dalil As-Sunnah, antara lain hadits dari Abdullah bin ‘Umar RA dari Nabi SAW :
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتََةً جَاهِليَّةً
”Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak terdapat baiat (kepada seorang Khalifah/Imam) maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim, no. 1851).
Syekh Ad-Dumaijî berkata :
أَنَّ الرَّسولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ وَصَفَ مَنْ يَموتُ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ بِأَنَّهُ مَاتَ ميتَةً جاهِليَّةٌ . والْبَيْعَةُ لَا تَكونُ إِلَّا لِلْخَلِيفَةِ لَيْسَ غَيْرَ . هَذَا واضِحٌ الدِّلالَةِ عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ الخَليفَةِ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ تَكُنْ فِي عُنُقِ كُلِّ مُسْلِمٍ بَيْعَةٌ لِخَليفَةٍ مَاتَ ميتَةً جاهِليَّةً وَلِهَذَا كَانَ الحَديثُ دَلِيلًا عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ الخَليفَةِ
”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mensifati orang yang mati sedang di lehernya tidak ada baiat, sebagai mati jahiliyah. Padahal baiat itu tidak ada kecuali bagi Khalifah (Imam). Ini adalah dalil yang jelas untuk wajibnya mengangkat seorang khalifah, sebab jika baiat ini tidak ada pada leher setiap muslim, maka dia akan mati secara mati jahiliyah. Maka hadis ini adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang khalifah.” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm. 47).
Dalil lain, hadits dari Abu Said Al-Khudri RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ . رواه أبو داود
”Jika keluar tiga orang dalam sebuah perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat amir (pemimpin) salah satu dari mereka.” (HR. Abu Dawud, no. 2708).
Imam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) berkata :
فَإِذَا كَانَ قَدْ أَوْجَبَ فِي أَقَلِّ الجَماعاتِ وَأَقْصَرِ الِاجْتِماعاتِ ، أَنْ يوَلّيَ أَحَدَهُمْ ، كَانَ هَذَا تَشْبِيهًا عَلَى وُجوبِ ذَلِكَ فِيمَا هوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ
”Jika syara’ telah mewajibkan pada jamaah yang paling sedikit dan interaksi yang paling minimal, agar mengangkat seorang pemimpin yang mengurus mereka, maka ini adalah perumpamaan untuk wajibnya mengangkat pemimpin pada jamaah yang lebih besar dari tiga orang.” (Ibnu Taimiyyah, Al-Hisbah, hlm. 11).
Adapun dalil Ijma’ Shahabat, antara lain dijelaskan oleh Imam Abdul Qâhir Al-Baghdâdî (w. 429/1037) yang berkata :
فَقَدْ اجْتَمَعَتْ الصَّحابَةُ عَلَى وُجوبِها وَلَا اعْتِبارَ بِخِلَافِ الفوَطيِّ وَالأَصَمِّ فِيهَا مَعَ تَقَدُّمِ الإِجْماعِ عَلَى خِلافِ قَوْلِهِمَا
”Sungguh para shahabat Nabi SAW telah bersepakat mengenai wajibnya Imamah (Khilafah), dan [dengan demikian] tidak teranggap pendapat berbeda dari Al-Fûthi dan Al-‘Ashamm dalam masalah Imamah ini, karena telah lebih dahulu terjadi ijma’ [shahabat] yang berbeda dengan pendapat keduanya.” (Abdul Qâhir Al-Baghdâdî, Ushûluddîn, hlm. 272).
Imam Al-Baihaqî (w. 458/1066) berkata :
وَاسْتَدَلَّ غَيْرُهُ مِنْ أَصْحابِنا فِي وُجوبِ نَصْبِ الإِمامِ شَرْعًا بِإِجْماعِ الصَّحابَةِ بَعْدَ وَفاةِ الرَّسولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَصْبِ الإِمامِ
”Para shahabat kami yang lain ber-istidlâl mengenai wajibnya mengangkat Imam (khalifah) menurut syara’ berdasarkan Ijma’ Shahabat setelah wafatnya Rasulullah SAW untuk mengangkat seorang imam (khalifah).” (Al-Baihaqi, Syu’abul Imân, 6/6).
Sedang dalil Qawâ’id Fiqhiyyah, antara lain disebutkan oleh Syekh Abdullah Ad-Dumaijî :
وَمِن الأَدِلَّةِ عَلَى وُجوبِ الإِمامَةِ القاعِدَةُ الشَّرْعيَّةُ القَائِلَةُ بِأَنَّ مَا لَا يَتِمُّ الواجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ واجِبٌ ، وَقَدْ عُلِمَ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَمَرَ بِأُمورٍ لَيْسَ فِي مَقْدورِ آحَادِ النّاسِ الْقِيَامُ بِهَا ، وَمِن هَذِهِ الأُمورِ إِقامَةُ الحُدودِ . . . إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الوَاجِبَاتِ اَلَّتِي لَا يَسْتَطيعُ أَفْرادُ النّاسِ الْقِيَامَ بِهَا ، وَإِنَّمَا لَا بُدَّ مِنْ إِيجَادِ السُّلْطَةِ وَقوَّةً لَهَا حَقُّ الطّاعَةِ عَلَى الأَفْرادِ ، تَقومُ بِتَنْفِيذِ هَذِهِ الوَاجِبَاتِ ، وَهَذِهِ السُّلْطَةُ هِيَ الإِمامَةُ
”Di antara dalil-dalil atas wajibnya Imamah (Khilafah) adalah kaidah syar’iyyah yang berbunyi “Mâ lâ yatimmul wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib” (Segala kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). Sungguh telah diketahui bahwa Allah SWT telah mewajibkan berbagai perkara yang tidak dimampui oleh orang perorang, misalnya menegakkan hudûd… melainkan harus dengan cara mewujudkan kekuasaan (as-sulthân) yang akan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut dan wajib ditaati oleh rakyat. Kekuasaan ini, tiada lain adalah Imamah [Khilafah].” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm. 59).
Demikianlah sekilas dalil-dalil wajibnya Khilafah. Terkait dalil-dalil ini, ada komentar menarik dari Syekh Yusuf Al-Qaradhawî,”Andaikata dalil-dalil yang sharîh (jelas) mengenai wajibnya Khilafah ini tidak ada, atau andaikan contoh Nabi SAW dan praktik para shahabat menjalankan sistem Khilafah juga tidak ada, namun sesungguhnya karakter dasar agama Islam sebagai agama yang sempurna dan unik, niscaya sudah cukup bagi seorang muslim untuk meyakini wajibnya Khilafah.” (Yusuf Al-Qaradhâwî, Min Fiqh Al-Dawlah fî Al-Islâm, hlm. 19). Wallâhu a’lam.