Minggu, 06 September 2015

Sampaikan dengan jujur

Sampai kapanpun juga kebaikan akan tetap mulia walaupun banyak orang tidak melakukannya seperti sikap jujur diakui oleh siapapun adalah pribadi yang baik walaupun dampaknya mendatangkan hal negative, apalagi dizaman sekarang bahkan mungkin zaman yang akan datang, masih banyak orang -orang yang bersikap jujur hadir di masyarakat, dengan kejujurannya itu dia tidak mendapatkan apa-apa bahkan mungkin dia akan menerima akibat dari jujur itu.

Ada cerita nyata di salah satu kantin sekolah.Saat itu, terdapatlah dua anak kelas tiga SMP, yang baru saja menerima pengumuman bahwa diri mereka lulus.Dari sekian banyak peserta ujian di sekolah tersebut, hanya satu anak yang tidak lulus. Usut punya usut ternyata anak tersebut berusaha untuk tidak mengkhianati dirinya dengan cara tidak menyontek. Dalam kata lain, dia telah berperilaku jujur dalam menjawab soal-soal ujian.

Terhadap hal ini, dua anak yang sedang mengobrol di kantin tersebut, mencemooh apa yang telah dilakukan oleh anak yang tidak lulus. “Sok suci sih, gak mau nyontek.Ya, rasain sendiri akibatnya, dia sendiri yang tidak lulus,” demikianlah komentar salah satu di antara mereka.

Kasus di atas, setidaknya menunjukkan satu potret nyata, betapa sebagian dari masyarakat kita telah menghilangkan ataupun tidak mengindahkan konsep jujur dalam berperilaku.Nahasnya, hampir seluruh aspek kehidupan negeri ini, telah tercemari olehnya.Tak terkecuali masalah penetapan hukum yang seharus berdasarkan kepada kejujuran, dengan mengatakan yang salah itu salah, dan yang benar itu benar.

Sebaliknya, konsep hidup khianat, bohong, dusta, sepertinya telah menjadi suatu yang tak terpisahkan lagi dari setiap gerak-gerik kita.Seorang penjual, dengan culasnya membohongi para pembeli.Para hakim dengan mudahnya untuk disuap, sehingga keputusan mereka timpang sebelah. Begitu pula terhadap kasus-kasus yang lain.

Di dalam kehidupan kita, beredar motto hidup yang salah-kaprah, ucapan seperti "jujur hancur", atau istilah-istilah lain, yang sesungguhnya adalah tabiat korupsi."Obyek sana obyek sini". "Kalau gak begini mas, hanya ngandalkan gaji kantor, gak cukup," begitu istilahnya. Tabiat seperti itu, nampaknya telah terpatri dan mendarah daging di sebagian masyarakat kita. Padahal, tindakan itu adalah korupsi alias mencuri.[Robin Sah Jujur: Tips Manjur Menuju Hidup "Makmur"Hidayatullah.com, Senin, 21 Juni 2010].

Ketika saya masih mengajar di tahun 1990, bertemu dengan seorang guru senior yang mantan kepada sekolah, semua teman-temannya rata-rata sudah mendapat tempat yang strategis di Pemerintahan, minimal mampu bertahan sebagai kepala sekolah, ketika saya berdialok dengannya, bapak ini mengaku tidak lama sebagai kepala sekolah karena dia tidak mau berlaku curang, persoalannya hanya ringan saja, ketika kepada dinas Pendidikan dan Kebudayaan datang mengunjungi sekolahnya, dilayani apa adanya, sangat sederhana dan tidak diberi amplop sebagai uang jalan. Tidak berapa lama dia diundang ke Kantor Dinas, menghadap atasan, disana dia beberkan segala keterbatasannya yang tidak mampu mentraktir dan memberi uang jalan kepada tamunya dari dinas terkait karena dia tidak mau korupsi, akhirnya dia diberi pesan oleh atasannya dengan mengatakan,”Kalau anda masih mau jadi Kepala Sekolah maka berpandai-pandailah, bukan pandai”, karena sang tokoh ini tidak bisa berpandai-pandai walaupun dia pandai, tidak begitu lama akhirnya jabatan itu diberikan kepada orang lain.

Itu sebuah cermin kejujuran sudah dianggap pakaian usang yang tidak layak lagi dikenakan walaupun untuk sebuah jabatan.
Kejujuran adalah tanda bukti keimanan.Orang mukmin pasti jujur.Kalau tidak jujur, keimanannya sedang terserang penyakit kemunafikan. Pernah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: "Apakah mungkin seorang mukmin itu kikir?" Rasul SAW  menjawab: "Mungkin saja." Sahabat bertanya lagi: "Apakah mungkin seorang mukmin bersifat pengecut?" Rasul menjawab: "Mungkin saja." Sahabat bertanya lagi, "Apakah mungkin seorang mukmin berdusta?" Rasulullah menjawab: "Tidak." (HR Imam Malik dalam kitab al Muwaththo')

Inti hadis ini menegaskan, seorang mukmin tidak mungkin melakukan kebohongan.Kejujuran adalah pangkal semua perbuatan baik manusia.Tidak ada perbuatan dan ucapan baik kecuali kejujuranlah yang mendasarinya.Oleh sebab itu, Allah menyuruh orang-orang mukmin agar selalu berkata benar dan jujur."Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang jujur/benar." (al-Ahzab [33]: 70).

Rasulullah bersabda: "Kamu sekalian wajib jujur karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada surga." (HR Ahmad, Muslim, at-Turmuzi, Ibnu Hibban)
Kejujuranlah yang menjadikan Ka'b bin Malik mendapat ampunan langsung dari langit sebagaimana Allah jelaskan dalam surah at-Taubah. Kejujuranlah yang menyelamatkan bahtera kebahagiaan keluarga dan kejujuran pulalah yang menyelamatkan seorang Muslim dari siksa api neraka di kemudian hari. Kejujuran adalah tiang agama, sendi akhlak, dan pokok kemanusiaan manusia. Tanpa kejujuran, agama tidak lengkap, akhlak tidak sempurna, dan seorang manusia tidak sempurna menjadi manusia.[Achmad Satori  Ismail,Mengukur Kejujuran,eramuslim.com.Thursday, 28 April 2011 13:15 WIB]

Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar (QS at- Taubah [9]: 119).
Dalam ayat di atas, Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah; yakni dengan cara meninggalkan maksiat (dan tentu dengan menjalankan ketaatankepada Allah SWT). Jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar; yakni baik dalam keimanan maupun dalam memenuhi berbagai macam perjanjian.  Sebagian ulama menyatakan: ma'a ash-shadiqqin (beserta orang- orang yang jujur/benar) artinya bersama orang-orang yang senantiasa berdiri di atas jalan hidup yang benar ('ala minhaj al-haqq).

Terkait dengan ayat di atas, di dalam sebuah hadisnya Baginda Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Mas'ud, “Sesungguhnya kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) mengantarkan pada kebaikan (al-birru), dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan pada surga.Sesungguhnya kebohongan/kedustaan mengantarkan pada kefasikan/kemaksiatan, dan sesungguhnya kefasikan/kemaksiatan mengantarkan pada neraka. Sesungguhnya seseorang yang benar-benar bersikap jujur/benar akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur/benar. Sesungguhnya seseorang yang benar- benar berbohong di sisi Allah akan dicatat sebagai pembohong.”(Mutaffaq 'alaih).

menyebut segala jenis kebaikan (al-khayr). Imam al- Qurthubi berkata, “Setiap orang yang memahami Allah SWT wajib bersikap jujur/benar dalam ucapan, ikhlas dalam amal perbuatan dan senantiasa 'bersih' (tidak banyak melakukan dosa/kemaksiatan) dalam seluruh keadaan.Siapapun yang keadaannya seperti itu, dialah orang-orang benar-benar baik dan benar-benar ada dalam ridha Allah Yang Maha Pengampun.” (Lihat: Muhammad bin 'Allan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh ash-Shalihin, I/ 146).
Maknanya, kejujuran/kebenaran dalam ucapan akan mengantarkan pada amal shalih yang sunyi dari segala cela. Dalam hal ini al-birru adalah nama untuk

 

Seorang yang jujur/benar pasti akan jauh dari sifat- sifat munafik—sebagaimana dinyatakan oleh Baginda Rasulullah SAW—yakni: dusta dalam berbicara;  ingkar janji, mengkhianati amanah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Terkait dengan sifat munafik ini, Sahabat Hudzaifah ra pernah berkata, “Orang-orang munafik sekarang lebih jahat (berbahaya) daripada orang munafik pada masa Rasulullah SAW” Saat ia ditanya, “Mengapa demikian?” Hudzaifah menjawab, “Sesungguhnya pada masa Rasulullah SAW mereka menyembunyikan kemunafikannya, sedangkan sekarang mereka berani menampakkannya.” (Diriwayatkan oleh al-Farayabi tentang sifat an-nifaq (51-51), dengan isnad sahih).[ Bersikap Jujur, Menjauhi Dusta, Media ummat, Wednesday, 13 April 2011 09:45].

Dr. Saad Riyadh dalam bukunya berjudul Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah Saw, menyatakan tentang Kejujuran ;
Perihal keutamaan sifat ini, Imam Al Ghazali berkata,”Dalam hal ini Allah Swt, telah berfirman,”Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah..”[Al Ahzab;23].

Selain itu Rasulullah Saw, juga bersabda,”Hendaklah kamu bersikap jujur karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan sementara kebajikan membawa ke syurga. Tidaklah seseorang senantiasa bersikap jujur dan berusaha keras memilih jalan kejujuran kecuali ia nantinya akan dicatat sebagai orang yang jujur disisi Allah. Jauhilah kebohongan karena sesungguhnya ia membawa kepada keburukan [fujur] sedangkan keburukan itu menghantarkan orang ke neraka. Tidaklah seseorang senantiasa bersikap dusta dan memilih jalan kedustaan kecuali ia nantinya akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah” [HR. Bukhari dan Muslim].

Lebih dari itu, cukuplah bukti untuk menunjukkan keutamaan sifat jujur ini dengan melihat bahwa gelar ash shiddiq terambil dari kata ini. Sebagian ulama berkata,”Para ulama maupun fuqaha sepakat bahwa apabila pada diri seseorang terdapat tiga hal maka dia akan selamat dunia akherat. Ketiga hal yang masing-masing saling berkaitan dan melengkapi tersebut adalah keislaman yang bebas dari kotoran bid’ah maupun hawa nafsu, sikap jujur kepada Allah Swt, dalam beramal, serta hanya memakan makanan yang baik dan halal”.
Lebih jauh beliau Saad Riyadh mengemukakan makna, hakekat dan tingkat kejujuran yaitu;
Ketahuilah bawah lafal ash shiddiq [kejujuran] menurut Islam dipergunakan dalam enam makna, yaitu jujur dalam perkataan, jujur dalam niat dan kemauan, jujur dalam tekad, jujur dalam menepati tekad yang dibuat, jujur dalam amal, serta jujur dalam seluruh sifat yang dipandang baik [mulia] oleh agama. Jika seseorang telah menggenggam kejujuran dalam seluruh maknanya ini maka dia berhak mendapat gelar ash shiddiq [orang yang paling jujur]. Di sini lain, orang-orang yang dikategorikan jujur juga bertingkat-tingkat. Artinya, jika dia hanya memiliki satu asfek saja maka dia hanya dikatakan sebagai seorang yang jujur dalam asfek tersebut, tidak pada asfek yang lain. Penjabarannya adalah sebagai berikut;

Pertama, jujur dalam perkataan.Artinya, kejujuran dalam pemberitaan atau hal-hal yang berkaitan dengan pemberitaan.
Kedua, jujur dalam niat dan kemauan.Kejujuran seperti ini dapat dikembalikan Allah Swt.
Ketiga, jujur dalam tekad.Manusia biasanya senang memasang tekad untuk melakukan amal tertentu. Contohnya, dia berkata kepada dirinya sendiri,”Jika Allah Swt, menganugerahkan kekayaan kepada saya maka saya akan bersedekah, baik dengan seluruh harta itu atau sebagiannya,” atau “jika saya bertemu dengan musuh ketika berjihad di jalan Allah Swt, maka akan saya perangi meskipun saya terbunuh karenanya”, atau “Jika Allah menjadikan saya penguasa maka saya akan memerintah dengan adil dan tidak akan mendurhakai Allah Swt, dengan cendrung kepada kenikmatan duniawi.”

Diantara tekad-tekad ini ada yang benar-benar lahir dari lubuk hati dan inilah yang dinamakan tekad yang jujur, namun ada pula yang ketika mengucapkannya terdapat semacam keraguan dan perasaan tidak yakin sehingga merusak kesempurnaan kejujuran tekad tersebut.Dari hal ini dapat dilihat bahwa kejujuran merupakan ungkapan yang melambangkan kesempurnaan dan kekokohan dalam tekad itu.

Keempat, jujur dalam menepati tekad yang telah dikemukakan.Seseorang terkadang dapat dengan mudah melontarkan tekad tertentu karena memang tidak sulit mengucapkannya.Akan  tetapi sulitnya menepati tekad itu baru terasa ketika yang menjadi tekad itu benar-benar terujud atau dorongan hawa nafsu mulai ikut mengacau. Pada saat itu, tekad yang telah dibuat itu dapat melemah bahkan diingkari sendiri oleh pelakunya.Apabila hal ini yang terjadi maka menandakan bahwa orang tersebut tidak jujur dalam janji atau tekadnya. Keadaan mereka bertolak belakang dengan gambaran yang disebutkan Allah Swt, dalam sebuah firman-Nya, “Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah…”[Al Ahzab;23].

Kelima, jujur dalam beramal. Bentuknya adalah upaya seseorang agar diantara tindakan-tindakan lahiriyahnya tidak berbeda dengan apa yang ada di dalam batinnya.
Keenam, jujur dalam segala sifat baik yang dianjurkan agama.Inilah tingkatan kejujuran yang paling tinggi.Contohnya adalah jujur dalam rasa takut dan pengharapan kepada Allah Swt, jujur dalam mengagungkan-Nya, jujur dalam sikap zuhud, tawakkal, atau menyayangi sesama. [Gema Insani, 2007, hal 137].
Bicara masalah kejujuran ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan;
Pertama, kebaikan tidak selalu berbuah sambutan hangat. Sejarah para Nabi dan Rasul telah membuktikan akan ada perlawanan dari orang-orang yang menghendaki langgengnya budaya yang buruk, yang telah berurat akar.
Kedua, kejujuran meski pahit tetaplah lebih baik dari dusta yang melenakan.Jujur, satu kata yang mudah terucap di lisan namun sulit dalam mengenali dan menemukannya.Jujur, ada dalam berbagai kamus bahasa dengan segala derivasinya, namun tingkah laku dan perbuatan kita tidak selalu berbanding lurus.
Ketiga, melawan kemunkaran.Bagi sebagian kecil masyarakat –semoga- menyontek itu sudah biasa.Menyontek bukan termasuk perbuatan yang mesti didramatisir.Menyontek itu lumrah-lumrah saja.
Padahal, nyontek-nyontekan sama dengan kemunkaran, mendidik dengan cara yang tidak mendidik. Melawan perilaku menyontek adalah melawan kemungkaran dan menegakkan kejujuran.
Sesuatu yang besar dimulai dari sesuatu yang kecil. Seseorang yang awalnya terpaksa berbohong, namun bila ia melakukannya terus-menerus, maka hal itu akan melekat pada dirinya dan menjadi tabiat hidupnya. Inilah yang harus diwaspadai.[Ali Akbar bin Agil,Tegakkan Kejujuran, Meski (Hati) Ikut Hancur! ,Hidayatullah.com.Senin, 13 Juni 2011].

Ada kisah yang dialami oleh Nasrudin Hoya berkaitan dengan kejujuran dan, kisah itu menyatakan;
Ada seorang hakim yang dikenal korup kecemplung di sebuah sungai kecil penuh lumpur, ia hampir tenggelam. Tetapi ia hanya diam saja tak bereaksi ketika banyak orang berusaha menolongnya. Kemudian datanglah NH.Orang-orang mengatakan bahwa Pak Hakim tidak mau ditolong dan diam saja ketika mau ditolong. NH menanyakan ke orang-orang itu, bagaimana cara menolongnya. Mereka mengatakan bahwa yang menolong mengulurkan tangannya dan berkata, Wahai hakim berikan tanganmu.
O, pantas, kata NH, Caranya salah, yang betul, ulurkan tangan ke dia, dan katakan terimalah tanganku.
Dan yang terjadi benar. Ternyata hanya beda kalimat. Hakim itu tak biasa memberi, tapi biasa menerima (sogokan, suap, dan sebagainya).Orang yang terbiasa diberi, boleh jadi tak biasa memberi. Orang yang biasa dimanja fasilitas, biasanya kaget manakala fasilitas-fasilitas itu tak lagi diperolehnya.[M Alfan Alfian,Bohong Itu Sulit,Pelita Hati Harianpelita.com].

Demikian pentingnya sifat shidiq atau jujur ini dimiliki oleh seorang mukmin  dan memang orang yang berimanlah yang mampu memiliki sifat ini, sifat ini juga sifat Allah yang diwahyukan kepada nabi –Nya dalam rangka mengajari hamba-Nya agar meniru karakter Tuhannya [4;87], Rasulullahpun adalah orang yang sudah menjadikan sifat ini sebagai karakternya yang patut kita contoh teladani [19;54], dengan sifat ini pulalah sehingga Siti Khadijah yakin kalau beliau memang calon Rasul, dikala beliau pulang dengan tergesa-gesa dari gua Hira, saat wahyu pertama turun, Khadijah menghiburnya,”….Demi Allah, Allah takkan sekali-kali membuatmu kecewa. Engkau adalah seorang yang bersikap baik terhadap kaum kerabat, selalu berbicara benar, membantu para dhuafa, menolong orang yang sengsara, memuliakan tamu dan membela orang yang benar…”       

Mudah-mudahan dengan  menyadari bahwa kejujuran adalah milik orang yang beriman memberi penyadaran kepada kita bahwa tidak ada alasan bagi siapapun yang mengaku ummat Nabi Muhammad dan beriman atas segala wahyu yang diterima dan sunnahnya untuk tidak memiliki sifat jujur, Wallahu A’lam 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar