Minggu, 06 September 2015

Amanah Dari Allah

Anak merupakan amanah Allah yang diberikan kepada orangtua untuk dididik, dibina dengan ajaran Islam agar hidupnya selamat di dunia hingga akherat. Anak dalam ajaran Islam merupakan investasi akherat dari orangtuanya sehingga memperlakukan anak dengan mencintainya merupakan keharusan orangtuanya. Dari Aisyah – istri Rasulullah SAW – berkata: “Telah datang padaku seorang wanita bersama dengan dua orang anaknya meminta sesuatu kepadaku. Aku hanya memiliki sebutir korma, lalu aku berikan padanya. ibu itu kemudian membaginya untuk kedua anaknya, lalu pergi. Kemudian Rasulullah SAW  datang dan aku ceritakan kepadanya. Nabi bersabda: barangsiapa yang dikaruniai  anak-anak perempuan lalu berbuat baik kepada mereka, maka anak-anak itu akan menjadi penghalangnya dari neraka”. (HR Al Bukhari, Muslim dan At Tirmidzi).

Mencintai anak merupakan naluri atau fithrah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sebagaimana firman-Nya“dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).[Ali Imran 3;14]

Kecintaan kepada anak, bagi seorang muslim memberikan motivasi untuk melindungi, mendidik dan membesarkannya sehingga sebuah kebanggaan bila orangtua tahu anaknya berprestasi disekolah atau dalam masyarakat dan sebaliknya betapa hancur hati orangtua bila dia ketahui sang anak berbuat maksiat. Perlakuan baik, santun dan bijak kepada anak akan menjadikan anak-anak kita seperti orang yang dihargai sehingga memotivasinya untuk berbuat yang lebih bermanfaat pada masa yang akan datang.

            Usamah  bin Zaid berkata bahwa suatu hari Rasulullah saw, memeluk Hasan dan Husein seraya berkata,”Ya Allah, sesungguhnya aku menyayangi keduanya maka sayangilah mereka”[HR. Bukhari].
Dari Anas bin Malik RA berkata: Rasulullah saw menggendong Ibrahim dan menciuminya. (HR. Al Bukhari)
Ibnu Al Baththal berkata: Diperbolehkan mencium anak kecil, di semua anggota badannya. Demikian juga orang dewasa –menurut mayoritas ulama-, kecuali auratnya. Maka tidak boleh hukumnya mencium aurat anak.Rasulullah mengambil anaknya –Ibrahim- dari ibunya Mariyah Al Qibthiyah,
Mencium dengan mulutnya, mencium dengan hidungnya, sepertinya ia adalah   ُ  pengharumnya
Anak-anak itu diciumi serasa parfum – sepertinya. Rasulullah saw menerangkan dua cucunya Al Hasan dan Al Husain, dua putra Fatimah dengan kalimat: Keduanya adalah keharumanku di dunia. (HR Al Bukhari dari Ibnu Umar RA)

Itulah ciuman yang Rasulullah saw lakukan kepada cucunya, menunjukkan cinta dan kasih sayangnya.
Hadits ini menunjukkan cinta anak dan menciumnya.Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah saw menciumi Al Hasan bin Ali, di hadapan Al Aqra’ bin Habis At Tamimiy yang sedang duduk. Lalu Al Aqra’ berkata: Sesungguhnya aku memiliki sepuluh anak, dan aku belum pernah menciumi seorang pun. Lalu Rasulullah saw memandanginya dan bersabda: “Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi” (HR. Al Bukhari).[Menyayangi Anak dan Menciuminya,dakwatuna.com 24/1/2011 | 18 Shafar 1432 H].

Tak ada orangtua yang menghendaki anaknya jadi anak yang nakal, suka berbohong, mencuri, berkata kotor, malas dan kasar kepada orang lain, tapi sebenarnya hal itu mereka lakukan karena adanya didikan yang dia terima dari orangtuanya, yaitu didikan yang tidak disengaja melalui sikap dan prilaku orangtuanya sehingga anak melakukan hal-hal yang tidak kita senangi.

Tanpa disadari terkadang perlakuan orang tua berpengaruh terhadap rendahnya kepercayaan diri anak. Kesalahan dalam memperlakukan anak akan berakibat fatal pada perkembangan psikologisnya. Beberapa kesalahan yang kadang dilakukan orang tua dan dapat menghambat kepercayaan diri anak antara lain: orang tua yang terlalu sering memanja-kan anak, mendidik dengan mengandalkan ben-takan dan pukulan, tidak menciptakan suasana psikologis yang membuat anak merasa nyaman, menakut-nakuti anak, dan tidak memberikan keleluasaan kepada anak untuk berpikir dan bertindak.

 Langkah awal dalam membangun kepercaya-an diri anak adalah dengan memberikan respek terhadap apa yang dilakukan. Jika orang tua, teman, guru dan orang-orang di sekitar anak memberikan perhatian, penghargaan, kasih sayang, dorongan dan semua yang bernilai positif, maka kepercayaan diri anak insya Allah akan muncul. Langkah berikutnya, berikan anak kesempatan terus menerus untuk menguji kemampuan dan belajar dari keberhasilan dan kegagalannya. Bila anak didorong untuk terus mencoba, insya Allah akan ada peningkatan kemampuan. Hargailah peningkatan kemampuan yang dapat dicapai anak sekecil apapun. Pada anak yang sedang belajar berjalan misalnya, biasanya dua kali melangkah langsung jatuh. Begitu dapat tiga langkah, berilah pujian.  

“Cintailah anak-anak dan kasih-sayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka, tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui, hanya kamulah yang memberi mereka rezeki,” (HR. Bukhari).
 Tanpa disadari pula, terkadang orang tua sering meletakkan harapan terlalu tinggi pada anak. Dan ketika anak tidak mampu melakukannya, orang tua menghujani dengan kritikan-kritikan, atau membandingkan dengan anak-anak yang lain. Padahal harapan itu seharusnya disesuaikan dengan kemampuan anak sendiri.  [Dra (Psi) Zulia Ilmawati , Menumbuhkah Kepercayaan Diri Anak, Media ummat;Thursday, 14 April 2011 15:45].

Kecintaan kepada anak selain memenuhi kebutuhan materi juga menjaga sikap-sikap kasar kepadanya, kita boleh memarahi anak dikala dia melakukan kesalahan atau kenakalan tapi lakukan dengan lemah lembut, jangan sampai terjadi pemukulan kepadanya.

Dan beliau bersabda, “Jika Allah menginginkan kebaikan bagi sebuah anggota keluarga maka Dia akan memasukkan kelembutan kepada mereka” (HR. Ahmad 6/71, 6/104-105, hadits shahih)
Sabda beliau, “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan.” (HR. Muslim 2593 dari ‘Aisyah secara marfu’)

Selama dalam perbaikan tidak memerlukan pemukulan maka janganlah memukul. Karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam sendiri bila harus memilih antara dua pilihan maka beliau memilih yang paling mudah selama bukan dosa. (HR. Bukhari 3560 dan Muslim 2327 dari ‘Aisyah secara marfu’)
Telah diriwayatkan pula bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya sama sekali, tidak kepada istri beliau ataupun pembantu beliau. Beliau hanya memukul ketika berperang dijalan Allah. (HR. Muslim 2328)

Maka kita sebaiknya menggunakan kata-kata nasehat jika ingin memperbaiki perilaku anak atau dengan menggunakan dorongan dan motivasi.
Bila kata-kata yang baik tidak berpengaruh maka kita gunakan kata-kata yang berisi teguran dan ancaman sesuai dengan kesalahan anak. Bila juga tidak bermanfaat maka saatnya memukul. Untuk itu kondisi tabiat anak berbeda-beda.
Diantara mereka ada yang cukup dengan isyarat mata untuk menghukum dan menegurnya. Isyarat mata ini memberikan pengaruh yang kuat pada dirinya dan menjadi sebab berhenti dari kesalahan yang ia lakukan.
Diantara mereka ada yang jika Anda membuang muka darinya maka dia segera paham maksud Anda dan berhenti dari kesalahannya.
Diantara mereka ada yang berubah dengan kata-kata baik. Maka gunakan kata-kata yang baik untuk anak yang seperti ini.
Dan diantara mereka tidaka ada yang membuatnya sadar kecuali harus dengan pukulan dan perlakukan keras. Maka untuk anak tipe seperti inilah kita lakukan pemukulan dan berlaku keras. Akan tetapi sesuai dengan kebutuhan saja serta tidak menjadikannya kebiasaan. Seperti halnya seorang dokter yang memberi suntikan kepada pasiennya walaupun suntikan itu menyakitkan akan tetapi suntikan itu sebatas kadar penyakitnya saja.[Bolehkah Memukul Anak? Muslimah.or.idJanuary 9, 2012].

Pendapat yang menyatakan, “Satu teladan lebih baik dari pada seribu instruksi”, agaknya benar, sebab anak lebih cendrung meniru segala sikap dan tingkah laku dari orang tua atau orang yang lebih besar darinya. Sebagaimana Lukmanul Hakim, namanya disebutkan dalam Al Qur’an karena kemahirannya memberikan teladan kepada anak-anaknya sebagai media pendidikan yang praktis, sebagaimana yang dijelaskan oleh Khofifah Indar Parawansa Mantan Menteri Peranan Wanita dan Ketua Umum DPP Muslimat NU

Nama Luqmanul Hakim sangat popular dalam dunia Islam, karena nasihat-nasihatnya yang penuh hikmah. Bukan sekadar pesan, namun nasihatnya merupakan pendidikan seorang bapak terhadap anaknya yang penuh dengan kasih sayang serta ajaran tentang akidah dan akhlak. Karena keteladanannya dalam mendidik anak itu pula, Allah mengabadikan namanya dalam Alquran, yakni Surah Luqman.

Tentang asal-usul Luqman, ada beda pendapat di antara para ulama. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan, ia bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat dia berasal dari Sudan. Dan, ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim di zaman Nabi Daud AS.

Ada enam hal penting yang disampaikan Luqman kepada anaknya. Pertama, larangan mempersekutukan Allah. (QS Luqman: 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak. (QS Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah. (QS Luqman: 16). Keempat, mendirikan shalat, 'amar makruf nahi mungkar, dan sabar dalam menghadapi persoalan. (QS Luqman: 17). Kelima, larangan sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 18). Dan keenam, bersikap sederhana dan bersuara rendah (QS Luqman: 19).

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Luqman tersebut, terutama soal keteladanan seorang bapak dalam mendidik anak. Luqman menanamkan tauhid dan keimanan kepada Allah SWT, juga norma dan tata cara berhubungan dengan keluarga dan masyarakat luas. Luqman tidak hanya berbicara, tapi langsung memberikan uswah (teladan) kepada anaknya.

Urgensi keteladanan disebutkan dalam hadis nabi. "Barang siapa yang memberikan contoh baik, maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang yang mengikuti hingga hari kiamat, yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan barang siapa yang memberi contoh buruk, maka baginya dosa atas perbuatannya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang-orang yang mengikutinya." (HR Imam Muslim).

Dalam konteks sekarang, kisah Luqman perlu disosialisasikan secara terus-menerus di tengah bermunculannya kasus anak-anak yang tidak mendapatkan hak sewajarnya dalam keluarga. Mereka hidup nyaris tanpa perlindungan. Bahkan, banyak anak hidup di bawah ancaman dan kekerasan, karena orang tua lari dari tanggung jawab. Di sisi lain, kini banyak perilaku negatif di masyarakat yang bisa mendorong anak-anak menjadi jauh dari akidah dan akhlak Islam. Tayang televisi yang kurang bermutu, serta maraknya aksi pornografi dan pornoaksi, merupakan bagian dari penyebabnya. Akibatnya, anak-anak kerap mengalami krisis keteladanan.

Untuk itu,  keluarga memegang peran penting agar anak-anak menemukan keteladanan dalam hidupnya. Dari keluarga, anak menemukan tata nilai agama dan norma yang berhubungan dengan masyarakat, sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW. Sehingga, terbentuk keluarga sakinah yang senantiasa dinaungi hidayah Allah SWT.[Keteladanan dalam Mendidik Anak, republika.co.id.  Kamis, 02 Juni 2011 02:00 WIB].
Cinta terhadap anak selain merupakan naluri  atau fithrahnya manusia juga keinginan orangtua untuk beramal lebih banyak sebab segala kebaikan yang dikeluarkan oleh orangtua tidaklah percuma saja tapi bernilai ibadah apalagi mampu mencetak anak jadi anak yang shaleh dan shalehah.
Salah satu amal yang tidak pernah terputus pahalanya sekalipun kita telah meninggalkan dunia ini adalah anak yang shalih. Doa anak yang shalih merupakan salah satu doa yang insya Allah pasti terkabul. Karenanya, orang tua harus mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Memang, tak mudah membesarkan anak hingga menjadi pribadi ideal, meraih sukses dunia-akhirat. Butuh kesabaran, kerja keras, keikhlasan, dan masih banyak lagi. Tanpa bermaksud menyederhanakan, berikut beberapa tips yang diaplikasikan oleh orang tua yang disarikan dari tata cara mendidik anak ala Rasulullah SAW:
1. Menanamkan Nilai-nilai Tauhid
Mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah dalam hal beribadah kepada-Nya, menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selain-Nya, tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah. Selain itu, orang tua harus menekankan bahwa setiap langkah manusia selalu dalam pengawasan Allah Swt. dan penerapan konsep tersebut adalah dengan berusaha menaati peraturan dan menjauhi larangan-Nya. Orang tua selaku guru pertama bagi anak-anaknya harus mampu menyesuaikan tingkah lakunya dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Ini adalah pendidikan yang paling penting di atas hal-hal penting lainnya.
2. Menjadi Sahabat dan Mendidik dengan Keteladanan
Setiap anak akan belajar dari lingkungannya dan dalam hal ini lingkungan keluarga akan sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya. Orang-orang di sekelilingnya akan menjadi model dan contoh dalam bersikap. Orang tua harus menjadi teladan anak-anaknya. Beri contoh yang baik sesuai nasihat dan ucapannya kepada para anak. Akan lucu jika yang disampaikan orang tua kepada anak-anaknya ternyata tidak dilakukan oleh orang tua itu sendiri. Keteladanan sangat menentukan, terlebih di zaman sekarang media tontonan tidak dapat diharapkan menjadi contoh yang baik bagi pembentukan akhlak anak-anak Muslim.
3. Mendidik dengan Kebiasaan
Kebaikan harus dimulai dengan pembiasaan. Anak harus dibiasakan bangun pagi agar mereka gemar melaksanakan shalat subuh. Anak harus dibiasakan ke masjid agar mereka gemar melakukan berbagai ritual ibadah di masjid. Pembiasaan itu harus dimulai sejak dini, bahkan pembiasaan membaca Alquran pun bisa dimulai sejak dalam kandungan. Pembiasaan shalat pada anak harus sudah dimulai sejak anak berumur tujuh tahun.
4. Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Anak
Sebagai upaya menumbuhkan rasa percaya diri anak, Rasulullah SAW menggunakan beberapa cara berikut. Saat sedang berpuasa, Rasulullah mengajak anak-anak bermain sehingga siang yang panjang terasa cepat. Anak-anak akan menyongsong waktu berbuka dengan gembira. Hal ini juga membuat anak memiliki kepercayaan diri sehingga sanggup berpuasa sehari penuh. Sering membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, resepsi, atau bersilaturahim ke rumah saudara sebagai upaya menumbuhkan kepercayaan diri sosialnya. Mengajari Alquran dan Sunnah serta menceritakan sirah nabi untuk meningkatkan kepercayaan diri ilmiahnya. Menanamkan kebiasaan berjual-beli untuk meningkatkan kepercayaan diri anak terkait ekonomi dan bisnis. Di samping itu, sejak dini anak akan terlatih mandiri secara ekonomi.
5. Memotivasinya  Berbuat Baik
Seorang anak, meski kecil, juga terdiri atas jasad dan hati. Mereka dilahirkan dalam keadaan bersih dan suci sehingga hatinya yang putih dan lembut itu pun akan mudah tersentuh dengan kata-kata yang hikmah. Anak-anak, terutama pada usia emas (golden age), cenderung lebih mudah tersentuh oleh motivasi ketimbang ancaman. Karenanya, hendaknya orang tua tidak mengandalkan ancaman untuk mendidik buah hati. Lebih baik orang tua memotivasi anak dengan mengatakan bahwa kebaikan akan mendapat balasan surga dengan segala kenikmatannya. Itu pulalah yang dicontohkan  Rasulullah kepada kita ketika beliau mendidik para sahabat. [Mendidik Anak Cara Rasullulah, Media ummat Thursday, 03 November 2011 19:04].
Cinta terhadap anak tidak cukup hanya memberikan makanan yang bergizi padanya, makanan yang baik lagi halal sangat mempengaruhi perkembangan anak, selain itu cinta kepada anak tidak cukup hanya memberikan pendidikan setinggi-tingginya kepada mereka, tapi jangan lupa untuk menanamkan iman yang bersih dari syirik dan amal yang shaleh, anak walaupun mereka masih kecil, tidak bisa dilepaskan begitu saja, anak terserah anak dan orangtua terserah orangtua, tapi orangtua harus punya banyak peran untuk mencetak anak jadi anak yang baik, peran sebagai ayah yang memberikan nafkah lahir dan batin kepada anak-anaknya, sebagai sahabat, orangtua melakukan pendekatan secara personal kepada anaknya agar mengerti apa yang diinginkan anaknya dan orangtua juga diharapkan berperan sebagai ustadz yaitu memberikan wejangan-wejangan agama pada saat-saat tertentu kepada anak-anaknya, orangtua harus mempunyai kemampuan untuk itu agar ujud cinta kepada anak terujud, Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar