Minggu, 06 September 2015

Amanah Dari Allah

Anak merupakan amanah Allah yang diberikan kepada orangtua untuk dididik, dibina dengan ajaran Islam agar hidupnya selamat di dunia hingga akherat. Anak dalam ajaran Islam merupakan investasi akherat dari orangtuanya sehingga memperlakukan anak dengan mencintainya merupakan keharusan orangtuanya. Dari Aisyah – istri Rasulullah SAW – berkata: “Telah datang padaku seorang wanita bersama dengan dua orang anaknya meminta sesuatu kepadaku. Aku hanya memiliki sebutir korma, lalu aku berikan padanya. ibu itu kemudian membaginya untuk kedua anaknya, lalu pergi. Kemudian Rasulullah SAW  datang dan aku ceritakan kepadanya. Nabi bersabda: barangsiapa yang dikaruniai  anak-anak perempuan lalu berbuat baik kepada mereka, maka anak-anak itu akan menjadi penghalangnya dari neraka”. (HR Al Bukhari, Muslim dan At Tirmidzi).

Mencintai anak merupakan naluri atau fithrah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sebagaimana firman-Nya“dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).[Ali Imran 3;14]

Kecintaan kepada anak, bagi seorang muslim memberikan motivasi untuk melindungi, mendidik dan membesarkannya sehingga sebuah kebanggaan bila orangtua tahu anaknya berprestasi disekolah atau dalam masyarakat dan sebaliknya betapa hancur hati orangtua bila dia ketahui sang anak berbuat maksiat. Perlakuan baik, santun dan bijak kepada anak akan menjadikan anak-anak kita seperti orang yang dihargai sehingga memotivasinya untuk berbuat yang lebih bermanfaat pada masa yang akan datang.

            Usamah  bin Zaid berkata bahwa suatu hari Rasulullah saw, memeluk Hasan dan Husein seraya berkata,”Ya Allah, sesungguhnya aku menyayangi keduanya maka sayangilah mereka”[HR. Bukhari].
Dari Anas bin Malik RA berkata: Rasulullah saw menggendong Ibrahim dan menciuminya. (HR. Al Bukhari)
Ibnu Al Baththal berkata: Diperbolehkan mencium anak kecil, di semua anggota badannya. Demikian juga orang dewasa –menurut mayoritas ulama-, kecuali auratnya. Maka tidak boleh hukumnya mencium aurat anak.Rasulullah mengambil anaknya –Ibrahim- dari ibunya Mariyah Al Qibthiyah,
Mencium dengan mulutnya, mencium dengan hidungnya, sepertinya ia adalah   ُ  pengharumnya
Anak-anak itu diciumi serasa parfum – sepertinya. Rasulullah saw menerangkan dua cucunya Al Hasan dan Al Husain, dua putra Fatimah dengan kalimat: Keduanya adalah keharumanku di dunia. (HR Al Bukhari dari Ibnu Umar RA)

Itulah ciuman yang Rasulullah saw lakukan kepada cucunya, menunjukkan cinta dan kasih sayangnya.
Hadits ini menunjukkan cinta anak dan menciumnya.Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah saw menciumi Al Hasan bin Ali, di hadapan Al Aqra’ bin Habis At Tamimiy yang sedang duduk. Lalu Al Aqra’ berkata: Sesungguhnya aku memiliki sepuluh anak, dan aku belum pernah menciumi seorang pun. Lalu Rasulullah saw memandanginya dan bersabda: “Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayangi” (HR. Al Bukhari).[Menyayangi Anak dan Menciuminya,dakwatuna.com 24/1/2011 | 18 Shafar 1432 H].

Tak ada orangtua yang menghendaki anaknya jadi anak yang nakal, suka berbohong, mencuri, berkata kotor, malas dan kasar kepada orang lain, tapi sebenarnya hal itu mereka lakukan karena adanya didikan yang dia terima dari orangtuanya, yaitu didikan yang tidak disengaja melalui sikap dan prilaku orangtuanya sehingga anak melakukan hal-hal yang tidak kita senangi.

Tanpa disadari terkadang perlakuan orang tua berpengaruh terhadap rendahnya kepercayaan diri anak. Kesalahan dalam memperlakukan anak akan berakibat fatal pada perkembangan psikologisnya. Beberapa kesalahan yang kadang dilakukan orang tua dan dapat menghambat kepercayaan diri anak antara lain: orang tua yang terlalu sering memanja-kan anak, mendidik dengan mengandalkan ben-takan dan pukulan, tidak menciptakan suasana psikologis yang membuat anak merasa nyaman, menakut-nakuti anak, dan tidak memberikan keleluasaan kepada anak untuk berpikir dan bertindak.

 Langkah awal dalam membangun kepercaya-an diri anak adalah dengan memberikan respek terhadap apa yang dilakukan. Jika orang tua, teman, guru dan orang-orang di sekitar anak memberikan perhatian, penghargaan, kasih sayang, dorongan dan semua yang bernilai positif, maka kepercayaan diri anak insya Allah akan muncul. Langkah berikutnya, berikan anak kesempatan terus menerus untuk menguji kemampuan dan belajar dari keberhasilan dan kegagalannya. Bila anak didorong untuk terus mencoba, insya Allah akan ada peningkatan kemampuan. Hargailah peningkatan kemampuan yang dapat dicapai anak sekecil apapun. Pada anak yang sedang belajar berjalan misalnya, biasanya dua kali melangkah langsung jatuh. Begitu dapat tiga langkah, berilah pujian.  

“Cintailah anak-anak dan kasih-sayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka, tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui, hanya kamulah yang memberi mereka rezeki,” (HR. Bukhari).
 Tanpa disadari pula, terkadang orang tua sering meletakkan harapan terlalu tinggi pada anak. Dan ketika anak tidak mampu melakukannya, orang tua menghujani dengan kritikan-kritikan, atau membandingkan dengan anak-anak yang lain. Padahal harapan itu seharusnya disesuaikan dengan kemampuan anak sendiri.  [Dra (Psi) Zulia Ilmawati , Menumbuhkah Kepercayaan Diri Anak, Media ummat;Thursday, 14 April 2011 15:45].

Kecintaan kepada anak selain memenuhi kebutuhan materi juga menjaga sikap-sikap kasar kepadanya, kita boleh memarahi anak dikala dia melakukan kesalahan atau kenakalan tapi lakukan dengan lemah lembut, jangan sampai terjadi pemukulan kepadanya.

Dan beliau bersabda, “Jika Allah menginginkan kebaikan bagi sebuah anggota keluarga maka Dia akan memasukkan kelembutan kepada mereka” (HR. Ahmad 6/71, 6/104-105, hadits shahih)
Sabda beliau, “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan.” (HR. Muslim 2593 dari ‘Aisyah secara marfu’)

Selama dalam perbaikan tidak memerlukan pemukulan maka janganlah memukul. Karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam sendiri bila harus memilih antara dua pilihan maka beliau memilih yang paling mudah selama bukan dosa. (HR. Bukhari 3560 dan Muslim 2327 dari ‘Aisyah secara marfu’)
Telah diriwayatkan pula bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya sama sekali, tidak kepada istri beliau ataupun pembantu beliau. Beliau hanya memukul ketika berperang dijalan Allah. (HR. Muslim 2328)

Maka kita sebaiknya menggunakan kata-kata nasehat jika ingin memperbaiki perilaku anak atau dengan menggunakan dorongan dan motivasi.
Bila kata-kata yang baik tidak berpengaruh maka kita gunakan kata-kata yang berisi teguran dan ancaman sesuai dengan kesalahan anak. Bila juga tidak bermanfaat maka saatnya memukul. Untuk itu kondisi tabiat anak berbeda-beda.
Diantara mereka ada yang cukup dengan isyarat mata untuk menghukum dan menegurnya. Isyarat mata ini memberikan pengaruh yang kuat pada dirinya dan menjadi sebab berhenti dari kesalahan yang ia lakukan.
Diantara mereka ada yang jika Anda membuang muka darinya maka dia segera paham maksud Anda dan berhenti dari kesalahannya.
Diantara mereka ada yang berubah dengan kata-kata baik. Maka gunakan kata-kata yang baik untuk anak yang seperti ini.
Dan diantara mereka tidaka ada yang membuatnya sadar kecuali harus dengan pukulan dan perlakukan keras. Maka untuk anak tipe seperti inilah kita lakukan pemukulan dan berlaku keras. Akan tetapi sesuai dengan kebutuhan saja serta tidak menjadikannya kebiasaan. Seperti halnya seorang dokter yang memberi suntikan kepada pasiennya walaupun suntikan itu menyakitkan akan tetapi suntikan itu sebatas kadar penyakitnya saja.[Bolehkah Memukul Anak? Muslimah.or.idJanuary 9, 2012].

Pendapat yang menyatakan, “Satu teladan lebih baik dari pada seribu instruksi”, agaknya benar, sebab anak lebih cendrung meniru segala sikap dan tingkah laku dari orang tua atau orang yang lebih besar darinya. Sebagaimana Lukmanul Hakim, namanya disebutkan dalam Al Qur’an karena kemahirannya memberikan teladan kepada anak-anaknya sebagai media pendidikan yang praktis, sebagaimana yang dijelaskan oleh Khofifah Indar Parawansa Mantan Menteri Peranan Wanita dan Ketua Umum DPP Muslimat NU

Nama Luqmanul Hakim sangat popular dalam dunia Islam, karena nasihat-nasihatnya yang penuh hikmah. Bukan sekadar pesan, namun nasihatnya merupakan pendidikan seorang bapak terhadap anaknya yang penuh dengan kasih sayang serta ajaran tentang akidah dan akhlak. Karena keteladanannya dalam mendidik anak itu pula, Allah mengabadikan namanya dalam Alquran, yakni Surah Luqman.

Tentang asal-usul Luqman, ada beda pendapat di antara para ulama. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan, ia bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat dia berasal dari Sudan. Dan, ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim di zaman Nabi Daud AS.

Ada enam hal penting yang disampaikan Luqman kepada anaknya. Pertama, larangan mempersekutukan Allah. (QS Luqman: 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak. (QS Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah. (QS Luqman: 16). Keempat, mendirikan shalat, 'amar makruf nahi mungkar, dan sabar dalam menghadapi persoalan. (QS Luqman: 17). Kelima, larangan sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 18). Dan keenam, bersikap sederhana dan bersuara rendah (QS Luqman: 19).

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Luqman tersebut, terutama soal keteladanan seorang bapak dalam mendidik anak. Luqman menanamkan tauhid dan keimanan kepada Allah SWT, juga norma dan tata cara berhubungan dengan keluarga dan masyarakat luas. Luqman tidak hanya berbicara, tapi langsung memberikan uswah (teladan) kepada anaknya.

Urgensi keteladanan disebutkan dalam hadis nabi. "Barang siapa yang memberikan contoh baik, maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang yang mengikuti hingga hari kiamat, yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan barang siapa yang memberi contoh buruk, maka baginya dosa atas perbuatannya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang-orang yang mengikutinya." (HR Imam Muslim).

Dalam konteks sekarang, kisah Luqman perlu disosialisasikan secara terus-menerus di tengah bermunculannya kasus anak-anak yang tidak mendapatkan hak sewajarnya dalam keluarga. Mereka hidup nyaris tanpa perlindungan. Bahkan, banyak anak hidup di bawah ancaman dan kekerasan, karena orang tua lari dari tanggung jawab. Di sisi lain, kini banyak perilaku negatif di masyarakat yang bisa mendorong anak-anak menjadi jauh dari akidah dan akhlak Islam. Tayang televisi yang kurang bermutu, serta maraknya aksi pornografi dan pornoaksi, merupakan bagian dari penyebabnya. Akibatnya, anak-anak kerap mengalami krisis keteladanan.

Untuk itu,  keluarga memegang peran penting agar anak-anak menemukan keteladanan dalam hidupnya. Dari keluarga, anak menemukan tata nilai agama dan norma yang berhubungan dengan masyarakat, sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW. Sehingga, terbentuk keluarga sakinah yang senantiasa dinaungi hidayah Allah SWT.[Keteladanan dalam Mendidik Anak, republika.co.id.  Kamis, 02 Juni 2011 02:00 WIB].
Cinta terhadap anak selain merupakan naluri  atau fithrahnya manusia juga keinginan orangtua untuk beramal lebih banyak sebab segala kebaikan yang dikeluarkan oleh orangtua tidaklah percuma saja tapi bernilai ibadah apalagi mampu mencetak anak jadi anak yang shaleh dan shalehah.
Salah satu amal yang tidak pernah terputus pahalanya sekalipun kita telah meninggalkan dunia ini adalah anak yang shalih. Doa anak yang shalih merupakan salah satu doa yang insya Allah pasti terkabul. Karenanya, orang tua harus mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Memang, tak mudah membesarkan anak hingga menjadi pribadi ideal, meraih sukses dunia-akhirat. Butuh kesabaran, kerja keras, keikhlasan, dan masih banyak lagi. Tanpa bermaksud menyederhanakan, berikut beberapa tips yang diaplikasikan oleh orang tua yang disarikan dari tata cara mendidik anak ala Rasulullah SAW:
1. Menanamkan Nilai-nilai Tauhid
Mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah dalam hal beribadah kepada-Nya, menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selain-Nya, tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah. Selain itu, orang tua harus menekankan bahwa setiap langkah manusia selalu dalam pengawasan Allah Swt. dan penerapan konsep tersebut adalah dengan berusaha menaati peraturan dan menjauhi larangan-Nya. Orang tua selaku guru pertama bagi anak-anaknya harus mampu menyesuaikan tingkah lakunya dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Ini adalah pendidikan yang paling penting di atas hal-hal penting lainnya.
2. Menjadi Sahabat dan Mendidik dengan Keteladanan
Setiap anak akan belajar dari lingkungannya dan dalam hal ini lingkungan keluarga akan sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya. Orang-orang di sekelilingnya akan menjadi model dan contoh dalam bersikap. Orang tua harus menjadi teladan anak-anaknya. Beri contoh yang baik sesuai nasihat dan ucapannya kepada para anak. Akan lucu jika yang disampaikan orang tua kepada anak-anaknya ternyata tidak dilakukan oleh orang tua itu sendiri. Keteladanan sangat menentukan, terlebih di zaman sekarang media tontonan tidak dapat diharapkan menjadi contoh yang baik bagi pembentukan akhlak anak-anak Muslim.
3. Mendidik dengan Kebiasaan
Kebaikan harus dimulai dengan pembiasaan. Anak harus dibiasakan bangun pagi agar mereka gemar melaksanakan shalat subuh. Anak harus dibiasakan ke masjid agar mereka gemar melakukan berbagai ritual ibadah di masjid. Pembiasaan itu harus dimulai sejak dini, bahkan pembiasaan membaca Alquran pun bisa dimulai sejak dalam kandungan. Pembiasaan shalat pada anak harus sudah dimulai sejak anak berumur tujuh tahun.
4. Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Anak
Sebagai upaya menumbuhkan rasa percaya diri anak, Rasulullah SAW menggunakan beberapa cara berikut. Saat sedang berpuasa, Rasulullah mengajak anak-anak bermain sehingga siang yang panjang terasa cepat. Anak-anak akan menyongsong waktu berbuka dengan gembira. Hal ini juga membuat anak memiliki kepercayaan diri sehingga sanggup berpuasa sehari penuh. Sering membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, resepsi, atau bersilaturahim ke rumah saudara sebagai upaya menumbuhkan kepercayaan diri sosialnya. Mengajari Alquran dan Sunnah serta menceritakan sirah nabi untuk meningkatkan kepercayaan diri ilmiahnya. Menanamkan kebiasaan berjual-beli untuk meningkatkan kepercayaan diri anak terkait ekonomi dan bisnis. Di samping itu, sejak dini anak akan terlatih mandiri secara ekonomi.
5. Memotivasinya  Berbuat Baik
Seorang anak, meski kecil, juga terdiri atas jasad dan hati. Mereka dilahirkan dalam keadaan bersih dan suci sehingga hatinya yang putih dan lembut itu pun akan mudah tersentuh dengan kata-kata yang hikmah. Anak-anak, terutama pada usia emas (golden age), cenderung lebih mudah tersentuh oleh motivasi ketimbang ancaman. Karenanya, hendaknya orang tua tidak mengandalkan ancaman untuk mendidik buah hati. Lebih baik orang tua memotivasi anak dengan mengatakan bahwa kebaikan akan mendapat balasan surga dengan segala kenikmatannya. Itu pulalah yang dicontohkan  Rasulullah kepada kita ketika beliau mendidik para sahabat. [Mendidik Anak Cara Rasullulah, Media ummat Thursday, 03 November 2011 19:04].
Cinta terhadap anak tidak cukup hanya memberikan makanan yang bergizi padanya, makanan yang baik lagi halal sangat mempengaruhi perkembangan anak, selain itu cinta kepada anak tidak cukup hanya memberikan pendidikan setinggi-tingginya kepada mereka, tapi jangan lupa untuk menanamkan iman yang bersih dari syirik dan amal yang shaleh, anak walaupun mereka masih kecil, tidak bisa dilepaskan begitu saja, anak terserah anak dan orangtua terserah orangtua, tapi orangtua harus punya banyak peran untuk mencetak anak jadi anak yang baik, peran sebagai ayah yang memberikan nafkah lahir dan batin kepada anak-anaknya, sebagai sahabat, orangtua melakukan pendekatan secara personal kepada anaknya agar mengerti apa yang diinginkan anaknya dan orangtua juga diharapkan berperan sebagai ustadz yaitu memberikan wejangan-wejangan agama pada saat-saat tertentu kepada anak-anaknya, orangtua harus mempunyai kemampuan untuk itu agar ujud cinta kepada anak terujud, Wallahu A’lam

jangan ...

Selain aqidah dan ibadah maka islam juga punya kekuatan lain yang mengatur tentang sikap dan sifat manusia untuk hidup secara baik diantaranya hubungan antar sesama manusia, hal itu disebut dengan akhlak, walaupun sebenarnya akhlak bukan hanya mengatur hubungan itu saja, akhlak kepada Allah, akhlak  kepada Rasul dan kepada lingkungan juga merupakan aturan yang diajarkan.

 Syariah Islam adalah syariah yang sempurna yang menekankan pada pembinaan pribadi yang Islami dari segala aspeknya, sebagaimana yang di Sabdakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:“Orang yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Akhlak yang mulia merupakan refleksi iman dan buahnya, iman tidak akan menampakkan buahnya tanpa akhlak. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa tujuan terbesar diutusnya adalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia, beliau bersabda:“Sesungguhnya saya di bangkitkan untuk menyempurnakan akhla-akhlak yang mulia.” (HR. Bukhari dan Ahmad

Oleh sebab itu Allah menyanjung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akhlak yang baik, Allah berfirman  yang artinya:“Dan sesungguhnya engkau  ( Muhammad) benar-benar berakhlak yang agung.” (Al-Qalam 4)
Setiap kali seorang pelajar muslim mempunyai budi pekerti Islami dalam tingkah lakunya, semakin dekatlah ia kepada kesempurnaan yang dicita-citakan yang dapat mendorong untuk semakin bernilai dan semakin dekat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Sebaliknya bila ia semakin jauh dari budi pekerti dan etika Islami, maka pada hakekatnya ia semakin jauh dari ruh dan system dasar Islam, sehingga ia menjadi manusia robot yang tiada memiliki ruh dan perasaan. Maka timbullah tawuran antar pelajar yang sekarang marak terjadi.
Ibadah-ibadah dalam Islam sangat erat kaitannya dengan akhlak. Setiap ibadah tidak bernilai bila tidak tergambarkan dalam bentuk akhlak yang utama. Shalat misalnya dapat memelihara manusia dari perbuatan keji dan munkar; puasa yang dapat mengantarkan kepada takwa, zakat dapat membersihkan hati, mensucikan dan membebaskan jiwa dari penyakit bakhil, haji merupakan lapangan nyata untuk membersihkan dan mensucikan diri dari penyakit iri dan dengki.[ Choirul Hisyam,Inilah Akhlaq Islam, 3 December 2011,Nahi Munkar.com]. 

Rasulullah saw, bersabda,”Haram hukumnya bagi seorang mukmin merongrong harta, kehormatan atau jiwa muslim yang lain. Seseorang telah dicatat melakukan suatu kejahatan jika menghina saudaranya sesama muslim.”[HR. Abu Dawud].

Rasulullah saw, bersabda,”Janganlah saling mendengki, menyiarkan aib orang lain, dan saling membelakangi [bermusuh-musuhan]. Selain itu, janganlah seseorang membeli [barang] yang telah dibeli oleh orang lain, tapi jadilah kalian hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Oleh karena itu,dia tidak boleh menzhaliminya, merendahkannya, maupun menghinanya. Takwa itu berada di sini [sambil menunjuk ke dada beliau tiga kali]. Seorang muslim sudah dipandang melakukan kejahatan jika dia mengejek saudaranya sesame muslim. Seorang muslim diharamkan mengganggu jiwa, harta, maupun kehormatan muslim yang lain.”[HR. Ahmad].

Hadits di atas mengajarkan kepada kita sebagian syarat-syarat ukhuwah Islamiyah yang harus dipenuhi oleh setiap muslim, di antaranya: 

Larangan Saling Mendengki
"Dan janganlah kalian saling mendengki". Berkata Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitabnya Jami'ul Ulum wal Hikam, "Tidak boleh saling mendengki sebagian kalian terhadap sebagian yang lain. Dengki yaitu perasaan tidak suka kalau ada orang lain mengunggulinya dalam salah satu keutamaan yang dimilikinya". Asy-Syaikh Al-'Allamah Muhammad Hayat As-Sindi berkata dalam kitabnya Syarh Arba'in Nawawiyah, "Tidak boleh sebagi an di antara kamu mengharapkan lenyapnya kenikmatan dari sebagian yang lain, karena perbuatan itu akan menjadikannya ingkar terhadap Allah, yaitu terhadap apa-apa yang telah Allah bagi dan tentukan dengan hikmah dan ketentuanNya. Dengki itu dapat menyebarkan permusuhan, ghibah dan namimah. Orang yang suka mendengki itu hatinya selalu sedih dan gundah, sebab dia akan selalu tersiksa oleh perbuatannya setiap kali melihat orang yang didengkinya mendapat kenikmatan.

Larangan Saling Menipu
"Janganlah saling menipu." Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitabnya Jami'ul Ulum wal Hikam berkata, "Banyak sekali ulama yang menafsirkan kata 'an-najsy' di sini dengan arti meninggikan penawaran harga barang yang dilakukan oleh orang yang tidak akan membelinya, mungkin untuk memberikan manfaat bagi penjual dengan adanya tambahan harga, atau untuk mencelakakan pem beli dengan meninggikan harga yang harus dibayar." Dari Ibnu Umar, dari Nabi r, bah wa beliau melarang menawar barang melebihi harganya (dengan tujuan menipu pembeli lain). (HR. Al-Bukhari dan Muslim), Ibnu Abi Aufa berkata, "Pelaku tipu menipu (seperti ini) adalah pema kan riba dan pengkhianat." Ibnu Abdil Barr mengatakan, "(Ijma' para ulama menyebutkan) bahwa yang melakukan perbuatan ini berarti melakukan maksiat kepada Allah jika dia telah mengetahui larangan ini.

Larangan Saling Membenci
"Dan janganlah kalian saling membenci." Asy-Syaikh Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Hayat As-Sindi rahimahullah berkata, "Janganlah kalian melakukan apa yang akan menyebabkan saling membenci karena itu akan menyebab kan bermacam-macam kerusakan di dunia dan bencana di akhirat." Al-Imam Al-Hafizh Rajab Al-Hambali berkata, "Sesama muslim dilarang saling membenci dalam hal selain karena Allah, apalagi atas dasar hawa nafsu, karena sesama muslim itu telah dijadikan Allah bersaudara dan persaudaraan itu saling cinta bukan saling benci." Rasulullah r bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, tidaklah kalian masuk Surga sehingga kalian beriman dan tidaklah kalian beriman sehingga saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu, jika kalian lakukan akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian." (HR. Muslim) 

Larangan Saling Memutuskan Hubungan (Silaturahim)
"Janganlah kalian putuskan hubungan." Al-Imam Al-'Allamah Ibnu Daqiqil 'Ied berkata, "Makna 'tadabaru' adalah saling bermusuhan, dan ada pula yang mengatakan saling memu tuskan hubungan karena masing-masing saling membelakangi." Asy-Syaikh Al-'Allamah Muhammad Hayat As-Sindi berkata, "Tidak diperbo lehkan sebagian kalian berpaling dari sebagian yang lain, tetapi seharusnya kalian menghadapi mereka dengan wajah berseri-seri, hati yang bersih dari kedengkian dan permusuhan serta dengan tutur kata yang manis." Nabi bersabda, "Tidak halal bagi seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari, keduanya bertemu tidak saling menyapa, sebaik-baik di antara kedua nya adalah yang memulai salam." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Memutuskan hubungan yang dimaksud hadits ini adalah dalam masalah duniawiyah. Adapun dalam masalah diniyah dibolehkan memu tuskan hubungan lebih dari tiga hari sebagaimana dilakukan Imam Ahmad dll., seperti terhadap ahli bid'ah, kaum munafik dan yang mengajak memper turutkan hawa nafsu. 

Larangan Menyerobot Transaksi Saudara Sesama Muslim
Asy-Syaikh As-Sindi berkata, "Ada salah seorang di antara kamu mengatakan kepada orang yang mena war dagangan orang lain, 'tinggalkan lah, aku akan jual kepadamu dengan harga yang lebih murah', atau menga takan kepada orang yang hendak menjual dagangannya kepada sese orang, 'tinggalkanlah, aku akan membeli darimu dengan harga yang lebih tinggi'."
Semua perbuatan di atas menafi kan ukhuwah Islamiyah, karena seorang mukmin itu mencintai apa yang untuk saudaranya seperti apa yang untuk dirinya. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Hendaklah setiap orang di antara kamu melakukan mu'amalah ukhuwah (persaudaraan) dengan sebenar-benarnya dengan cara menghendaki kebaikan untuk saudaranya sebagaimana menghen daki untuk dirinya, dan membenci kejahatan yang ada pada saudaranya seperti membenci kejahatan itu menimpa dirinya.
Al-Hafizh Ibnu Rajab mengata kan, "Di dalam lafazh itu menunjukkan bahwa mereka meninggalkan saling mendengki, menipu, membenci, memutuskan hubungan silaturahim dan menyerobot transaksi saudaranya, dengan demikian mereka bersaudara. Dalam hadits ini juga diperintahkan untuk mencari apa saja yang dapat menjadikan orang-orang muslim bersaudara secara mutlak. Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain." Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu." (Al-Hujurat: 10). Jika orang-orang mukmin itu bersaudara mereka diperintahkan untuk dapat melunakkan hati dan mempersatukannya, dilarang melaku kan apa yang dapat menyebabkan perpecahan dan perselisihan. 

Berkata Syaikh Muhammad Hayat As-Sindi, "Persaudaraan Islam itu lebih kuat dari persaudaraan karena nasab." Karena itu tidak boleh menzha limi saudaranya sesama muslim dalam bentuk apapun. Tidak boleh mendiam kan untuk tidak menolongnya jika melihat ia dizhalimi, karena setiap mukmin diperintahkan saling tolong-menolong seperti sabda Nabi, "Tolong lah saudaramu dalam keadaan zhalim atau dizhalimi", ia berkata (Abu Hurairah), 'wahai Rasulullah, aku tolong dia dalam keadaan dizhalimi, lalu bagaimanakah aku menolongnya dalam keadaan zhalim?', beliau bersabda, "Kamu cegah dia dari kezhaliman nya maka itulah pertolonganmu kepada nya." (HR. Al-Bukhari) 

Kemudian harus selalu berkata dan bersikap benar (jujur) kepadanya. Tidak boleh meremehkannya, sebab sikap meremehkan orang lain itu tumbuh dari kesombongan dirinya sebagaimana sabda Nabi, "Kesom bongan itu menolak kebenaran dan menghinakan orang." (HR. Muslim)
Allah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, jangan lah satu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain karena boleh jadi yang diolok-olokkan itu lebih baik dari yang mengolok-olokkan dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olokkan wanita yang lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olok itu lebih baik daripada yang mengolok-olok." (Al-Hujurat: 11) 

Orang yang sombong akan memandang dirinya sempurna dan memandang orang lain serba kekurangan kemudian mencela, meremehkan dan tidak mau menerima kebenaran yang datang dari orang lain.
Taqwa Letaknya di Dada, Sabda Rasulullah, "Taqwa itu di sini", seraya menunjuk ke dadanya tiga kali."
Dalam kalimat ini menunjukkan bahwa kemuliaan makhluk di sisi Allah itu dengan ketakwaan. Allah berfirman, "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa." (Al-Hujurat: 13) 

Sabda Nabi, "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada sosokmu dan hartamu, tetapi Dia akan melihat kepada hatimu dan amalanmu." (HR. Muslim) 

Dari ayat Al-Qur'an dan hadits di atas diketahui bahwa ketakwaan itu ada di dalam hati dan dilihat dari amalannya. Di antara kejahatan seorang muslim adalah melakukan penghinaan terhadap saudaranya. Cukup seseorang itu (dikatakan) melakukan kejahatan dengan menghinakan saudaranya sesama muslim, sebab menghina adalah kesombongan yang merupakan salah satu bentuk kejahatan.
Sabda Nabi, "Tidak akan masuk Surga orang yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah dari kesombongan." (HR. Muslim)
Orang Muslim itu Diharamkan Darah, Harta dan Kehormatannya, Nabir pernah bersabda pada waktu haji Wada' yang disaksikan oleh sebagian besar sahabatnya, di antara pesan beliau adalah, "Sesungguh nya harta, darah dan kehormatan kamu haram atas kamu seperti kemuliaan harimu ini dalam bulanmu ini di negerimu ini." (HR. Al-Bukhari dan Muslim) 

Hadits di atas menunjukkan bahwa darah, harta dan kehormatan seorang muslim tidak boleh diganggu. Banyak sekali nash yang menunjukkan tentang larangan ini dan tidak terbatas pada waktu dan tempat. Allah I telah menjadikan orang-orang mukmin itu bersaudara agar mereka saling kasih-mengasihi dan sayang-menyayangi. Sabda Nabi, "Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan kasih-mengasihi seperti tubuh, jika salah satu anggota tubuh terasa sakit, maka seluruhnya akan tidak bisa tidur dan demam." (Muttafaq 'Alaih) [disadur dari materi dengan judul Ukhuwah oleh Ibrahim Sa'id, Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia].

Akhlak mulia seorang muslim dalam pergaulan sehari-hari adalah memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing diantaranya tidak merugikan hak orang lain. Banyak akhlak mulia yang layak kita munculkan dalam hidup berinteraksi dengan orang lain yang intinya tidak merugikan bahkan membahagiakan dan menyenangkan orang lain sebagaimana yang ditulis oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi, dalam judul Kiat Menggapai Akhlak Mulia yang dipublikasikan olehwww.muslim.or.id pada tanggal 14 September 2008 diantaranya;

1. Bersikap Adil
Sikap adil akan menuntun kepada ketepatan perilaku. Tidak melampaui batas dan tidak meremehkan. Adil akan melahirkan kedermawanan yang berada di antara sikap boros dan pelit. Adil akan melahirkan sikap tawadhu’ (rendah hati) yang berada di antara sikap rendah diri dan kesombongan. Adil juga akan melahirkan sikap berani yang berada di antara sikap pengecut dan serampangan. Adil pun akan melahirkan kelemahlembutan yang berada di antara sikap suka marah dengan sifat hina dan menjatuhkan harga diri.

2. Bersikap Ramah dan Menjauhi Bermuka Masam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Senyummu kepada saudaramu (sesama muslim) adalah sedekah untukmu.”(HR. Tirmidzi, disahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah: 272). Beliau juga bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan meskipun ringan. Walaupun hanya dengan berwajah yang ramah ketika bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim). Senyuman akan mencairkan suasana dan meringankan beban pikiran. Orang yang murah senyum akan ringan dalam menunaikan tanggung jawabnya. Kesulitan baginya merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan tenang dan pikiran positif. Berbeda dengan orang yang suka bermuka masam. Dia akan menghadapi segala sesuatu dengan penuh kerepotan dan pandangan yang sempit. Apabila menemui kesulitan maka nyalinya mengecil dan semangatnya menurun. Akhirnya dia mencela kondisi yang ada dan merasa tidak puas dengan ketentuan (takdir) Allah lantas dia pun melarikan diri dari kenyataan.

3. Mudah Memaafkan
Mudah memaafkan dan mengabaikan ketidaksantunan orang lain merupakan akhlak orang-orang besar dan mulia. Sikap inilah yang akan melestarikan rasa cinta dan kasih sayang dalam pergaulan. Sikap inilah yang akan bisa memadamkan api permusuhan dan kebencian. Inilah bukti ketinggian budi pekerti seseorang dan sikap yang akan senantiasa mengangkat kedudukannya.

4. Tidak Mudah Melampiaskan Amarah
Hilm atau tidak suka marah merupakan akhlak yang sangat mulia. Akhlak yang harus dimiliki oleh setiap orang yang memiliki akal pikiran. Dengan akhlak inilah kehormatan diri akan terpelihara, badan akan terjaga dari gangguan orang lain, dan sanjungan akan mengalir atas kemuliaan perilakunya. Hakikat dari hilm adalah kemampuan mengendalikan diri ketika keinginan untuk melampiaskan kemarahan bergejolak. Bukanlah artinya seorang yang memiliki sifat ini sama sekali tidak pernah marah. Namun tatkala perkara yang memicu kemarahannya terjadi maka ia bisa menguasai dirinya dan meredakan emosinya dengan sikap yang bijaksana.

5. Tidak Suka Mencela
Hal ini menunjukkan kemuliaan diri seseorang dan ketinggian cita-citanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang bijak,“Kemuliaan diri yaitu ketika kamu dapat menanggung hal-hal yang tidak menyenangkanmu sebagaimana kamu sanggup menghadapi hal-hal yang memuliakanmu.” Diriwayatkan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang pergi berangkat ke masjid pada waktu menjelang subuh (waktu sahur, suasana masih gelap). Ketika itu dia berangkat dengan disertai seorang pengawal. Ketika melewati suatu jalan mereka berdua berpapasan dengan seorang lelaki yang tidur di tengah jalan, sehingga Umar pun terpeleset karena tersandung tubuhnya. Maka lelaki itu pun berkata kepada Umar, “Kamu ini orang gila ya?”. Umar pun menjawab, “Bukan.”Maka sang pengawal pun merasa geram terhadap sang lelaki. Lantas Umar berkata kepadanya, “Ada apa memangnya! Dia hanya bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu gila?’ lalu kujawab bahwa aku bukan orang gila.”

Dari akhlak yang disebutkan diatas, intinya mengajak ummat ini agar senantiasa memupuk ukhuwah islamiyah yaitu persaudaraan muslim sebaik-baiknya, janganlah karena sesuatu lain hal melakukan tindakan yang merugikan saudara kita sendiri, ibaratnya dalam persaudaraan itu adalah bila kita sakit kalau dicubit maka demikian pula dengan saudara kita akan merasakan hal yang sama, wallahu ‘alam

Sampaikan dengan jujur

Sampai kapanpun juga kebaikan akan tetap mulia walaupun banyak orang tidak melakukannya seperti sikap jujur diakui oleh siapapun adalah pribadi yang baik walaupun dampaknya mendatangkan hal negative, apalagi dizaman sekarang bahkan mungkin zaman yang akan datang, masih banyak orang -orang yang bersikap jujur hadir di masyarakat, dengan kejujurannya itu dia tidak mendapatkan apa-apa bahkan mungkin dia akan menerima akibat dari jujur itu.

Ada cerita nyata di salah satu kantin sekolah.Saat itu, terdapatlah dua anak kelas tiga SMP, yang baru saja menerima pengumuman bahwa diri mereka lulus.Dari sekian banyak peserta ujian di sekolah tersebut, hanya satu anak yang tidak lulus. Usut punya usut ternyata anak tersebut berusaha untuk tidak mengkhianati dirinya dengan cara tidak menyontek. Dalam kata lain, dia telah berperilaku jujur dalam menjawab soal-soal ujian.

Terhadap hal ini, dua anak yang sedang mengobrol di kantin tersebut, mencemooh apa yang telah dilakukan oleh anak yang tidak lulus. “Sok suci sih, gak mau nyontek.Ya, rasain sendiri akibatnya, dia sendiri yang tidak lulus,” demikianlah komentar salah satu di antara mereka.

Kasus di atas, setidaknya menunjukkan satu potret nyata, betapa sebagian dari masyarakat kita telah menghilangkan ataupun tidak mengindahkan konsep jujur dalam berperilaku.Nahasnya, hampir seluruh aspek kehidupan negeri ini, telah tercemari olehnya.Tak terkecuali masalah penetapan hukum yang seharus berdasarkan kepada kejujuran, dengan mengatakan yang salah itu salah, dan yang benar itu benar.

Sebaliknya, konsep hidup khianat, bohong, dusta, sepertinya telah menjadi suatu yang tak terpisahkan lagi dari setiap gerak-gerik kita.Seorang penjual, dengan culasnya membohongi para pembeli.Para hakim dengan mudahnya untuk disuap, sehingga keputusan mereka timpang sebelah. Begitu pula terhadap kasus-kasus yang lain.

Di dalam kehidupan kita, beredar motto hidup yang salah-kaprah, ucapan seperti "jujur hancur", atau istilah-istilah lain, yang sesungguhnya adalah tabiat korupsi."Obyek sana obyek sini". "Kalau gak begini mas, hanya ngandalkan gaji kantor, gak cukup," begitu istilahnya. Tabiat seperti itu, nampaknya telah terpatri dan mendarah daging di sebagian masyarakat kita. Padahal, tindakan itu adalah korupsi alias mencuri.[Robin Sah Jujur: Tips Manjur Menuju Hidup "Makmur"Hidayatullah.com, Senin, 21 Juni 2010].

Ketika saya masih mengajar di tahun 1990, bertemu dengan seorang guru senior yang mantan kepada sekolah, semua teman-temannya rata-rata sudah mendapat tempat yang strategis di Pemerintahan, minimal mampu bertahan sebagai kepala sekolah, ketika saya berdialok dengannya, bapak ini mengaku tidak lama sebagai kepala sekolah karena dia tidak mau berlaku curang, persoalannya hanya ringan saja, ketika kepada dinas Pendidikan dan Kebudayaan datang mengunjungi sekolahnya, dilayani apa adanya, sangat sederhana dan tidak diberi amplop sebagai uang jalan. Tidak berapa lama dia diundang ke Kantor Dinas, menghadap atasan, disana dia beberkan segala keterbatasannya yang tidak mampu mentraktir dan memberi uang jalan kepada tamunya dari dinas terkait karena dia tidak mau korupsi, akhirnya dia diberi pesan oleh atasannya dengan mengatakan,”Kalau anda masih mau jadi Kepala Sekolah maka berpandai-pandailah, bukan pandai”, karena sang tokoh ini tidak bisa berpandai-pandai walaupun dia pandai, tidak begitu lama akhirnya jabatan itu diberikan kepada orang lain.

Itu sebuah cermin kejujuran sudah dianggap pakaian usang yang tidak layak lagi dikenakan walaupun untuk sebuah jabatan.
Kejujuran adalah tanda bukti keimanan.Orang mukmin pasti jujur.Kalau tidak jujur, keimanannya sedang terserang penyakit kemunafikan. Pernah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: "Apakah mungkin seorang mukmin itu kikir?" Rasul SAW  menjawab: "Mungkin saja." Sahabat bertanya lagi: "Apakah mungkin seorang mukmin bersifat pengecut?" Rasul menjawab: "Mungkin saja." Sahabat bertanya lagi, "Apakah mungkin seorang mukmin berdusta?" Rasulullah menjawab: "Tidak." (HR Imam Malik dalam kitab al Muwaththo')

Inti hadis ini menegaskan, seorang mukmin tidak mungkin melakukan kebohongan.Kejujuran adalah pangkal semua perbuatan baik manusia.Tidak ada perbuatan dan ucapan baik kecuali kejujuranlah yang mendasarinya.Oleh sebab itu, Allah menyuruh orang-orang mukmin agar selalu berkata benar dan jujur."Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang jujur/benar." (al-Ahzab [33]: 70).

Rasulullah bersabda: "Kamu sekalian wajib jujur karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada surga." (HR Ahmad, Muslim, at-Turmuzi, Ibnu Hibban)
Kejujuranlah yang menjadikan Ka'b bin Malik mendapat ampunan langsung dari langit sebagaimana Allah jelaskan dalam surah at-Taubah. Kejujuranlah yang menyelamatkan bahtera kebahagiaan keluarga dan kejujuran pulalah yang menyelamatkan seorang Muslim dari siksa api neraka di kemudian hari. Kejujuran adalah tiang agama, sendi akhlak, dan pokok kemanusiaan manusia. Tanpa kejujuran, agama tidak lengkap, akhlak tidak sempurna, dan seorang manusia tidak sempurna menjadi manusia.[Achmad Satori  Ismail,Mengukur Kejujuran,eramuslim.com.Thursday, 28 April 2011 13:15 WIB]

Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar (QS at- Taubah [9]: 119).
Dalam ayat di atas, Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah; yakni dengan cara meninggalkan maksiat (dan tentu dengan menjalankan ketaatankepada Allah SWT). Jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar; yakni baik dalam keimanan maupun dalam memenuhi berbagai macam perjanjian.  Sebagian ulama menyatakan: ma'a ash-shadiqqin (beserta orang- orang yang jujur/benar) artinya bersama orang-orang yang senantiasa berdiri di atas jalan hidup yang benar ('ala minhaj al-haqq).

Terkait dengan ayat di atas, di dalam sebuah hadisnya Baginda Rasulullah SAW bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Mas'ud, “Sesungguhnya kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) mengantarkan pada kebaikan (al-birru), dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan pada surga.Sesungguhnya kebohongan/kedustaan mengantarkan pada kefasikan/kemaksiatan, dan sesungguhnya kefasikan/kemaksiatan mengantarkan pada neraka. Sesungguhnya seseorang yang benar-benar bersikap jujur/benar akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur/benar. Sesungguhnya seseorang yang benar- benar berbohong di sisi Allah akan dicatat sebagai pembohong.”(Mutaffaq 'alaih).

menyebut segala jenis kebaikan (al-khayr). Imam al- Qurthubi berkata, “Setiap orang yang memahami Allah SWT wajib bersikap jujur/benar dalam ucapan, ikhlas dalam amal perbuatan dan senantiasa 'bersih' (tidak banyak melakukan dosa/kemaksiatan) dalam seluruh keadaan.Siapapun yang keadaannya seperti itu, dialah orang-orang benar-benar baik dan benar-benar ada dalam ridha Allah Yang Maha Pengampun.” (Lihat: Muhammad bin 'Allan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh ash-Shalihin, I/ 146).
Maknanya, kejujuran/kebenaran dalam ucapan akan mengantarkan pada amal shalih yang sunyi dari segala cela. Dalam hal ini al-birru adalah nama untuk

 

Seorang yang jujur/benar pasti akan jauh dari sifat- sifat munafik—sebagaimana dinyatakan oleh Baginda Rasulullah SAW—yakni: dusta dalam berbicara;  ingkar janji, mengkhianati amanah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Terkait dengan sifat munafik ini, Sahabat Hudzaifah ra pernah berkata, “Orang-orang munafik sekarang lebih jahat (berbahaya) daripada orang munafik pada masa Rasulullah SAW” Saat ia ditanya, “Mengapa demikian?” Hudzaifah menjawab, “Sesungguhnya pada masa Rasulullah SAW mereka menyembunyikan kemunafikannya, sedangkan sekarang mereka berani menampakkannya.” (Diriwayatkan oleh al-Farayabi tentang sifat an-nifaq (51-51), dengan isnad sahih).[ Bersikap Jujur, Menjauhi Dusta, Media ummat, Wednesday, 13 April 2011 09:45].

Dr. Saad Riyadh dalam bukunya berjudul Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah Saw, menyatakan tentang Kejujuran ;
Perihal keutamaan sifat ini, Imam Al Ghazali berkata,”Dalam hal ini Allah Swt, telah berfirman,”Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah..”[Al Ahzab;23].

Selain itu Rasulullah Saw, juga bersabda,”Hendaklah kamu bersikap jujur karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan sementara kebajikan membawa ke syurga. Tidaklah seseorang senantiasa bersikap jujur dan berusaha keras memilih jalan kejujuran kecuali ia nantinya akan dicatat sebagai orang yang jujur disisi Allah. Jauhilah kebohongan karena sesungguhnya ia membawa kepada keburukan [fujur] sedangkan keburukan itu menghantarkan orang ke neraka. Tidaklah seseorang senantiasa bersikap dusta dan memilih jalan kedustaan kecuali ia nantinya akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah” [HR. Bukhari dan Muslim].

Lebih dari itu, cukuplah bukti untuk menunjukkan keutamaan sifat jujur ini dengan melihat bahwa gelar ash shiddiq terambil dari kata ini. Sebagian ulama berkata,”Para ulama maupun fuqaha sepakat bahwa apabila pada diri seseorang terdapat tiga hal maka dia akan selamat dunia akherat. Ketiga hal yang masing-masing saling berkaitan dan melengkapi tersebut adalah keislaman yang bebas dari kotoran bid’ah maupun hawa nafsu, sikap jujur kepada Allah Swt, dalam beramal, serta hanya memakan makanan yang baik dan halal”.
Lebih jauh beliau Saad Riyadh mengemukakan makna, hakekat dan tingkat kejujuran yaitu;
Ketahuilah bawah lafal ash shiddiq [kejujuran] menurut Islam dipergunakan dalam enam makna, yaitu jujur dalam perkataan, jujur dalam niat dan kemauan, jujur dalam tekad, jujur dalam menepati tekad yang dibuat, jujur dalam amal, serta jujur dalam seluruh sifat yang dipandang baik [mulia] oleh agama. Jika seseorang telah menggenggam kejujuran dalam seluruh maknanya ini maka dia berhak mendapat gelar ash shiddiq [orang yang paling jujur]. Di sini lain, orang-orang yang dikategorikan jujur juga bertingkat-tingkat. Artinya, jika dia hanya memiliki satu asfek saja maka dia hanya dikatakan sebagai seorang yang jujur dalam asfek tersebut, tidak pada asfek yang lain. Penjabarannya adalah sebagai berikut;

Pertama, jujur dalam perkataan.Artinya, kejujuran dalam pemberitaan atau hal-hal yang berkaitan dengan pemberitaan.
Kedua, jujur dalam niat dan kemauan.Kejujuran seperti ini dapat dikembalikan Allah Swt.
Ketiga, jujur dalam tekad.Manusia biasanya senang memasang tekad untuk melakukan amal tertentu. Contohnya, dia berkata kepada dirinya sendiri,”Jika Allah Swt, menganugerahkan kekayaan kepada saya maka saya akan bersedekah, baik dengan seluruh harta itu atau sebagiannya,” atau “jika saya bertemu dengan musuh ketika berjihad di jalan Allah Swt, maka akan saya perangi meskipun saya terbunuh karenanya”, atau “Jika Allah menjadikan saya penguasa maka saya akan memerintah dengan adil dan tidak akan mendurhakai Allah Swt, dengan cendrung kepada kenikmatan duniawi.”

Diantara tekad-tekad ini ada yang benar-benar lahir dari lubuk hati dan inilah yang dinamakan tekad yang jujur, namun ada pula yang ketika mengucapkannya terdapat semacam keraguan dan perasaan tidak yakin sehingga merusak kesempurnaan kejujuran tekad tersebut.Dari hal ini dapat dilihat bahwa kejujuran merupakan ungkapan yang melambangkan kesempurnaan dan kekokohan dalam tekad itu.

Keempat, jujur dalam menepati tekad yang telah dikemukakan.Seseorang terkadang dapat dengan mudah melontarkan tekad tertentu karena memang tidak sulit mengucapkannya.Akan  tetapi sulitnya menepati tekad itu baru terasa ketika yang menjadi tekad itu benar-benar terujud atau dorongan hawa nafsu mulai ikut mengacau. Pada saat itu, tekad yang telah dibuat itu dapat melemah bahkan diingkari sendiri oleh pelakunya.Apabila hal ini yang terjadi maka menandakan bahwa orang tersebut tidak jujur dalam janji atau tekadnya. Keadaan mereka bertolak belakang dengan gambaran yang disebutkan Allah Swt, dalam sebuah firman-Nya, “Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah…”[Al Ahzab;23].

Kelima, jujur dalam beramal. Bentuknya adalah upaya seseorang agar diantara tindakan-tindakan lahiriyahnya tidak berbeda dengan apa yang ada di dalam batinnya.
Keenam, jujur dalam segala sifat baik yang dianjurkan agama.Inilah tingkatan kejujuran yang paling tinggi.Contohnya adalah jujur dalam rasa takut dan pengharapan kepada Allah Swt, jujur dalam mengagungkan-Nya, jujur dalam sikap zuhud, tawakkal, atau menyayangi sesama. [Gema Insani, 2007, hal 137].
Bicara masalah kejujuran ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan;
Pertama, kebaikan tidak selalu berbuah sambutan hangat. Sejarah para Nabi dan Rasul telah membuktikan akan ada perlawanan dari orang-orang yang menghendaki langgengnya budaya yang buruk, yang telah berurat akar.
Kedua, kejujuran meski pahit tetaplah lebih baik dari dusta yang melenakan.Jujur, satu kata yang mudah terucap di lisan namun sulit dalam mengenali dan menemukannya.Jujur, ada dalam berbagai kamus bahasa dengan segala derivasinya, namun tingkah laku dan perbuatan kita tidak selalu berbanding lurus.
Ketiga, melawan kemunkaran.Bagi sebagian kecil masyarakat –semoga- menyontek itu sudah biasa.Menyontek bukan termasuk perbuatan yang mesti didramatisir.Menyontek itu lumrah-lumrah saja.
Padahal, nyontek-nyontekan sama dengan kemunkaran, mendidik dengan cara yang tidak mendidik. Melawan perilaku menyontek adalah melawan kemungkaran dan menegakkan kejujuran.
Sesuatu yang besar dimulai dari sesuatu yang kecil. Seseorang yang awalnya terpaksa berbohong, namun bila ia melakukannya terus-menerus, maka hal itu akan melekat pada dirinya dan menjadi tabiat hidupnya. Inilah yang harus diwaspadai.[Ali Akbar bin Agil,Tegakkan Kejujuran, Meski (Hati) Ikut Hancur! ,Hidayatullah.com.Senin, 13 Juni 2011].

Ada kisah yang dialami oleh Nasrudin Hoya berkaitan dengan kejujuran dan, kisah itu menyatakan;
Ada seorang hakim yang dikenal korup kecemplung di sebuah sungai kecil penuh lumpur, ia hampir tenggelam. Tetapi ia hanya diam saja tak bereaksi ketika banyak orang berusaha menolongnya. Kemudian datanglah NH.Orang-orang mengatakan bahwa Pak Hakim tidak mau ditolong dan diam saja ketika mau ditolong. NH menanyakan ke orang-orang itu, bagaimana cara menolongnya. Mereka mengatakan bahwa yang menolong mengulurkan tangannya dan berkata, Wahai hakim berikan tanganmu.
O, pantas, kata NH, Caranya salah, yang betul, ulurkan tangan ke dia, dan katakan terimalah tanganku.
Dan yang terjadi benar. Ternyata hanya beda kalimat. Hakim itu tak biasa memberi, tapi biasa menerima (sogokan, suap, dan sebagainya).Orang yang terbiasa diberi, boleh jadi tak biasa memberi. Orang yang biasa dimanja fasilitas, biasanya kaget manakala fasilitas-fasilitas itu tak lagi diperolehnya.[M Alfan Alfian,Bohong Itu Sulit,Pelita Hati Harianpelita.com].

Demikian pentingnya sifat shidiq atau jujur ini dimiliki oleh seorang mukmin  dan memang orang yang berimanlah yang mampu memiliki sifat ini, sifat ini juga sifat Allah yang diwahyukan kepada nabi –Nya dalam rangka mengajari hamba-Nya agar meniru karakter Tuhannya [4;87], Rasulullahpun adalah orang yang sudah menjadikan sifat ini sebagai karakternya yang patut kita contoh teladani [19;54], dengan sifat ini pulalah sehingga Siti Khadijah yakin kalau beliau memang calon Rasul, dikala beliau pulang dengan tergesa-gesa dari gua Hira, saat wahyu pertama turun, Khadijah menghiburnya,”….Demi Allah, Allah takkan sekali-kali membuatmu kecewa. Engkau adalah seorang yang bersikap baik terhadap kaum kerabat, selalu berbicara benar, membantu para dhuafa, menolong orang yang sengsara, memuliakan tamu dan membela orang yang benar…”       

Mudah-mudahan dengan  menyadari bahwa kejujuran adalah milik orang yang beriman memberi penyadaran kepada kita bahwa tidak ada alasan bagi siapapun yang mengaku ummat Nabi Muhammad dan beriman atas segala wahyu yang diterima dan sunnahnya untuk tidak memiliki sifat jujur, Wallahu A’lam 

Kejujuran

Hasil gambar untuk jujur Hasil gambar untuk tingkatan jujur Hasil gambar untuk tingkatan jujur 

Imam Al Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin menerangkan bahwa terdapat 6 tingkatan kejujuran. Dan orang yang bisa mencapai tingkatan kejujuran ini dengan sempurna, maka ia pantas disebut sebagai orang yang benar-benar jujur.
Tingkatan kejujuran tersebut: Pertama, jujur dalam ucapan atau perkataan. Jujur ini dalam setiap situasi, baik yang berkaitan dengan masa lalu, masa sekarang dan yang akan datang. Kejujuran dalam hal perkataan atau ucapan ini adalah mencakup ketika seseorang menyampaikan suatu kabar berita atau informasi, baik yang berkaitan dengan masa lalu, masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Termasuk dalam jujur tingkat yang pertama ini adalah tidak melakukan sumpah palsu dan tidak menginkari janji. Dalam tingkatan yang pertama ini, seseorang diharuskan untuk menjaga lisannya dari mengucapkan hal-hal selain dari kebenaran. Seseorang yang menjaga lisannya dari berdusta ketika memberikan kabar, maka ia disebut sebagai orang jujur.
Kedua, kejujuran dalam niat. Kejujuran ini berupa pemurnian niat agar lurus dan bersih hanya demi mengharap ridha Allah Swt. Jika seseorang melakukan perbuatan baik akan tetapi bukan diniatkan karena Allah, melainkan diniatkan karena benda-benda duniawi, maka ia tidak lagi jujur dalam niat. Selama seseorang memiliki niat bukan hanya karena Allah, atau terdapat unsur campuran niat lainnya, maka berarti kejujuran kepada Allah Swt telah sirna.
Ketiga, kejujuran dalam bertekad. Misalnya adalah seseorang yang mempunyai tekad bulat untuk bersedekah apabila ia dikaruniai rezeki. Atau ia bertekad akan berbuat adil jikalau ia dikarunia kekuasaan, jabatan atau kedudukan tinggi. Akan tetapi, adakalanya tekad itu disertai dengan kebimbangan atau keraguan, maka ia tidak jujur dalam tekadnya.
Sedangkan orang yang memiliki tekad untuk melakukan sesuatu, dan tekadnya itu merupakan kemauan bulat yang tanpa keragu-raguan. Maka, orang yang demikian bisa dikatakan sebagai orang yang jujur.
Keempat, kejujuran memenuhi tekad. Dalam tingkatan kejujuran ini, seringkali seseorang dipenuhi dengan kemauan yang kuat pada mulanya untuk melakukan sesuatu. Akan tetapi ketika ia masuk kepada tahap pelaksanaan, tekadnya itu malah melemah. Hal ini terjadi karena janji atau tekad yang bulat itu mudah untuk dibuat atau diucapkan, namun menjadi berat ketika akan dilaksanakan. Diperlukan kemauan yang sungguh-sungguh agar ia bisa merealisasikan tekadnya itu.
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya).(Quran Surat Al Ahzab [33]:23).

Kelima, kejujuran dalam beramal. Yaitu ketika seseorang tidak mengekspresikan hal-hal batin, kecuali batin itu sendiri memang demikian adanya. Artinya, perlu ada keselarasan dan keseimbangan antara yang lahir dan yang batin. Orang yang berjalan tenang, misalnya, menunjukkan bahwa batinnya penuh dengan ketentraman. Namun, jika ternyata tidak demikian, di mana hatinya ternyata berupaya untuk mencari perhatian dan penilaian manusia, agar ia dinilai seakan-akan penuh dengan ketentraman dan ketenangan, ingin dinilai alim dan tawadhu, maka hal itu termasuk kepada perbuatan riya.

Keenam, kejujuran dalam maqam-maqam agama. Ini adalah tingkatan kejujuran tertinggi. Seperti jujur dalam rasa takut kepada Allah (khauf), jujur dalam berharap kepada Allah (raja), jujur dalam mencintai Allah (hub), jujur dalam ridha atas segala ketetapan Allah, jujur dalam tawakal kepad-Nya, dan lain-lain.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (Quran Surat Al Hujurat [49]:15).


Memulai Aktifitas

Aktifitas adalah keseluruhan dari apa-apa yang dikerjakan dalam setiap harinya, maka mari kita memulainya dengan Ucapan Basmala, mengharap keridhaan Allah SWT. sebagai bemberi rahmat, karunia, nikmat, dan semua yang kita nikmati dalam hidup kita, maka marilah kita gunakan ksempatan ini untuk melakukan yang terbaik di dalam perjalanan hidup kita.  Ingatlah ketika kita perna melakukan sebuah hal yang membuat orang lain itu jengkel, marah, bahkan muak maka pada saat itu pula perasaan kita pasti was-was karena dengan adanya perasaan yang berubah pada diri.  
      Dunia ini adalah panggung sandiwara itu kata penyanyi, namun itu sangat sesuai dengan kenyataan yang ada karena kita hanya menjalankan lakon-lakon yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita.  Jika dalam pelakonan kita baik maka akan kita dapatkan kebaikan yang senilai dengan yang kita lakukan.  inilah yang bisa menjadi sebuah aspirasi dalam menjalnkan kehidupan ini.   Disamping itu pula hidup ini bagaikan perputaran roda kadang di atas dan kadang di bawah, itu artinya semuanya pasti berubah seiring dengan perubahan waktu.