Minggu, 08 Mei 2016

Berpaling dari Syariah Menuai Bencana Asap


kebakaran-hutanOleh: Bintoro Siswayanti (anggota Lajnah Mashlahiyyah MHTI)
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (TQS. asy-Syura [42]: 30).
Bencana asap terjadi karena secara kausalitas pemanfaatan lahan gambut menyimpang dari sunnatullah karakter alami gambut dan juga sunnatullah tata kelola syariah lahan gambut yang merupakan harta milik umum.
Pada hakikatnya, bencana Allah timpakan agar kita kembali taat kepada Allah dan agar Allah mengampuni kesalahan-kesalahan kita. Bencana asap menunjukkan buruknya riayah atau pengelolaan urusan oleh negara. Negara lebih mengedepankan unsur bisnis ketimbang mengelola hak hajat dasar rakyat atas lahan gambut.
Sudah lazim diketahui bahwa pemerintah daerah maupun pusat kerap tunduk pada kepentingan para pengusaha kuat. Termasuk mengalihfungsikan lahan yang semestinya menjadi kawasan resapan air, penstabil kelembapan udara, penyimpan karbon terbesar dunia, dan penyeimbang iklim dunia menjadi kawasan bisnis, yakni bisnis pulp n paper terbesar dunia dan bisnis sawit terbesar kedua dunia.
Padahal kawasan gambut kita apabila digabung seluas pulau Jawa. Lahan gambut adalah sejenis batubara muda biasanya dalam cekungan yang diapit oleh dua hutan tropis. Air yang mengalir dari hutan tropis akan tertampung dalam rawa gambut tersebut.
Lahan gambut yang terendam air tersebut merupakan karunia Illahi. Genangan air yang membasahi gambut sehingga pada kondisi alami tersebut gambut sangat sulit terbakar. Tekstur gambut seperti spons menyerap air banyak, apabila musim kemarau panjang datang uap air akan dilepas sdikit demi sedikit sehingga udara tetap terasa nyaman bagi penduduk. Lahan rawa gambut juga sebagai sumber air dan mata pencaharian penduduk. Disamping ekosistem yang baik dan tempat tumbuh kayu-kayu langka.
Saat ini, justru gambut diciderai, dikeluarkan dari sifat sunnatullah alaminya. Lahan gambut dikeringkan agar dapat ditanami pohon kayu akasia dan kelapa sawit. Dikeringkan dengan cara membuat kanal-kanal atau parit untuk mengalirkan air rawa tersebut ke sungai atau laut.
Tentu saja, batubara muda dalam keadaan dikeringkan tersebut akan mudah sekali terbakar saat musim kemarau. Lebih parahnya lagi, lahan gambut kering tersebut memang dibakar oleh pengusaha tanaman industri dan kelapa sawit agar lahan memadat dan pH tanah tidak terlalu asam untuk ditanami tanaman tersebut.
Karena lahan gambut dikeringkan, musim kemarau terasa menyiksa. Terjadi kekurangan sumber air dan juga udara menjadi sangat kering karena sedikitnya titik-titik air yang diuapkan dari lahan gambut.
Jadi wajar ketika kebakaran sulit sekali dipadamkan oleh tim manggala agni, sebab sulit mendapatkan suplai air. Tim pembuat hujan buatan pun sulit berhasil sebab sedikitnya uap air di udara.
Itu dari sisi pemanfaatan lahan gambut keluar dari sunnatulah sifat alami gambut.
Adapun dari sisi menyimpang dari sunnatullah syariat tata kelola gambut adalah sebagai berikut: secara sifat keberadaannya, maka gambut dapat dikategorikan sebagai harta milik umum berdasar mafhum hadits “kaum muslim berserikat atas 3 hal…”.
Maka atas harta jenis milik umum tersebut, Asy-Syari’ (Allah Swt) menetapkan negara sebagai pengelolanya untuk kemaslahatan pemilik harta tersebut, yakni masyarakat.
Harta ini tidak seperti harta-harta lain yang ditetapkan Asy-Syari’ sebagai harta milik negara. Oleh sebab itu, negara harus hadir secara riil dan langsung mengelolanya untuk masyarakat, tidak boleh menyerahkan tanggungjawab pengelolaannya kepada pihak lain (swasta). Sementara saat ini pemerintah melalui nawacitanya, meski di satu sisi meng-klaim selalu hadir di tengah rakyat, namun kehadirannya tidak langsung, melainkan hadir sebagai regulator saja dan pengelolaan lahan gambut dilakukan oleh swasta.
Tentu saja sangat berbeda secara filosofis, antara naluri pengelola urusan rakyat dengan naluri pengusaha. Pengusaha tidak akan berpikir bagaimana melayani kemaslahatan rakyat, yang dipikirkannya adalah untung.
Mengelola lahan gambut secara teknologi pengelolaan  yang benar butuh biaya 10x lipat daripada membakar, tentu pengusaha akan pilih opsi membakar yang murah meriah.
Akhir tahun 2014 REDD+ melakukan audit. Hasilnya, 100% perusahaan tidak taat pencegahan kebakaran lahan. Wajar-lah uang lebih menarik bagi bisnis, bukan dampak ISPA, anak-anak banyak yang menjadi korban jiwa, kehilangan plasma nutfah, dsb. Toh pikir pengusaha, jika kebakaran membesar, nanti juga ada BNPB yang menangani dan didanai negara trilyunan rupiah.
Disamping itu secara syariat, status harta milik umum menjadikan harta tersebut tercegah untuk diproteksi secara istimewa bagi individu tertentu (swasta) kemanfaatannya. Jadi kesalahan fatal menyalahi syariat, negara memberikan hak konsesi lahan tersebut bagi pengusaha.
Jadi bencana ini adalah peringatan Allah, agar kita kembali taat mengikuti sunnatullah-Nya. Yakni agar kita kembali kepada syariat-Nya.
Karena pelaku kemaksiatan terbesar pada kasus ini adalah negara, maka kita perlu amar makruf kepada penguasa. Apabila amar makruf ditinggalkan, maka Allah mengancam doa-doa orang shalih tidak akan dijawab. Kita khawatir shalat istisqa kita tidak segera terkabul, padahal memadamkan titik-titik api di lahan gambut tersebut benar-benar bergantung kepada kemurahan Allah SWT untuk menurunkan hujan lebat. Oleh sebab itu doa-doa harus segera diiringi dakwah kepada penguasa dan berbagai pihak agar kausalitas kembali pada sunnatullah tata kelola lahan gambut yang benar tersebut segera diterapkan. Wallahu a’lam bish showab [].Sumber http://hizbut-tahrir.or.id/2015/11/05/berpaling-dari-syariah-menuai-bencana-asap/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar