Senin, 26 September 2016

Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid: Perjalanan Hidup Dan Kepribadiannya (Seri 4)


Perjalanan Hidup Dan Kepribadiannya

Perjalanan Hidup Sa’id telah diwarnai oleh petunjuk dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam yang disampingnya selama lebih kurang dua puluh tiga tahun. Kebersamaan yang panjang dan indah tersebut memberikan pengaruh yang sangat baik dalam kehidupan Sa’id. Membentuk kepribadiannya, meninggikan kepribadiannya, membekalinya dengan akhlak yang terpuji, dan ia adalah salah satu dari mereka yang berhasil lulus dengan keikhlasan dan kesucian. Dia termasuk mereka yang terdidik dengan keikhlasan dan kesucian. Terdidik untuk zuhud, menjaga kehormatan diri, bersikap tawadhu’, saling menasihati dalam da’wah, dan konsisten dengan akhlak mulia yang diajarkan Islam.
Adapun riwayat-riwayat yang bercerita tentang perjalanan hidup Sa’id, kisah kehidupannya, dan kepribadiannya, walaupun tidak banyak, namun itu cukup memberikan gambaran tentang ciri-ciri kepribadian nya yang mulia dan sangat selaras dengan risalah yang dibawanya dan konsep hidup yang telah diajarkan kepadanya. Sa’id sangat konsisten menjaga kebersamaan dengan jamaah kaum muslimin, zuhud dalam duniawi maupun kepemimpinan, mencintai jihad, dan selalu ingin terus meningkatkan dirinya menuju sebuah kesempurnaan. Ia mencintai kedua orangtua dan keluarganya, menyayangi saudara-saudaranya dan siap membela mereka apabila mereka disakiti, baik saat mereka ada atau tidak. Ia terus berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat (samar), dan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Nabi. Karena itulah ia memiliki kedudukan yang mulia di sisi RasulullahShallallahu’alaihi wa Sallam, dan para shahabatnya, dan doanya diterima di sisi Allah.
Ahmad, Asy-Syaikhani, Ibnu Hibban, dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas sebuah hadits panjang tentang Kisah Saqifah dan Pembaiatan kepada Abu Bakar, dan sikap Umar pada masa pemerintahannya. Pada saat haji terakhir yang dilakukannya, ia berkata, “Kalau nanti Umar telah wafat, maka aku pasti memba’iat si fulan.” Ibnu Abbas berkata, “Ketika kami sampai di Madinah pada akhir Dzul Hijjah, hari jum’at pun tiba. Aku segera bergegas untuk ke masjid, karena apa yang telah aku dengan dari Abdurrahman bin Auf. Namun aku mendapatkan Sa’id telah mendahuluiku, dan ia duduk di sisi sebelah kanan dari mimbar. Akupun duduk di sampingnya sehingga lututku menyentuh lututnya. Tidak lama kemudian Umar keluar dan menuju kea rah mimbar.”
Inilah Ibnu Abbas yang telah berusaha untuk datang lebih dahulu dan duduk di shaf pertama dan mendengarkan khutbah Amirul Mukminin, ternyata mendapati Sa’id telah mendahuluinya datang ke Masjid, dan duduk di samping mimbar menunggu shalat dan berdzikir kepada Allah.
Dalam hadits dari Ka’ab bin Malik dalam kisah tiga orang yang tidak turut dalam perang Tabuk dan ia adalah satu dari mereka ia menceritakan turunnya ayat yang menerima taubat mereka, dan bagaimana ia mendapatkan kabar gembira tersebut, kemudian ia berkata,
“Abu Al-A’war Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail pergi menemui Hilal (dia adalah hilal bin Umayyah Al-Waqifi, satu di antara mereka yang tidak ikut. Yang kedua adalah Murarah bin Ar-Rabi’, dan yang ketiga Ka’ab) untuk memberinya kabar gembira di Bani Waqif, dan ketika ia mengabarkannya, Hilal segera sujud. Sa’id berkata, “Aku telah menyangka bahwa dia tidak akan pernah lagi mengangkat kepalanya sampai jiwanya keluar.” Tangis kebahagiaannya jauh lebih banyak dari tangis kesedihan yang dirasakannya, hingga orang-orang mengkhawatirkannya. Kemudian orang-orang menemuinya untuk mengucapkan selamat. Dia hamper tidak bisa berjalan menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam karena kelemahan, kesedihan, dan tangisannya. Hingga kemudian ia mengendarai keledai!”
Sebuah situasi yang indah dan menunjukkan sikap saling mendukung antara individu-individu masyarakat yang dibentuk oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Yang menggambarkan perhatian besar dari seorang saudara kepada saudaranya yang lain, kecintaannya kepadanya, dan kegembiraannya akan kebahagiaannya, ketergesaannya dalam menyampaikan berita tentang diterimanya taubanyatnya yang memberikan kegembiraan dalam jiwanya, dan mengangkat kesedihan dan kesempitan yang dirasakannya akibat boikot social yang diterimanya dari seluruh masyarakat karena dosa yang telah diperbuatnya. Ini adalah buah dari didikan dan bimbingan yang menakjubkan kepada generasi tersebut, di mana antara satu dengan yang lainnya benar-benar bagaikan satu kesatuan bangunan yang saling menguatkan.
Kemudian mari kita lihat sikap yang di tunjukkan Sa’id dengan orang-orang shahabat besar yang menjadi gubernur, dan hanya diam ketika dalam sebuah kesempatan di majelisnya seseorang mencaci-maki Ali. Maka Sa’id segera bangkit menyuarakan kebenaran di hadapan sang gubernur dan semua orang yang berada di majelis tersebut. Dan menceritakan kepada mereka satu di antara kemuliaan Ali Radhiyallahu’anhu.
Ahmad dan empat Ashabus-Sunan juga Ibnu Hibban dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari Shadaqah bin Al-Mutsana bin An-Nakha’I, dari kakeknya Riyah bin Al-Harits An-Nakha’I, ia mengatakan “Suatu hari Al-Mughirah bin Syu’bah berada di masjid besar, dengan ditemani penduduk Kufah di kiri dan kanannya. Ghirah menyambutnya dan mendudukannya di dekatnya di atas alas duduknya. Lalu datang seorang laki-laki (seorang penduduk Kufah bernama Qais bin Ilqimah, dalam riwayat lain disebutkan dengan namanya), dari penduduk Kufah yang menemui Al-Mughirah, dan kemudian mencaci maki. Sa’id bertanya, “Siapakah yang di caci maki wahai Mughirah?” Ia menjawab, “Ia mencaci maki Ali bin Abu Thalib!” Maka Sa’id berkata, “Hai Mughirah bin Syu’bah,hai Mughirah bin Syu’bah,” sampai tiga kali. Tidakkah aku mendengar shahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dicaci di hadapanmu dan engkau sama sekali tidak mencegah dan melarang?! Aku bersaksi kepada Rasulullah atas apa yang telah didengar kedua telingaku, dan difahami oleh hatiku dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Sungguh aku tidak akan mengatakan kebohongan jika ia bertanya kepadaku saat bertemu dengannya nanti. Sungguh beliau telah bersabda, “Abu Bakar di surga, Umar di surga, Ali di surga, Utsman di surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, Abdurrahman di surga, Sa’ad di surga, dan orang mukmin yang kesembilan di surga,” kalau aku mau aku akan menyebutkan namanya.” Maka orang-orang yang hadir di masjid menjadi rebut dan memintanya, “Wahai shahabat Rasulullah, siapakah yang kesembilan tersebut? Ia menjawab, “Kalian telah memintaku dengan nama Allah, demi Allah yang Maha Agung, akulah orang mukmin yang kesembilan tersebut. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam yang kesepuluh. Kemudian ia melanjutkan dengan sebuah sumpah “Demi Allah, sebuah peperangan yang diikuti oleh seorang laki-laki, dimana wajahnya penuh debu bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam lebih baik dari apda amal perbautan siapapun dari kalian, bahkan walaupun ia berumur seperti Nabi NuhAlaihissalam.”
Sebagian mereka menambahkan dalam riwayat ini, “Kemudian Sa’id berkata, “Sungguh benar, ketika umur-umur mereka terputus, Allah berkehendak untuk tidak memutus pahala mereka sampai hari kiamat. Celakalah orang yang membenci mereka, dan berbagialah orang yang mencintai mereka.”
Adapun laki-laki yang merugi tadi, yang telah mencaci seorang shahabat yang mulia, khalifah NabiShallallahu’alaihi wa Sallam, dan putra dari paman beliau, serta suami dari pemuka para wanita di dunia, dan yang pertama-tama masuk Islam, yang memiliki keutamaan-keutamaan, dan kedudukan yang tinggi, yang dicacinya di hadapan banyak orang dan juga shahabat, sungguh matanya telah buta, dan jalannya telah sesat. Kita dapat katakana kepadanya, “Wahai orang yang bodoh, apa yang bisa membandingkanmu dengan Ali?! Kalaulah karena tidak karena peristiwa yang memalukan ini, engkau tidak akan dikenal oleh siapapun, dan sejarahpun takkan pernah mencatat namamu. Sungguh celaka engkau yang dikenal karena sikap yang keji dan jalan yang tercela ini!” Adapun Ali, selama atas sejarah yang seolah berdendang menyebutkan namanya, berbahagialah pena yang menuliskan kiprahnya, dan berbajagialah mereka yang membela dan menceritakan keutamaan-keutamaan nya. Dan sungguh tepat apa yang diucapkan Sa’id, “Ketika umur-umur mereka terputus, Allah berkehendak untuk tidak memutus pahala mereka sampai hari kiamat.” Baik dengan perbuatan-perbuatan mereka yang terpuji, atau dengan nama-nama mereka yang selalu dikenang dan didoakan untuk senantiasa mendapatkan keridhaan dari Allah, atau dengan mengambil kebaikan orang-orang yang membenci mereka dan kemudian ditambahkan kepada lembaran sejarah kehidupan mereka yang bersih. Jadi bagaimanapun cara Ali dan saudara-saudaranya yang lain dikenang, mereka akan selalu mendapatkan ganjaran dan pahala.”
Namun ini semua tidak menghalangi Sa’id untuk bangkit menentang kemungkaran dan sikap yang sudah keterlaluan tersebut. Dia pun mencela Mughirah dan mengatakan kepadanya, “Hai Mughirah bin Syu’bah’, sampai tiga kali! Bagaimana mungkin engkau bisa diam sementara seorang shahabat di caci di majelismu, tanpa kau cegah. Seharusnya engkau menghukum orang ini di depan umum agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahnya!
Sa’id adalah seorang yang berpendirian teguh, berperilaku mulia, sangat wara’, amat menjauhi hal-hal yang berbau syubhat, apalagi yang haram. Dia telah menyimak petunjuk dan perjalanan hidup Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam, mendengar langsung hadits-hadits beliau, dan berakhlak dengan akhlak beliau. Dan di antara yang ia dengar dari beliau adalah larangan untuk mengambil sejengkal tanah orang lain yang bukan haknya, dan ancaman yang menakutkan bagi mereka yang melakukannya. Karena itulah ia sangat takut, dan amat menjaga sikap wara’nya untuk jangan sampai mengambil tanah tetangga-tetangganya, baik itu berupa rumah, atau ladang, ataupun bangunan-bangunan lain.
Sikap wara’ yang dimilikinya ini tidak terlihat begitu saja tanpa di landasi oleh keikhlasan kepada AllahTa’ala, namun Allah berkehendak untuk menguji Sa’id dengan seorang tetangga wanitanya yang menuduhnya melebihi batas tanahnya dan mencuri sebagian dari tanahnya. Kemudian mengadukannya kepada gubernur Madinah saat itu Marwan bin Hakam. Allah pun membukakan tabir kebenaran, dan membebaskan Sa’id. Maka akhlak mulia yang tertutup rapi dengan keikhlasan itupun tampak jelas, dan menjadi pelajaran bagi manusia selama berabad-abad. Dan menjadi bukti bagi mereka bahwa di balik sebuah cobaan terdapat nikmat yang agung. Dan kedudukan Sa’id pun semakin tinggi di sisi Allah, juga dalam pandangan manusia.
Al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Urwah bin Zubair, ia mengatakan “Arwa binti Uwais mengaku bahwa Sa’id bin Ziad telah mengambil sedikit dari tanahnya, maka ia mengadukannya kepada Marwan bin Hakam. Sa’id berkata, “Akankah aku mengambil sebagian dari tanahnya setelah apa yang kudengar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam?! Marwan berkata, “Apa yang engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam? Sa’id menjawab, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengambil sejengkal tanah secara zhalim, maka Allah akan mengalungkannya dengan tujuh lapis bumu pada hari kiamat.” Maka Marwan berkata kepadanya, “Aku tidak akan meminta bukti kepadamu setelah ini.” Kemudian Sa’id berkata, “Ya Allah, kalau wanita itu berdusta, maka butakanlah matanyam dan matikan ia di tanahnya.” Urwah berkata, “Dan wanita itu tidak mati hingga matanya buta, kemudian saat ia berjalan di tanah miliknya, ia terjatuh ke dalam sebuah sumur dan mati.”
Dan Arwa belum cukup sampai di sana, bahkan ia mengutus seseorang untuk berbicara kepada Sa’id, lalu menambah api permusuhan nya dengan mengancam bahwa ia akan membongkar keburukan Sa’id di depan umum di masjid Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam!
Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dalam Al-Isti’ab dari Abu Bakar bin Amru bin Hazm, ia berkata, “Arwa binti Uwais datang menemui ayahku, Muhammad bin Amru bin Hazm, dan berkata kepadanya, “Hai Abu Abdul Malik, sesungguhnya Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail telah membangun sebuah dinding di tanah yang menjadi hakku. Datangilah dia, dan suruh agar ia melepaskan hakku, karena demi Allah, kalau ia tidak melakukannya aku akan meneriakkan ini di masjid Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam! Ia berkata kepadanya, “Janganlah engkau menyakiti shahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, dia tidak akan pernah menzhalimimu atau mengambil hakmu.” Arwa pun pergi dan mendatangi Umarah bin Amru dan Abdullah bin Salamah dan berkata kepada mereka berdua, “Datangilah Sa’id bin Zaid, sungguh dia telah menzhalimiku dan membangun sebuah dinding di tanah yang merupakan hakku. Karena demi Allah, kalau ia tidak melakukannya aku akan meneriakkan ini di masjid Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam!” Mereka pun pergi mendatanginya di tanahnya yang berada di Aqiq, Sa’id berkata kepada mereka, “Apa yang membawa kalian kemari.” Mereka menjawab, “Arwa binti Uwais telah mendatangi kami dan menduga bahwa engkau telah membuat dinding di tanah yang merupakan haknya, dan bersumpah dengan nama Allah bahwa kalau engkau tidak mencopot nya, dia akan meneriakimu di masjid Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Maka kami merasa lebih baik untuk mendatangimu dan mengingatkanmu tentang itu.” Sa’id berkata, “Sungguh aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengambil sejengkal tanah secara zhalim, maka Allah akan mengalungkannya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” Maka itu, silahkan ia datang dan mengambil apa yang menjadi haknya. Ya Allah, kalau ia berbohong atasku maka janganlah engkau matikan dia sehingga matanya buta, dan menjadikan kematiannya di tanahnya.” Merekapun kembali dan memberitahukan Arwa tentang itu. Arwa pun datang dan menghancurkan dinding tersebut dan membangun sebuah bangunan lain. Tidak berapa lama setelah itu, ia menjadi buta, dan saat itu ia selalu bangun pada malam hari dengan ditemani pembantunya untuk membangunkan para pekerja. Suatu malam ia bangun dan membiarkan pembantunya tidur, dan berjalan keluar hingga terjatuh ke dalam sebuah sumur dan mati di sana!”
Sikap wara’ Sa’id dan kerelaannya untuk tidak mempersoalkan hak nya sendiri semakin terlihat jelas ketika ia memberikan kepada wanita tersebut bagian yang luas dari tanahnya. Abu Nu’aim telah menceritakan dalam kita Hilyatul Auliya’, “Arwa binti Uwais mendatangi Marwan bin Hakam untuk mengadukan tentang Sa’id bin Zaid. Ia berkata, “Dia tetangganya di Aqiq, Maka Ashim bin Umar pun mendatangi Sa’id. Dan Sa’id berkata, “Aku mengambil hak dari Arwa?!” demi Allah aku telah melepaskan untuknya enam ratus hasta dari tanahku karena sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang mengambil hak seseorang dari kaum muslimin yang bukan haknya, maka pada hari kiamat ia akan dikalungi dengan tujuh lapis bumi!” Bangunlah hai Arwa, dan ambillah apa yang anggap hakmu. Arwa bangkit dan mengambil tanah yang merupakan milik Sa;id lebih banyak lagi, kemudian Sa’id berdoa keburukan untuknya.”
Tidak beberapa lama setelah itu, Allah memperlihatkan kebenaran. Dan orang-orang pun mengetahui kejujuran Sa’id dan bahwa ia tidak bersalah. Setelah kejadian tersebut, Sa’id Radhiyallahu Anhuberdoa kepada Tuhannya agar menunjukkan kebenaran dalam kasusnya, demi menjaga kebersihan tanahnya, dan menjaga kesucian lembaran hidup nya di antara seluruh manusia.
Abu Nu’aim menceritakan dalam kitab Al-Hilyah, dan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Isti’ab, dan juga Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, ia mengatakan “Sa’id berkata, “Ya Allah, sesungguhnya ia menyangka bahwa ia telah dizhalimi, kalau ia berdusta maka butakanlah matanya, dan lemparkanlah ia kedalam sumurnya. Dan perlihatkanlah hakku agar menjadi penerang bagi kaum muslimin bahwa aku tidak pernah menzhaliminya.” Dalam keadaan demikian, terjadilah sebuah banjir di Aqiq yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dan membukakan batas tanah yang menjadi sengketa tersebut. Dan terbukti bahwa Sa’id tidak berbohong. Tidak berapa lama kemudian, wanita itu menjadi buta, dan ketika ia sedang berjalan-jalan di tanahnya itu, ia terpelosok ke dalam sumurnya sendiri.” Perawi berkata, “Di saat kecil, kami sering mendengar seseorang berkata kepada yang lain, “Semoga Allah membutakan matamu seperti butanya Arwa.” Saat itu kami mengira bahwa dia hanya hanya berbicara tidak sopan. Dan ternyata yang ia maksudkan adalah apa yang telah menimpa Arwa karena telah menuduh Sa’id.
Atas peristiwa inilah kemudian Sa’id Radhiyallahu Anhu dikenal sebagai orang yang dikabulkan doanya. Sangat benar apa yang telah dilakukan Sa’id dengan berdiri kokoh bagaikan sebuah gunung, setelah mendengar ancaman Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bagi orang yang mengambil sejengkal tanah yang bukan haknya. Ia tidak berkeinginan untuk melakukannya, namun berpegang teguh kepada hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan tidak hendak melangkahinya sedikitpun. Dan sudah sepantasnya bag setiap muslim untuk menjauhkan dirinya dari hal-hal yang berbau syubhat, menjauhi yang haram, khususnya hak-hak kaum muslimin, terutama yang berkaitan dengan tanah, agar tidak mengambil sejengkalpun yang bukan haknya. Semua ini karena ancaman keras yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam oleh banyak shahabat.
Para imam hadits telah mendiskusikan makna yang terkandung dalam hadits ini. Dan ungkapan “Dia akan dikalungi dengan tujuh lapis bumi” bermakna bahwa seolah orang yang mengambil tanah yang bukan miliknya, maka pada hari kiamat dia akan membawa tanah yang diambilnya tersebut ke padang mahsyar, dan menjadi bagaikan kalung di lehernya. Atau dibalas dengan melemparkannya ke tujuh lapis bumi, sehingga setiap lapis bumi bagaikan kalung tersendiri di lehernya. Ini diperjelas oleh hadits riwayat Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari “Dia akan dilemparkan pada hari kiamat kepada tujuh lapis bumi.” Atau dia akan dibebani dengan menjadikannya kalung di lehernya, dan ia tidak mampu. Maka dia akan diadzab demikian sebagaimana orang yang berbohong dalam tidurnya “Bahwa ia akan melaksanakan suatu ibadah.” Atau pengalungan yang dimaksudkan adalah pengalungan dosa, sehingga kezhaliman yang ia lakukan akan terus menggantung dilehernya sebagaimana dosa yang akan terus dibawanya. Dalam hal ini terdapat firman Allah Ta’ala“Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya (QS. Al-Isra’ [17]: 13).”Juga ada kemungkinan bahwa mereka yang melaksanakan dosa ini akan terbagi. Sebagian dengan di adzab dengan ini, dan yang lain diadzab dengan hal lainnya, sesuai dengan besar kecilnya kerusakan yang ia sebabkan.
Khalifah Utsman bin Affan telah memberikan untuk Sa’id sebuah jatah tanah di Kufah, maka ia pun pergi dan tinggal di sana. Kemudian setelah kepergiannya, rumah tersebut didiami oleh sebagian anaknya. Sa’id bahkan tidak tinggal di Kufah sampai akhir hayatnya, namun ia kembali ke Madinah dan meninggal di Aqiq.
Sa’id adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ayahnya. Karena apa yang dilihatnya tentang kesungguhan ayahnya dalam mencari agama, dan keseriusannya untuk mendapatkannya. Juga penantian ayahnya akan kemunculan Nabi yang ditunggu-tunggu, sebagaimana kabar gembira yang diterimanya. Namun ternyata ajal mendahuluinya sehingga tidak sempat mendapatkannya.
Maka ketika Islam datang, Sa’id menginginkan agar ayahnya juga mendapatkan kebaikan yang telah lama ditunggunya tersebut. Maka Sa’id meminta Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam untuk mendoakan ayahnya.
Ahmad dan Al-Hakim meriwayatkan dari Sa’id bin Zaid, “Sesungguhnya ia meminta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam agar ayahnya Zaid di ampuni Allah, maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku Zaid bin Amru bin Nufail sebagaimana yang telah engkau ketahui, dan sebagaimana yang telah kau dengar, kalau saja ia bisa mendapatkanmu niscaya ia akan beriman kepadamu. Maka mintakanlah ampunan untuknya.” Rasulullah menjawab, “Ya” Dan belia memintakan ampunan untuknya, dan berkata, “Sesungguhnya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat sendirian seabgai sebuah umat.”
Sa’id telah mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi para khalifah, shahabat, dan ummahatul mukminin. Telah diceritakan sebelumnya sikapnya terhadap Al-Mughirah bin Syu’bah yang saat itu merupakan seorang gubernur. Ketika ia datang, Mughiralah segera menyambutnya, mendekatkannya dan mendudukannya di tempatnya.
Al-Baihaqi dan yang lain meriwayatkan dari Muharib bin Ditsar, “Bahwasanya Ummul Mukminin Maimunah mewasiatkan agar Sa’id bin Zaid yang menshalatkan jenazahnya.”
Ketika Sa’id wafat, dan para shahabat diberitahu tentang itu, Ibnu Umar yang sedang bersiap-siap untuk melaksanakan shalat jumat, segera meninggalkannya dan berangkat menuju rumah Sa’id di Aqiq. Setelah itu ia menyelenggarakan jenazahnya bersama yang lain dan kemudian membawanya di atas pundak-pundak mereka menuju Madinah, tempat di mana ia akan dimakamkan.
Perjalanan shahabat yang mulia ini pun menjadi sempurna, dengan menyatukan seluruh unsur kebaikan, mulai dari mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallamm, senantiasa bersikap zuhud dan wara’, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mencintai kaum muslimin, menolong para shahabat dan membela mereka, meneruskan perjalanan jihad yang tlah dimulainya sejak di Mekah, dengan berpegang teguh kepada agamanya dan bersabar atas segala siksaan, kemudian keikutsertaannya dalam seluruh peperangan yang diikuti Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam, lalu melanjutkannya dengan mengikuti beberapa peristiwa pada masa khulafaur rasyidin.
Ketika pasukam kaum muslimin menuju wilayah Syam, Sa’id segera menaiki kudanya dan berangkat bersama para mujahidin. Ia menyaksikan pengepungan Damaskus dan penaklukannya. Lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunjuknya menjadi gubernur di sana. Maka dia adalah orang pertama yang bekerja memimpin Damaskus dari umat ini.
Namun jiwa Sa’id tidak bisa berlama-lama dalam kepemimpinan, sementara ia menyaksikan para mujahidin mengerahkan seluruh kemampuan dan nyawa mereka di jalan Allah, dan menerima pahala yang tidak bisa didapatkan oleh umat Islam yang lain.
Maka ketika ia mengetahui bahwa Abu Ubaidah telah berangkat untuk menaklukkan Elia – Baitul Mqadis, dan Abu Ubaidah menunggu sikap dari penduduknya. Namun mereka menolak untuk menyerah atau berdamai, maka ia pun maju dan mengepung mereka. Dan yang bertugas untuk memimpin penyerangan saat itu adalah Khalid bin Walid dan Yazid bin Abu Sufyan, yang masing-masing berada di sisinya. Berita ini pun sampai ke telinga Sa’id yang saat itu merupakan gubernur di Damaskus. Maka ia menulis surat kepada Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Radhiyallahu’anhuma ,“Bismillahirrahmanirrahim, dari Sa’id bin Zaid kepada Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, keselamatan untukmu, sesungguhnya aku memuji Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Amma Ba’du. Demi Allah, sungguh aku tidak bisa mendahulukanmu dan shahabat-shahabatmu untuk berjihad di jalan Allah dari diriku. Ataupun dari hal lain yang mendekatkanku dari keridhaan Allah Azza wa Jalla, Apabila seuratku ini sampai kepadamu, maka utuslah untuk pekerjaan ini orang yang lebih menginginkannya dariku. Agar dia bisa bekerja untukmu sesuai dengan keinginanmu. Karena sesungguhnya aku akan segera datang kepadamu di sana Insya Allah. Maka Abu Ubaidah berkata kepada Yazid bin Abu Sufyan, “Pimpinlah Damaskus untukku.”
Bersambung Insya Allah . . .

Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid: Ilmunya dan Hadits-hadits Yang Diriwayatkannya (Seri 5)


Ilmunya dan Hadits-hadits Yang Diriwayatkannya

Walaupun Sa’id telah mendampingi Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dalam seluruh perjalanan dakwahnya, mendengar langsung meninggalkannya dan berangkat menuju rumah Sa’id di Aqiq. Setelah itu ia menyelenggarakan jenazahnya bersama yang lain dan kemudian membawanya di atas pundak-pundak mereka menuju Madinah, tempat di mana ia akan dimakamkan.
Perjalanan shahabat yang mulia ini pun menjadi sempurna, dengan menyatukan seluruh unsur kebaikan, mulai dari mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam, senantiasa bersikap zuhud dan wara’, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkara, mencintai kaum muslimin, menolong para shahabat dan membela mereka, meneruskan perjalanan jihad yang telah dimulainya sejak di Mekah, dengan berpegan teguh kepada agamanya dan bersabar atas segala siksaan, kemudian keikutsertaannya dalam seluruh peperangan yang diikuti Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam, lalu melanjutkannya dengan mengikuti beberapa peristiwa pada masa khulafaur rasyidin.
Ketika pasukan kaum muslimin menuju wilayah Syam, Sa’id segera menaiki kudanya dan berangkat bersama para mujahidin. Ia menyaksikan pengepungan Damaskus dan penaklukannya. Lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunjuknya menjadi gubernur di sana. Maka dia adalah orang pertama yang bekerja memimpin Damaskus dari umat ini.
Namun jiwa Sa’id tidak bisa berlama-lama dalam kepemimpinan, sementara ia menyaksikan para mujahidin mengerahkan seluruh kemampuan dan nyawa mereka di jalan Allah, dan menerima pahala yang tidak bisa didapatkan oleh umat Islam yang lain.
Maka ketika ia mengetahui bahwa Abu Ubaidah telah berangkat untuk menaklukkan Elia Baitul Maqdis, dan Abu Ubaidah menunggu sikap dari penduduknya. Namun mereka menolak untuk menyerah atau berdamai, maka ia pun maju dan mengepung mereka. Dan yang bertugas untuk memimpin penyerangan saat itu adalah Khalid bin Walid dan Yazid bin Abu Sufyan, yang masing-masing berada di sisinya. Berita ini pun sampai ke telinga Sa’id yang saat itu merupakan gubernur di Damaskus. Maka ia menulis surat kepada Abu Ubaidah bin Al-Jarrah Radhiyallahu’ Anhuma, “Bismillahirrahmanirrahim, dari Sa’id bin Zaid kepada Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, keselamatan untukmu, sesungguhnya aku memuji Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Amma Ba’du. Demi Allah, sungguh aku tidak bisa mendahulukanmu dan shahabat-shahabatmu untuk berjihad di jalan Allah dari diriku. Ataupun dari hal lain yang mendekatkanku dari keridhaan Allah Azza wa Jalla. Apabila suratku ini sampai kepadamu, maka utuslah untuk pekerjaan ini orang yang lebih menginginkannya dariku. Agar dia bisa bekerja untukmu sesuai dengan keinginanmu. Karena sesungguhnya aku akan segera datang kepadamu di sana Insya Allah. Maka Abu Ubaidah berkata, kepada Yazid bin Abu Sufyan, “Pimpinlah Damaskus untukku.”
Demi Allah, alangkah besarnya jiwa-jiwa ini, alangkah agungnya cita-citanya, dan alangkah hebatnya tekad yang tersemai di sana. Jiwa-jiwa yang dididik untuk senantiasa mengejar keridhaan Allah, menggapai tingkatan para syuhada, tidak dengan keadaan yang penuh kesenangan. Sa’idRadhiyallahu Anhu mengetahui pahala yang ia dapat dari kepemimpinan apabila ia menunaikan hak-haknya. Dengan memimpin manusia dengan adil, dan menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka. Namun ia juga mengetahui dengan baik, bahwa ada yang menyebarkan kalimat yang benar, dan membebaskan manusia dari cengkeraman kekufuran dan penyembahan kepada selain Allah. Dan bahwasanya satu orang yang mendapatkan petunjuk Allah melaluinya, jauh lebih baik baginya dari dunia seisinya. Ini ditambah lagi dengan berbagi macam fitnah yang akan melingkupi wilayah kepemimpinan, dan cobaan yang akan membuat seorang pemimpin tergelincir. Di mana tidak ada yang dapat membedakannya dan menghindarinya serta selamat darinya, kecuali seorang pemimpin yang bijaksana, berpengalaman, mempunyai kesabaran dan kelapangan hati, dan alangkah sedihnya di Damaskus yang tidak pernah disukainya ataupun diharapkannya. Dan ia segera menuju medan jihad, untuk mendapatkan kemuliaan dari penaklukan Baitul Maqdis dan yang lainnya.
Setelah itu ia turut dalam perang Yarmuk yang menentukan, yang berhasil memusnahkan kekuasaan Romawi dari bumi Syam. Kemudian mendirikan pondasi dari agama yang baru, yang kebaikannya segera menyebar di wiliayah tersebut.
Sa’id dan saudara-saudaranya, yang namanya tercatat oleh pensejarah, atau yang tidak terlintas dalam ingatannya dan kemudian terlupakan, maka bagi mereka semua rahmat dan keridhaan, hingga nanti menemui Tuhan mereka yang akan memberikan ganjaran yang paling baik, dan surga yang penuh kenikmatan.

Bersambung Insya Allah . . .

Biografi Sahabat Nabi, Sa’ad Bin Abi Waqqash : Masa Kecil, Remaja, Dan Masuk Islam (Seri 1)


Nama, Nasab, Dan Nisbatnya

Mekah Al-Mukarramah merupakan tempat yang paling suci di bumi, sebuah negeri yang dipilih oleh Allah menjadi tempat bagi rumah-Nya, dan tempat berhaji para Nabi, dan kiblat bagi kaum muslimin. Disanalah Kabilah Quraisy tinggal dengan kebanggan atas seluruh Jazirah Arab. Kabilah inipun mendapatkan perhatian rabbani yang lebih, dimana dari keturunannyalah pemimpin anak cucu Adam, Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam dilahirkan, sebagai Nabi penutup, dan rahmat Allah bagi seluruh alam.
Dari kabilah besar yang terhormat dan memiliki banyak kebanggan dan kelebihan serta keistimewaan ini, lahirlah banyak suku-suku, diantaranya Bani Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik. Dan dari suku yang mempunyai kedudukan yang tinggi inilah, seorang shahabat yang mulia dilahirkan, Sa’ad bin Abi Waqqash. Begitu juga dengan saudaranya dalam Islam, rekannya dalam golongan sepuluh orang yang dijamin masuk surga, shahabatnya dalam enam orang yang menjadi ahli surga, dan yang lebih dahulu wafat darinya, seorang shahabat terkemuka,Abdurrahman bin Auf.
Sa’ad dengan nasabnya yang mulia adalah Sa’ad bin Abi Waqqash, dan nama dari Abu Waqqash adalah Malik bin Wahaib dan disebut juga Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhra bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay, Al-Qurasyi Az-Zuhri Al-Makki Al-Madani.
Nasabnya bertemu dengan nasab Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam pada Kilab bin Murrah, yang merupakan kakek kelima bagi Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam dan yang keempat bagi Sa’ad. Dia adalah seorang Quraisy dilihat dari kabilah besarnya, seorang Zuhri dilihat dari suku dimana ia berasal dan dilahirkan, berasal dari Mekah karena lahir dan besar di sana, dan hijrah ke Madinah, lalu tinggal dan wafat di sana.

2. Paman (Khal, yaitu paman dari pihak ibu) Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam

Sa’ad memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah dari pihak ibu beliau. Ibu NabiShallallahu’alaihi wa Sallam berasal dari Bani Zuhrah. Ibu beliau adalah Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhrah. Ayahnya (Wahab) dan kakek dari Sa’ad (Wuhaib) adalah dua bersaudara. Maka Wuhaib adalah kakek dari Sa’ad (Wuhaib) adalah dua bersaudara. Maka Wuhaib adalah kakek dari Sa’ad, dan paman dari Aminah. Dan orang Arab menganggap kerabat itu sebagai paman.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam seringkali membanggakan hubungan paman dan keponakan ini, dan mencandai Sa’ad dengan itu, juga membanggakannya di depan para shahabat lain dengan berkata, “Inilah pamanku, siapa yang akan memperlihatkan pamannya kepadaku!”

3. Julukannya

Sa’ad dijuluki Abu Ishaq, demikian ia dipanggil oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan para shahabatnya Radhiyallahu’ Anhum.

4. Gelarnya

Sa’ad digelari pahlawan Islam, dan ia layak dan pantas untuk menyandang gelar yang hebat tersebut. Peristiwa-peristiwa yang dilaluinya, begitu juga dengan lembaran-lembaran jihad dan kisah kepahlawanannya serta ketegaran yang dimilikinya, merupakan bukti yang paling nyata bahwa ia benar-benar seorang pahlawan Islam.

5. Sifat Dan Kepribadiannya

Allah menganugerahkan kepada Sa’ad sifat-sifat jasmani dan kesempurnaan tubuh yang mengimbangi kepahlawanannya dalam memikul beban jihad dan menantang para musuh di medan perang. Ia adalah seorang yang mempunyai postur tubuh yang kokoh, dengan otot-otot yang keras, mempunyai cengkeraman yang kuat, memiliki mata yang tajam, jiwa yang berani, dan sangat kuat.
Putrinya Aisyah menggambarkannya dan berkata, “Ayahku adalah seorang laki-laki yang pendek, kekar, mempunyai tubuh yang keras, kuat dengan otot yang besar. Memiliki kepala yang besar, dengan jari-jari besar dan pendek, dan memiliki banyak bulu.”
Dan dengan ciri-ciri fisik seperti ini ia lebih mirip dengan ciri-ciri yang dimiliki Ali bin Abu ThalibRadhiyallahu’ Anhuma.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad jayyid dari Abu Ishaq As-Sabi’ berkata, “Shahabat Rasulullah yang paling keras ada empat : Umar, Ali, Zubair, dan Sa’ad.”
Jadi dalam hal kekuatan tubuh, kekokohannya, kesempurnaan sosok dan kekuatannya, serta dalam hal keunggulannya dalam berperang dan tabiatnya yang keras, menyerupai Umar, Ali, dan Zubair. Dan telah cukup kita ketahui bagaiamana kekuatan, ketegaran, ketegasan, juga keberanian, wibawa, serta keagungan yang mereka miliki.
Abu Ya’la meriwayatkan dalam Musnadnya dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata, “Saad termasuk orang yang paling tajam pandangannyaa. suatu hari ia melihat sesuatu. Ia bertanya kepada orang yang bersamanya, “Apakah kalian melihat sesuatu?” mereka berkata, “Kami melihat sesuatu seperti burung.” Sa’ad berkata, “Aku melihat seseorang mengendarai unta.” Tidak lama setelah itu datanglah Umar bin Sa’ad dengan mengendarai seekor unta betina. Ia berkata, “Ya Allah, kami berlindung kepadamu dari kejahatan yang akan datang bersamanya.”
Ketajamannya penghlihatannya ini telah menolongnya dalam banyak peperangan dimana ia bisa mengarahkan anak panahnya kepada leher-leher musuhnya, dan tidak pernah meleset. Dan hal ini juga diberkahi dengan doa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dimana beliau berdoa agar tembakan panahnya selalu tepat. Dan itulah yang kemudian terjadi.
Bersambung Insya Allah . . .

Biografi Sahabat Nabi, Sa’ad Bin Abi Waqqash : Masa Kecil, Remaja, Dan Masuk Islam (Seri 2)


Masa Kecil

Sa’ad dilahirkan di mekah, dan tumbuh besar dalam dekapan gurun-gurun dan lingkungannya. Ia tumbuh remaja dan menjadi seorang pemuda diantara gunung-gunung dan lembahnya. Jiwanya pun diwarnai oleh bersihnya langit Mekah, dan pendiriannya menjadi sekokoh gunung-gunung yang ditancapkan Allah mengelilingi Baitul Haram, dimana Sa’ad lahir di dekatnya. Kemauannya yang keras, serta jiwa mudanya yang bergelora ditambah dengan kesibukannya dalam membuat anak panah yang seringkali dibeli oleh para petarung yang terhormat. Dan betapa banyak mereka saat itu! Begitu juga para penembak jitu dan mereka yang gemar berburu. Pengalaman ini memberinya kemampuan yang hebat dalam membuatnya dan sekaligus keinginan untuk menggunakan dan melemparnya. Ditambah lagi bahwa hal itu sekaligus menjadi latihan baginya untuk berperang dan menghadapi pertempuran.
Sa’ad mewarisi sifat-sifat ibunya yang keras dan tegas, hingga kekerasan dan ketegasan yang ia miliki pun menjadi semakin kuat. Hamnah, ibu Sa’ad adalah seorang yang sangat penyabar dan keras, mempunyai kemauan yang kuat, kepribadian yang kokoh, dan sangat kuat mempertahankan keinginannya. Hingga ia mampu memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Dan saat itu tidak ada satupun yang bisa menggoyahkan tekadnya, ataupun meruntuhkan kesabarannya, selain tekad yang dimiliki oleh putranya Sa’ad ketika masuk Islam, dan ia memaksanya untuk meninggalkan agamanya. Ia juga mengancam untuk tidak makan dan minum. Dan ini benar-benar dilakukannya hingga keadaannya menjadi sangat lemah, dan sementara itu Sa’ad juga belum mampu untuk menaklukkan tekad dan keinginannya yang sangat kuat. Sa’ad memilih untuk tetap berpegang pada agamanya, dan menempuh jalan yang telah dipilihnya. Akhirnya sang ibu menyadari bahwa tidak ada lagi cara untuk memaksa Sa’ad mundur dari agamanya, dan ia pun mengundurkan diri dari medang perang sebagai pihak yang kalah di depan kesabaran putranya, dan di hadapan kekuatan iman yang dimilikinya. Ia pun kembali makan dan minum.
Sa’ad mewarisi dari sosok ibu tersebut, kekuatan tekad, kesabaran, dan kemauannya yang keras. Dengan demikian makin sempurnalah kepribadiannya sebagai seorang pemuda quraisy dari Bani Zuhry yang tumbuh di Mekah. Kekuatan tekad seolah bertemu dengan kekokohan tumbuh di Mekah. Kekuatan tekad seolah bertemu dengan kekokohan fisik di dalam dirinya.
Lalu Islam datang kepada pemuda ini dan membukakan pintu-pintunya. Pemuda itupun tidak merasa ragu sedikitpun, ia segera menyambutnya dengan kemauannya yang rasional, dan maju memasuki taman-tamannya. Ia menemukan apa yang ia cari, dan sekaligus menemukan tujuannya. Agama baru ini pun mengarahkan potensi kekuatannya, menerangi langkahnya, dan memofokuskan seluruh potensinya untuk kebenaran. Jadilah ia seorang laki-laki mengagumkan, yang akan terus diceritakan oleh zaman.

7. Keislamannya Dengan Kelompok Pertama

Wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam berupa ayat-ayat pertama dari surat Al-Alaq. Detikpun itu merupakan saat yang paling membahagiakan di dunia, paling berkah, dan paling menyeluruh manfaatnya bagia seluruh manusia secara umum dan bagi orang-orang arab secara khusus. Wilayah Mekkah seolah diangkat dengan kehadiran Islam. Dan mereka yang paling rasional dan paling cerdas dari putra-putra Quraisy, serta manusia-manusia paling berbahagia di dunia pun segera beriman kepada Nabi yang mulia, Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam, dan bergabung di bawah panjinya, dan bersama-sama membawa benderanya.
Pada hari-hari pertama dari usia dakwah, kebahagiaan menyelimuti sekelompok orang yang terpilih. Takdir telah menuntun mereka untuk menyambut orang yang terpilih. Takdir telah menuntun mereka untuk menyambut seruan langit, mereka segera menyambutnya, dan beriman dengan kesadaran. Mereka membawa panji dakwah dengan bergantung kepada Allah, berpegang teguh kepada tali-Nya, melaju di jalan-Nya, tanpa mempedulikan rasa sakit, dan tidak peduli terhadap berbagai siksaan. Panutan mereka dalam hal ini adalah Rasul yang mulia Shallallahu’alaihi wa Sallam, yang perjalanan hidupnya telah mewangi, dan keharumannya tercium di pelosok Quraisy dengan kesucian, kejujuran, dan kemuliaan sebelum kenabian. Dan setelah kenabiaan, beliau menjadi contoh teragung sampai hari kiamat kelak.
Diantara mereka yang merasakan kebahagiaan tersebut adalah seorang shahabat yang masih begitu muda, Sa’ad bin Abi Waqqash. Ia bergabung dengan rombongan Islam dan kafilah iman yang pertama. Saat itu ia berada di awal masa mudanya dengan usia tujuh belas tahun.
Kebahagiannya bertambah dengan mimpi yang ia alami disaat tidurnya. Ia menceritakan itu kepada kita, dan berkata.
“Tiga hari sebelum masuk Islam, aku bermimpi. Seolah aku berada dalam kegelapan dan tak bisa melihat apa-apa. Tiba-tiba sebuah bulan ayng menerangiku, dan aku pun mengikutinya. Saat itu aku seolah melihat mereka yang telah lebih dahulu dariku mengikuti bulan tersebut. Aku melihat Zaid bin Hartsah, Ali bin Abu Thalib, juga Abu Bakar. Lalu seolah aku bertanya kepada mereka, “Kapan kalian samapai disini?” Mereka menjawab, “Baru saja.” Setelah itu aku mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menyeru kepada Islam dengan sembunyi-sembunyia. Maka aku menemuinya di Syi’b Ajyad (Syi’b Ajyad saat ini adalah salah satu perkampungan di Mekah Al-Mukarramah) yang engkau serukan?” beliau menjawab, “Engkau mengatakan aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa aku adalah dan bahwa engkau Muhammad adalah utusan Allah.” Dan tidak ada yang mendahuluiku selain mereka.”
Sa’ad tidak berlama-lama untuk menyambut seruan ini, karena ia meyakini bahwa mimpi tersebut adalah benar, yang tidak akan bisa dipengaruhi oleh setan. Muhammad telah dikenal Quraisy tentang kejujuran perkataannya, kebersihan jalan hidupnya, dan kemuliaan pribadinya. Kalau ia tidak pernah berbohong kepada manusia, maka bagaimana mungkin dia akan berbohong dia akan berbohong kepada Allah?!
Sa’ad telah mengetahui kedudukan Abu BAkar di Quraisy, begitu juga pengetahuannya tentang Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam , dan kejujurannya yang telah dikenal, serta keyakinannya akan kemuliaan akhlaknya, ia segera bergegas, mendahului seluruh orang-orang kecuali Khadijah tentunya untuk masuk Islam, dan membenarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan apa yang dibawanya dari Allah.
Dan Abu Bakar yang dilihat dalam mimpinya ternyata benar-benar menuntunnya kepada Islam! Begitu masuk Islam, Abu Bakar segera menyeru kepada Allah, dan kepada Islam. Ia mengajak mereka yang ia percayai dari kaumnya dan yang telah ia kenal di majelisnya. ia pun datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam dengan pemuda-pemuda terbaik Quraisy, dan berasal dari keturunan yang paling terhormat.
Al-Imam Muhammad bin Ishaq berkata, “Ketika Abu Bakar Radhiyallahu Anhu masuk Islam, dan ia memperlihatkan keislamannyaa, ia segera berdakwah kepada Allah. Dan masuk Islamlah di tangannya, Zubair bin AwwamUtsman bin Affan, Thalhah bin Ubadillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu’anhum. Mereka pergi menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersama dengan Abu Bakar. Beliau kemudian meneawarkan Islam kepada mereka, membacakan Alqur’an, dan menerangkan hakikat dari Islam. Mereka segera beriman. Merekalah delapan orang (Mereka adalah lima orang yang disebut di atas, ditambah tiga orang yang telah mendahului mereka, yaitu Abu Bakar, Ali, dan Zaid bin Haritshah) yang pertama sekali masuk Islam, membenarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam , dan beriman dengan apa yang dibawanya dari Allah”
Sa’ad menceritakan kepada kita kisah keislamannya, dan memberitahukan cerita keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wa Sallam, sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat Allah kepadanya. Juga untuk berbagai kebahagiannya atas karunia yang begitu besar, dan sebagai motifasi bagi mereka yang membaca kisah hidupnya atau mendengar ceritanyaa agar segera menuju ke pangkuan Islam dan berpegang kepada petunjuk Al-Qur’an.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, dari ayahnya, “Aku telah melihat diriku sebagai orang ketiga yang masuk Islam.”
Al-Bukhari, Ibnu Majah, Abu Nu’aim dan yang lainnya meriwayatkan dari Sa’id bin Al-Musayyab, dia berkata, aku mendengar Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Tidak ada seorangpun yang masuk Islam kecuali pada hari keislamanku. Dan aku telah melewati selama tujuh hari, dan sungguh aku adalah orang ketiga dalam Islam.”
Tidak diragukan bahwa Sa’ad telah sangat lama masuk Islam, dan diantara mereka yang paling pertama masuk Islam, salah seorang pahlawan dari kafilah pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan ia pun membawa bendera dakwah. Namun ucapannya diatas bisa ditafsirkan dan sesuai dengan apa yang diketahuinya. Ibnu Katsir telah menjelaskan dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, juga Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, bahwasanya ucapan Sa’ad “Dan aku telah melewati selama tujuh hari, dan sungguh aku adalah orang ketiga dalam Islam”, ini dikatakannya sesuai dengan apa yang diketahuinya, dan sebabnya adalah bahwa mereka yang masuk Islam pertama kali, tetap menyembunyikan keislamannya.
Mereka yang masuk Islam pada hari-hari tersebut, sengaja menyembunyikan keislamannya karena takut akan kekejaman Quraisy, dan siksaan yang akan ditimpakan mereka karena mengikuti agama yang baru.
Sejak hari pertama ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menyerukan dakwah, dan wahyu yang diterimanya, istri beliau Khadijah segera memeluk Islam, begitupula dengan anggota keluarga Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam yang tinggal di bawah atap rumahnya. Baik anak-anaknya, ataupun mereka yang didiknya. Putra-putri beliau yang ada saat itu segera beriman, Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum Radhiyallahu’ Anhunna. Merekalah yang bersama-sama ibu mereka Khadijah membentuk satu ikatan sebagai orang yang pertama kali masuk Islam, dan membenarkan risalah ayah mereka, pemimpin seluruh manusia, Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Kemudian mereka diikuti oleh ramaja binaan Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam , Ali bin Abi Thalib, yang masih dalam usia anak-anak. Dan jugak kesayangan Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam Zaid bin Haritsah. Mereka semua berada dalam satu rumah.
Dari luar rumah (yang tidak tigngal satu rumah) telah masuk Islam seorang pengokoh agama, imam umat ini, dan sebaik-baik pengikut para Nabi dan Rasul, Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Mereka semua telah masuk Islam pada detik-detik pertama sejak Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam memproklamirkan bahwa beliau adalah Nabi Allah dan Rasul-Nya.
Setelah itu datanglah angkatan kedua yang beriman, dan diantaranya terdapat Sa’ad dan saudara-saudaranya dimana Abu Bakar mempunyai peran dalam menyeru mereka kepada Allah, dan masuk Islam. Mereka pun mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam , dan memegang tangan kanan beliau untuk berbai’at.
Adapun perkataan Sa’ad bahwa ia adalah “Orang ketiga dalam Islam” juga dapat dilihat dari riwayat lain yang semakna. Dari Amru bin Abasah Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku mendatangi RasulullahShallallahu’alaihi wa Sallam yang sedang berada di Ukazh. Maka aku bertanya, “Siapa yang bersamamu?” Beliau menjawab, “Abu Bakar dan Bilal.” Lalu aku masuk Islam. Dan aku mendapati diriuku sebagai orang keempat dalam Islam.”
Sa’ad adalah diantara mereka yang paling pertama masuk Islam. Ini tidak diragukan. Adapun perkatannya tadi adalah sesuai dengan apa yang diketahuinya saat itu tentang siapa yang telah masuk Islam, sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dan itu adalah sebelum diwajibkannya sahalat. Dan Usianya saat itu tujuh belas tahun.
Ibnu Sa’ad dan yang lainnya meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata, “Aku telah masuk Islam pada hari aku masuk Islam, dan saat itu shalat belum diwajibkan.”
Dan Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Aisyah binti Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, “Aku telah masuk Islam saat berusia tujuh belas tahun.”

8. Sikap Ibunya Tentang Keislamannya, Dan Keteguhannya Dalam Berpegang Teguh

Keislaman Sa’ad Radhiyallahu’anhu, dan pilihannya untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, ternyata membuat sedih ibunya, dan menyakiti hatinya. Ibunya adalah satu diantara anggota masyarakat Quraisy yang menyembah berhala-berhala, dan berpegang teguh kepada agama nenek moyang. Ia adalah wanita yang susah diatur, memiliki tabiat yang keras, tegar dan tak mudah ditaklukkan. Ia memiliki kekuasaan penuh terhadap anak-anak dan keluarganya. Maka ia pun memaksakan kehendaknya kepada Sa’ad, dan berdiri di hadapannya bagai sebongkah karang yang amat keras, dan takkan dikalahkan oleh air kehidupan. Keahlian seorang tukang pahat pun takkan berguna untuknya. Karena ia telah diwarnai dan tersedot ke dalam pusaran kesombongan masyarakat Quraisy yang jauh dari jalan Allah. Maka ia pun bersuaha untuk mengembalikan Sa’ad kepada agama kaumnya.
Sa’ad adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Senantiasanya menyayanginya, mentaati perintah-perintahnya, dan menuruti segala kemaunnya. Ini semua terjadi sebelum kedatangan Islam. Namun ketika ia telah beriman kepada Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam, dengan kesadaran dan penuh ketaatan, dan Allah berkehendak untuk menyelamatkannya dari jurang kemusyrikan, dan mengangkatnya kepada tingginya cahaya keimanan dan tauhid, maka saat itu, dibutuhkan pemikiran yang mendalam, dan keputusan yang tepat, yang didasari oleh cahaya kebenaran yang telah diimaninya.
Maka iapun berusaha menghadapi ibunya dengan kelembutan dan cara yang baik untuk melunakkan sikapnya dan membiarkannya dengan pilihannya. Dan ia akan senantiasa menjaga baktinya kepada ibunya, dan bersikap baik kepadanya selama hidupnya. Namun ia tidak berhasil.
Ibunya menghunuskan sebuah senjata yang sangat berbahaya kepadanya. Dan mendebatnya dengan ajaran-ajaran agama yang diimaninya dan dipegangnya dengan teguh. Ia mengumumkan akan berhenti makan dan minum sampai. Sehingga orang-orang akan menyalahkan Sa’ad atas kematiannya. Dengan demikian ia juga menyindir tentang sikap bakti kepada orang tua di dalam agama yang baru dipeluk anaknya. Ia benar-benar melakukan itu, dan terus melaksanakan aksinya untuk mogok makan dan minum, hingga ia hampir mati karenanya.
Namun Sa’ad berdiri kokoh di depan keinginan ibunya bagai sebuah gunung tinggi yang tidak tergoyahkan oleh badai, dan tetap bertahan dengan agamanya sebagaimana gunung yang kokoh.
Berapa orang dari keluarganya segera menemuinya dan memintanya untuk menjenguk ibunya yang berada dalam kondisi menyedihkan, dan mautpun seolah telah bersiap mengetuk pintu rumahnya. Dengan harapan, agar hati Sa’ad menjadi lunak, kemudian meninjau kembali keputusannya dan bisa mengikuti kemauan ibunya.
Sa’ad pun datang menemui ibunya, dan menyaksikan sebuah pemandangan yang meluluhkan hati, yang mampu memusnahkan sebauh karang dari tempat. Namun keimanan Sa’ad bin Abi Waqqash jauh lebih kuat dari karang, dan lebih kokoh dari gunung. Ia mendekati ibunya, dan mengatakan kepada dengan disaksikan oleh mereka yang hadir, bahwa itu semau tidak akan merubah keputusannya, dan tidak akan bisa membuatnya meninggalkan agamanya.
Mari kita dengarkan sebuah berita yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, At-Tirmidzi, Abu Ya’la, dan yang lainnya, dari Sa’ad , ia berkata, “Ayat ini turun berkenaan denganku, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlajh engkau menaati keduanya,” (QS. Luqman [31]: 15). Ia berkata, “Ali adalah anak yang sangat berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam, ibuku berkata, “Hai Sa’ad, agama apakah yang telah engkau anut?! Engkau harus meninggalkan agamamu ini, atau aku tidak akan makan dan minum sampai mati, sehingga kau akan dicela karenaku, dan akan dikatakan kepadamu, “Wahai pembunuh ibunya.” Aku berkata, “Janganlah engkau lakukan itu duhai ibu, sungguh aku tidak akan meninggalkan agamaku ini untuk apapun.” Ia pun kemudian tidak makan dan minum sehari semalam, “Wahai ibu, engkau tahu? Demi Allah kalau engkau memiliki seratus nyawa, an keluar satu demi satu, aku tidak akan meninggalkan agamaku ini. Kalau ibu mau, makanlah, atau kalau tidak maka jangan makan.” Ketika ia melihat sikapku, akhirnya ia pun makan.”
Dalam Sebuah riwayat dari Ibnu Sa’ad disebutkan bahwa ibu Sa’ad bersumpah untuk tidak berbicara kepadanya, tidak makan, dan tidak minum sama sekali, sampai ia keluar dari agama barunya. Ibunya mengatakan, “Engkau mengatakan bahwa Allah telah memerintahkanmu agar berbuat baik kepada kedua orangtuamu, aku sendiri adalah Ibumu, dan aku memerintahkanmu untuk keluar dari agamamu itu.” Ibunya tetap melakukan hal tersebut selama tiga hari hingga akhirnya pingsan karena keletihan. Lalu datanglah saudara Sa’ad yang bernama Uamarah untuk memberi minum kepada ibunya itu. Setelah siuman, ibunya mendoakan keburukan untuk Sa’ad. Maka Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat ini, “Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-KU dan kepada kedua orang tuamu. hanya kepada aku kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, makan janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: [31: 14-15).
Dan dalam sebuah riwayat lain, “Dan ia menolak untuk makan, sampai-sampai orang-orang menahan mulutnya dengan kayu untuk memasukkan minuman dan makanan.”
Lalu turunlah wahyu yang mendukung Sa’ad tersebut, dan memuji ketegarannya dalam agamanya. Ini merupakan awal dari banyak kelebihannya, dan satu diantara keutamaan dan kebanggannya. Ia menjadi contoh bagi para pembawa kebenaran, juga bagi para pengemban dakwah dan prinsip-prinsip yang agung. Agar mereka semua senantiasa bersandar kepada agama mereka dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip mereka. Dengan tetap berbakti kepada kedua orang tua, dan berbuat baik kepada kaum kerabat.
Bersambung Insya Allah . . .

Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid : Bersama Khulafaur Rasyidin Abu Bakar Shiddiq (Seri 7)


Bersama Khulafaur Rasyidin dan Masa Setelah Mereka

Pada masa khulafaur rasyidin dan masa setelah mereka, Sa’id adalah salah satu tokoh dan pemuka dalam masyarakat muslim yang ikut dalam mengokohkan sendi Negara, mengarahkan politiknya, dan menciptakan sejarahnya. Dengan beberapa tingkat perbedaan dalam kontribusi yang diberikan dalam beberapa peristiwa sesuai dengan kondisi yang ada. Dia telah membai’at empat khulafaur rasyidin satu demi satu, dan bergabung dalam sebuah kelompok yang menjadi anggota dari majelis syura yang berfungsi untuk memecahkan berbagai masalah dan persoalan Negara. Dia juga berperan serta dalam beberap penaklukan, dan sempat memimpin sebuah wilayah untuk waktu yang sangat singkat karena ia lebih memilih untuk berjihad. Dan ketika fitnah mulai menyebar, ia memilih untuk tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal diam di rumah. Sebuah sikap yang banyak dipilih oleh shahabat-shahabat besar yang cenderung dengan pendapat ini.

1. Bersama Abu Bakar Shiddiq

Sejak hari pertama wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, Sa’id bersama kaum Muhajirin dan Anshar yang lain telah menyatakan sikap untuk mendampingi Abu Bakar, dan membai’atnya pada hari terjadinya peristiwa Saqifah. Dan terus melanjutkan perjalanan bersama Abu Bakar selama masa pemerintahannya.
Ath-Thabari meriwayatkan dari Az-Zuhri, ia berkata, “Amru bin Huraits berkata kepada Sa’id bin Zaid, “Apakah engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam?” ia menjawab, “Iya” dan ia pun berkata, “Kapankah Abu Bakar dibai’at” ia menjawab, “Pada hari wafatnya RasulullahShallallahu’alaihi wa Sallam tersebut, mereka tidak ingin berada dalam satu hari dimana mereka tidak berada dalam satu kesatuan.” Amru bertanya lagi, “Apakah ada yang menantangnya?” Sa’id menjawab, “Tidak, kecuali mereka yang murtad, atau yang hamper murtad, hanya saja Allah berkehendak untuk menyelamatkan mereka dari api neraka.” Ia bertanya, “Apakah ada dari golongan muhajirin yang tidak ikut berbai’at?” ia menjawab, “Tidak, kaum muhajirin membai’atnya secara bergantian tanpa harus ia panggil.”
Ketika beberapa kabilah arab murtad dan menolak untuk membayar zakat, dan Abu Bakar berencana untuk menyerangnya sampai mereka kembali kepada kebenaran, dan pada saat yang sama tetap bertekad untuk mengirim ekspedisi Usamah bin Zaid, datanglah kepada Abu Bakar beberapa pemuka shahabat, di antaranya Sa’id bin Zaid, yang mengusulkan dan meminta kepadanya agar mengundur pengiriman tentara Usamah, dan mengemukakan alasan-alasan mereka untuk itu.
Al-Waqidi dan Ibnu Asakir meriwayatkan, “Ketika orang-orang arab mendengar berita tentang wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, dan banyaknya orang yang murtad, Abu Bakar berkata kepada Usamah, “Lakukanlah apa yang telah diperintahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam kepadamu.” Pasukan pun mulai bergerak dan kembali berkemah di tempat mereka yang pertama, lalu Buraidah berangkat dengan membawa panji hingga sampai di perkemahan tersebut. Namun hal ini menyusahkan beberapa tokoh dari golongan Muhajirin, dan mereka pun datang menemui Abu Bakar yaitu Umar, Utsman, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Sa’id bin Zaid. Mereka berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah, sesungguhnya orang-orang arab telah berbalik menentangmu dari segala penjuru, dan dengan memisahkan pasukan seperti ini engkau tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jadikanlah mereka dalam satu pasukan saja, dengan itu engkau bisa menyerang mereka yang murtad sekaligus di tempat-tempat mereka! Dan juga, kita tidak bisa merasa aman dengan keadaan Madinah yang hanya dihuni oleh anak-anak dan wanita. Kalau saja engkau mau mengundur penyerangan kepada Romawi sampai keadaan menjadi stabil, dan mereka yang murtad kembali kepada Islam atau mereka dimusnahkan dengan pedang, kemudian barulah engkau mengirimkan pasukan Usamah, sehingga kita bisa merasa aman jikalau Romawi akan menyerang kita.”
Namun Abu Bakar mempunyai pendapat lain. Pasukan tersebut, panjinya telah dipancangkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, dan beliau telah memerintahkan untuk dilaksanakan. Maka Abu Bakar takkan mengambil alih panji tersebut, bahkan walaupun ia diserang oleh kawanan binatang buas sekalipun! Maka para shahabat pun menyambut baik pendapatnya tersebut, dan segera mentaatinya. Dan terbukti bahwa pendapat dan pilihan Abu Bakar yang terbaik.
Ketika keadaan Negara telah stabil, Ash-Shiddiq bertekad untuk mengirim pasukan guna menyampaikan dakwah Islam ke seluruh dunia. Dan menghancurkan para tirani yang menghalangi penyampaian Islam kepada seluruh manusia agar mereka bisa memilih dengan kesadaran dan tanpa paksaan untuk masuk agama ini. Dan tujuan pertamanya adalah wilayah Syam. Ia pun mulai bermusyawarah dengan para shahabat.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata, “Ketika Abu Bakar hendak menyerang romawi, ia mengundang Ali, Umar, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, juga para pemuka shahabat dari golongan muhajirin dan anshar yang ikut dalam perang Badar, dan beberapa lainnya. Lalu mereka datang menemuinya.” Abdullah bin Abi Aufa mengatakan, “Sesungguhnya nikmat-nikmat Allah tidak akan bisa terhitung, dan tidak ada amal yang bisa menandinginya, maka bagi-Nya segala puji. Allah telah menyatukan kalian, dan memperbaiki hubungan diantara kalian, memberikan hidayahnya kepada kalian dengan Islam, dan menjauhkan setan dari kalian. Maka Allah tidak menginginkan kalian berbuat syirik dan menyembah Tuhan selain-Nya. Orang-orang Arab pada saat ini adalah keturunan dari satu ayah dan satu ibu. Aku berkeinginan untuk mengerahkan kaum muslimin untuk berjihad menghadapi Romawi di Syam. Semoga Allah menguatkan kaum muslimin, dan menjadikan kalimat-Nya yang tertinggi, maka silahkan siapa saja untuk mengemukakan pendapatnya tentang hal ini.”
Maka beberapa orang seperti Umar, Ali, dan Abdurrahman memberikan pendapatnya. Kemudian Utsman berkata kepada Abu Bakar, “Sungguh aku melihat engkau sebagai seorang yang senantiasa memberikan nasihat kepada umat ini, dan menyayangi mereka. Kalau engkau berpendapat sesuatu yang membawa kebaikan bagi mereka semua, maka laksanakanlah dengan pasti, sungguh engkau tidak akan dituduh yang bukan-bukan.”
Maka Thalhah, Zubair, Sa’ad, Abu Ubaidah, dan Sa’id bin Zaid, serta mereka yang hadir di majelis itu dari kalangan muhajirin dan anshar berkata, “Utsman benar, laksanakanlah rencanamu, kami tidak akan menyelisihimu atau menuduhmu.”
Pada hari-hari terakhir pemerintahannya, Abu Bakar hendak mendekati ajalnya, ia mengundang Abdurrahman bin Auf dan berkata, “Katakan kepadaku tentang Umar bin Khaththab? Abdurrahaman bin Auf menjawab, “Demi Allah, dia adalah orang yang terbaik yang dapat engkau lihat.” Kemudian ia mengundang Utsman dan meminta pendapatnya, lalu juga meminta pendapat dari Sa’id bin Zaid Abul A’war, Usaid bin Hudhair, dan selain mereka dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Bersambung Insya Allah . . .