Selasa, 17 Mei 2016

Maafin yah

Menghadapi bulan suci ramadhan 147 H, kita bersihkan hati kita dari perasaan dengki, iri, tamak, rakus, sombong, jengkel ataupun marah kepada seseorang, teman, saudara, orang tua, guru dll.
kita tingkatkan keimanan kita menujuh bulah yang penuh berkah, rahmat dan magfirah. mumpung masih ada waktu kita hidup di dunia ini, esok kita belum tau apa masih ada buat kita atau kita akan kembali menghadap ilahi Rabbi. maka pada kesempatan yang baik ini izinkan saya, keluarga saya dan teman-teman saya jika ada salah dan khilaf tolong di maafkan, sekali lagi maaf yah!
karena saya yakin pasti banyak kekeliruan yang pernah aku lakukan baik itu disengaja maupun yang tidak disengaja. jika kalian semua para aktivis sosmed bisa memaafka aku, kami maka itu pertanda bahwa masih ada benih-benih iman dalam diri kita dan kalian. bulan yang suci jangan kita kotori dengan perasaan-perasaan yang tidak baik. wallahu'alam bissawab. billahi fisabililhaqq wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh (hafidz sekeluarga)

Minggu, 15 Mei 2016

Ujian Semeseter

Pelaksanaan ujian semester smkn 1 tinangkung di mulai poada tanggal 16 Mei 2016, mengingat waktu libur puasa semakin dekat.


Minggu, 08 Mei 2016

Berpaling dari Syariah Menuai Bencana Asap


kebakaran-hutanOleh: Bintoro Siswayanti (anggota Lajnah Mashlahiyyah MHTI)
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (TQS. asy-Syura [42]: 30).
Bencana asap terjadi karena secara kausalitas pemanfaatan lahan gambut menyimpang dari sunnatullah karakter alami gambut dan juga sunnatullah tata kelola syariah lahan gambut yang merupakan harta milik umum.
Pada hakikatnya, bencana Allah timpakan agar kita kembali taat kepada Allah dan agar Allah mengampuni kesalahan-kesalahan kita. Bencana asap menunjukkan buruknya riayah atau pengelolaan urusan oleh negara. Negara lebih mengedepankan unsur bisnis ketimbang mengelola hak hajat dasar rakyat atas lahan gambut.
Sudah lazim diketahui bahwa pemerintah daerah maupun pusat kerap tunduk pada kepentingan para pengusaha kuat. Termasuk mengalihfungsikan lahan yang semestinya menjadi kawasan resapan air, penstabil kelembapan udara, penyimpan karbon terbesar dunia, dan penyeimbang iklim dunia menjadi kawasan bisnis, yakni bisnis pulp n paper terbesar dunia dan bisnis sawit terbesar kedua dunia.
Padahal kawasan gambut kita apabila digabung seluas pulau Jawa. Lahan gambut adalah sejenis batubara muda biasanya dalam cekungan yang diapit oleh dua hutan tropis. Air yang mengalir dari hutan tropis akan tertampung dalam rawa gambut tersebut.
Lahan gambut yang terendam air tersebut merupakan karunia Illahi. Genangan air yang membasahi gambut sehingga pada kondisi alami tersebut gambut sangat sulit terbakar. Tekstur gambut seperti spons menyerap air banyak, apabila musim kemarau panjang datang uap air akan dilepas sdikit demi sedikit sehingga udara tetap terasa nyaman bagi penduduk. Lahan rawa gambut juga sebagai sumber air dan mata pencaharian penduduk. Disamping ekosistem yang baik dan tempat tumbuh kayu-kayu langka.
Saat ini, justru gambut diciderai, dikeluarkan dari sifat sunnatullah alaminya. Lahan gambut dikeringkan agar dapat ditanami pohon kayu akasia dan kelapa sawit. Dikeringkan dengan cara membuat kanal-kanal atau parit untuk mengalirkan air rawa tersebut ke sungai atau laut.
Tentu saja, batubara muda dalam keadaan dikeringkan tersebut akan mudah sekali terbakar saat musim kemarau. Lebih parahnya lagi, lahan gambut kering tersebut memang dibakar oleh pengusaha tanaman industri dan kelapa sawit agar lahan memadat dan pH tanah tidak terlalu asam untuk ditanami tanaman tersebut.
Karena lahan gambut dikeringkan, musim kemarau terasa menyiksa. Terjadi kekurangan sumber air dan juga udara menjadi sangat kering karena sedikitnya titik-titik air yang diuapkan dari lahan gambut.
Jadi wajar ketika kebakaran sulit sekali dipadamkan oleh tim manggala agni, sebab sulit mendapatkan suplai air. Tim pembuat hujan buatan pun sulit berhasil sebab sedikitnya uap air di udara.
Itu dari sisi pemanfaatan lahan gambut keluar dari sunnatulah sifat alami gambut.
Adapun dari sisi menyimpang dari sunnatullah syariat tata kelola gambut adalah sebagai berikut: secara sifat keberadaannya, maka gambut dapat dikategorikan sebagai harta milik umum berdasar mafhum hadits “kaum muslim berserikat atas 3 hal…”.
Maka atas harta jenis milik umum tersebut, Asy-Syari’ (Allah Swt) menetapkan negara sebagai pengelolanya untuk kemaslahatan pemilik harta tersebut, yakni masyarakat.
Harta ini tidak seperti harta-harta lain yang ditetapkan Asy-Syari’ sebagai harta milik negara. Oleh sebab itu, negara harus hadir secara riil dan langsung mengelolanya untuk masyarakat, tidak boleh menyerahkan tanggungjawab pengelolaannya kepada pihak lain (swasta). Sementara saat ini pemerintah melalui nawacitanya, meski di satu sisi meng-klaim selalu hadir di tengah rakyat, namun kehadirannya tidak langsung, melainkan hadir sebagai regulator saja dan pengelolaan lahan gambut dilakukan oleh swasta.
Tentu saja sangat berbeda secara filosofis, antara naluri pengelola urusan rakyat dengan naluri pengusaha. Pengusaha tidak akan berpikir bagaimana melayani kemaslahatan rakyat, yang dipikirkannya adalah untung.
Mengelola lahan gambut secara teknologi pengelolaan  yang benar butuh biaya 10x lipat daripada membakar, tentu pengusaha akan pilih opsi membakar yang murah meriah.
Akhir tahun 2014 REDD+ melakukan audit. Hasilnya, 100% perusahaan tidak taat pencegahan kebakaran lahan. Wajar-lah uang lebih menarik bagi bisnis, bukan dampak ISPA, anak-anak banyak yang menjadi korban jiwa, kehilangan plasma nutfah, dsb. Toh pikir pengusaha, jika kebakaran membesar, nanti juga ada BNPB yang menangani dan didanai negara trilyunan rupiah.
Disamping itu secara syariat, status harta milik umum menjadikan harta tersebut tercegah untuk diproteksi secara istimewa bagi individu tertentu (swasta) kemanfaatannya. Jadi kesalahan fatal menyalahi syariat, negara memberikan hak konsesi lahan tersebut bagi pengusaha.
Jadi bencana ini adalah peringatan Allah, agar kita kembali taat mengikuti sunnatullah-Nya. Yakni agar kita kembali kepada syariat-Nya.
Karena pelaku kemaksiatan terbesar pada kasus ini adalah negara, maka kita perlu amar makruf kepada penguasa. Apabila amar makruf ditinggalkan, maka Allah mengancam doa-doa orang shalih tidak akan dijawab. Kita khawatir shalat istisqa kita tidak segera terkabul, padahal memadamkan titik-titik api di lahan gambut tersebut benar-benar bergantung kepada kemurahan Allah SWT untuk menurunkan hujan lebat. Oleh sebab itu doa-doa harus segera diiringi dakwah kepada penguasa dan berbagai pihak agar kausalitas kembali pada sunnatullah tata kelola lahan gambut yang benar tersebut segera diterapkan. Wallahu a’lam bish showab [].Sumber http://hizbut-tahrir.or.id/2015/11/05/berpaling-dari-syariah-menuai-bencana-asap/

Menyoal Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemenuhan Kesehatan Publik

BPJSOleh Dr.Rini Syafri (Koordinator Lajnah Mashlahiyah)
Setelah terjadi polemik dari berbagai kalangan terkait PerPres Nomor 19 Tahun 2016 yang memuat ketentuan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, akhirnya Presiden menunda kenaikan Iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III, tetap Rp 25.500 per 1 April 2016. Alasan penundaan tersebut, karena pemerintah memandang masyarakat kelas III adalah kelas bawah (baca miskin) yang perlu mendapat perlindungan negara. Hal ini ditegaskan oleh Sekretaris Kabinet, Pramono Anung dalam pernyataannya: “Kami melihat, untuk yang kelas III perlu ada perlindungan yang diberikan oleh negara.” ( Republika 1 April 2016 halaman I).
Masih dari sumber yang sama, Pramono juga menyampaikan instruksi Presiden agar peserta BPJS Kesehatan kelas III diperbolehkan mendapat perawatan kelas I, jika memang membutuhkan. Sementara itu, terkait keberatan masyarakat terhadap kenaikan iuran bagi kelas I dan II, pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek menyatakan, ”Anggaplah saya peserta mandiri ingin di kelas I. Kalau dinaikkan Rp 80 ribu kemudian saya tidak mampu, bisa minta turun ke kelas II atau kelas III. Sekarang biaya kelas III ini sudah ditetapkan seperti dulu”, ( Republika, 2 April 2016).
BPJS Kekalkan Liberalisasi Kesehatan
Tampaknya berbagai kalangan utamanya yang aktif menyoal PerPres yang berisi kenaikan iuran BPJS Kesehatan mengamini sikap dan keputusan pemerintah tersebut. Bahkan boleh jadi dinilai sebagai sikap yang tepat dan bijaksana. Menjadi sebuah keniscayaan ketika masyarakat tidak memiliki gambaran apa yang seharusnya menjadi hak-haknya, dan apa yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah dengan logika kufur neoliberal beranggapan telah hadir memenuhi hak-hak publik ketika telah menanggung premi kalangan miskin dan menunda kenaikan premi kelas III. Karena berpandangan keberadaan BPJS Kesehatan seakan mutlak, sehingga harus dicegah dari kebangkrutan meski berkonsekuensi pada peningkatan premi kelas II dari Rp 42.500 menjadi Rp 51.000 dan kelas I dari Rp 59.500 menjadi Rp 80.000.
Sementara itu, BPJS Kesehatan secara konsep maupun faktualnya justru mengekalkan liberalisasi kesehatan yang tidak saja semakin menjauhkan masyarakat dari hak-haknya, namun juga memperparah beban penderitaan masyarakat. Misal beban finansial ganda, yaitu membayar premi wajib tiap bulan dan membayar lagi saat sakit karena berbagai sebab. Seperti kamar untuk pasien BPJS Kesehatan penuh, hingga persoalan ketiadaan obat, tenaga kesehatan, sementara penyakit harus segera diobati. Akibatnya, sakit bertambah parah dan bahkan diantara kehilangan nyawa. Karenanya buruknya pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan telah menjadi sorotan berbagai pihak (Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Ketua Fraksi IX DPR RI, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dalam polemik kenaikan iuran BPJS Kesehatan baru-baru ini.
Buruknya akses dan kualitas pelayanan kesehatan NHS (National Health System) yaitu model UHC (Universal Health Coverage, Asuransi kesehatan masal wajib) yang diadopsi Negara Inggris baru-baru ini kembali diberitakan. Seorang dokter terkemuka menyatakan, rumah sakit sudah kewalahan, pasien dapat meninggal akibat waktu tunggu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan yang melebihi waktu yang semestinya. (http://www.theguardian.com/society/2016/mar/10/nhs-hospitals-overwhelmed-patients-could-die-top-doctor). Berita ini memperpanjang daftar bukti tentang kesalahan prinsip-prinsip UHC (Indonesia JKN) tidak mampu diatasi oleh lamanya waktu, kemajuan teknologi dan upaya tambal sulam apapun. Kesalahan prinsip yang dimaksud utamanya adalah negara melepaskan tanggung jawab pengelolaan pelayanan kesehatan kepada lembaga keuangan asuransi kesehatan wajib masal BPJS Kesehatan.
Abainya Pemerintah
Sikap masyarakat tentu akan lain ketika mereka memahami dan menyadari bahwa layanan kesehatan adalah hak rakyat, baik yang miskin maupun yang kaya tanpa terkecuali. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik dari negara dan pemerintah. Pemerintah juga memahami dan bertanggung jawab memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak pelayanan kesehatan publik, yaitu pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi siapapun tampa membebani masyarakat dengan biaya sepeserpun. Artinya ketika negara hanya menggratiskan pelayanan kesehatan untuk orang miskin itupun kelas III sesungguhnya negara justru telah berlaku diskriminatif terhadap masyarakat.
Apa lagi bila semua pihak memahami bahwa program UHC-JKN dengan BPJS Kesehatan sebagai badan pengelolanya hanyalah wujud legal komersialisasi dan liberalisasi kesehatan yang selama ini menjadi sumber petaka di dunia pelayanan kesehatan. Konsep-konsep batil yang melandasi UHC-JKN menjadikan perbaikan teknis apapun tidak banyak gunanya untuk mewujudkan hak-hak publik dan terlaksanannnya tanggung jawab pemerintah. Sehingga berapapun nilai preminya dan bahkan sekalipun negara menanggung beban premi semua penduduk, namun negara tetap saja lalai.
Mengapa demikian? karena pemerintah telah menyerahkan tanggungjawab pentingnya, dalam hal pengelolaan dan pemenuhan hak-hak pelayanan kesehatan publik kepada lembaga bisnis keuangan BPJS Kesehatan. Bersamaan dengan itu, ditangan BPJS Kesehatan pelayanan kesehatan dikelola berdasarkan untung rugi, bukan pelayanan. Salah satu buktinya adalah keharusan membayar premi agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, yang tak jarang belum tentu bisa diperoleh. Di sinilah letak kedzaliman pemerintah terhadap puluhan juta jiwa penduduknya, yang semestinya negaralah yang terdepan dalam menghilangkan kezoliman tersebut.
Oleh karena itu, topik pembahasan yang seharusnya bukanlah naik tidaknya premi, tetapi apa yang semestinya menjadi tanggung jawab negara, apa yang menjadi hak publik dan bagaimana seharusnya negara hadir agar tanggungjawabnya tertunaikan dan disaat yang bersamaan hak-hak publik terhadap pelayanan kesehatan terpenuhi sebagaimana mestinya.
Pelayanan Kesehatan Dalam Sistem Islam
Rasulullah saw telah menegaskan melalui lisannya yang mulia, “Penguasa adalah penggembala dan penanggung jawab urusan rakyatnya”. (HR Bukhari). Hadist ini menjadi dasar pandangan bahwa negara adalah pihak yang bertanggung sepenuhnya terhadap pemenuhan hak-hak publik terhadap pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat.
Dijelaskan dalam kitab Ajhizatu Daulatil Khilafah (2005), halaman 128, bahwa Rasulullah saw dalam kapasitasnya sebagai kepala negara yang mengelola secara langsung pemenuhan berbagai kemashlahatan masyarakat, termasuk pelayanan kesehatan. Para Khalifah sesudah beliaupun mengikuti langkah ini. Masyarakat diberikan pelayanan kesehatan gratis denga biaya dari kas baitul maal.
Jika negara dan pemerintah benar-benar tulus dan berniat baik, maka negara wajib menggunakan konsep yang sohih, mengembalikan keutuhan wewenang dan tanggungjawabnya dalam memenuhi hak-hak pelayanan kesehatan publik. Yaitu dengan cara mengelola secara langsung dan sepenuhnya pemenuhan pelayanan kesehatan publik. Pemerintah harus meninggalkan logika dan konsep batil neoliberal yang selama ini telah menjauhkannya dari tugas mulia dan tanggungjawabnya. Konsep-konsep batil negara hanya sebagai regulator dan pengelolaan pelayanan kesehatan harus diserahkan pada BPJS Kesehatan serta berbagai pandangan yang bersumber dari reinventing government (ReGom)/Good Governance (GG) lainnya sudah saatnya untuk dicampakan. Karena inilah satu-satunya jalan agar kesehatan terlepas dari cengkraman komersialisasi dan liberalisasi.
Bersamaan dengan itu, negara wajib mengembalikan fungsi semua rumah sakit plat merah dan puskesmas sebagai perpanjangan tangan fungsi negara, wajib dikelola di atas prinsip pelayanan, bukan bisnis . Sehingga apapun alasannya tidak dibenarkan rumah sakit di- BLU-kan (Badan Layanan Umum) atau di-BLUD-kan (Badan Layanan Umum Daerah). Demikian pula segala hal yang berbau bisnis dan nyata-nyata menghambat fungsi pelayanan rumah sakit harus dihilangkan, termasuk sistem pelayanan berjenjang, konsep case mix dan kapitasi.
Seiring dengan itu, negara wajib menggunakan konsep anggaran yang bersifat mutlak dalam pembiayaan pelayanan kesehatan, dan meninggalkan konsep anggaran berbasis kinerja. Dikatakan bersifat mutlak karena negara wajib mengadakan sejumlah biaya yang dibutuhkan baik ada maupun tidak ada kekayaan negara pada pos pembiayaan kesehatan. Negara wajib men-support berapapun biaya yang dibutuhkan rumah sakit untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat. Karena penundaannnya dapat berakibat dhoror (penderitaan) masyarakat meski hanya satu orang.
Hal ini mengharuskan negara mengelola kekayaan negara secara benar, termasuk harta milik umum, sehingga negara memiliki kemampuan finasial yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Negaralah pihak yang paling bertanggungjawab mendirikan rumah sakit-rumah sakit, berikut segala sesuatu yang dibutuhkan untuk berjalannnya fungsi rumah sakit, termasuk dalam hal ini menyediakan para dokter dengan berbagai bidang keahlilannnya.
Adapun konsep otonomi daerah/ desentralisasi kekuasaan tidak saja terbukti menyulitkan terwujudnya hak-hak pelayanan kesehatan publik, namun lebih dari pada itu bertentangan dengan konsep yang sohih. Karena syari’at Islam telah menetapkan kekuasaan bersifat sentralisasi dan tata pelaksanaan bersifat desentralisasi.
Demikianlah sejumlah konsep sohih yang harus diadopsi pemerintah agar mampu menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Disaat bersamaan, meniscayakan hak-hak pelayanan kesehatan yang selama ini terampas akan kembali pada pemiliknya. Yaitu pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik, kapanpun dan dimanapun bagi siapapun. Penerapan konsep sohih inilah yang menjadi kunci bagi terwujudnya pelayanan kesehatan yang menyejahterakan dan memuliakan semua pihak, baik pemerintah, insan kesehatan maupun masyarakat secara keseluruhan.
Namun penting dicatat, sifat konsep-konsep sohih ini hanya compatible (serasi) dengan sitem politik Islam, khilafah Islam. Dan pemerintah mesti mengadopsinya sebagai sistem politik yang harus diterapkan dalam pengurusan urusan publik, termasuk urusan pemenuhan hak-hak pelayanan kesehatan masyarakat. Karenannya kehadiran syariat Islam berikut Khilafah Islam merupakan persoalan yang tidak perlu diperdebatkan lagi urgensitasnya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan” (TQS Al Anfal (8): 24).[]

Mendurhakai Orang Tua Menuai Petaka

Kita sudah lama mendengar bahwa Rasul SAW pernah bersabda, “Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu.” (Musnad Syihab al-Qadha’i).
Namun, saat ini, saat kehidupan makin sekular dan liberal, tak sedikit anak-anak Muslim yang tidak lagi menghormati apalagi berbakti kepada kedua orang tuanya. Tak sedikit anak yang tidak sopan dalam berbicara kepada orang tua, tidak berterima kasih kepada orang tua, menentang perintahnya bahkan menyakiti perasaan orang tua. Yang lebih parah, ada anak yang sampai tega menyakiti orang tua secara fisik, bahkan membunuh orang tuanya sendiri. Padahal Allah SWT telah berfirman: Tuhanmu telah mewajibkan agar kalian tidak menyembah selain Dia dan agar kalian berbuat baik kepada kedua orang tua (TQS al-Isra’ [17]: 23).
Terkait itu, Ibn Abbas ra berkata, “Ada tiga ayat yang turun, yang di dalamnya satu perkara dikaitkan dengan perkara lainnya; yang salah satunya tidak bisa diterima tanpa melibatkan yang lainnya. Pertama: Firman Allah SWT yang berbunyi, “’Athi’ulLah wa ‘athi’ur-Rasul (Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul).” Siapa saja yang menaati Allah tetapi tidak menaati Rasul maka ketaatannya tidak diterima. Kedua: Firman Allah, “Aqimush-shhalah wa atuz-zakah (Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat).” Siapa saja yang menunaikan shalat tetapi tidak mau membayar zakat maka shalatnya tidak diterima. Ketiga: Firman Allah, “An asykur Li wa liwalidayka (Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu).” Siapa saja yang bersyukur kepada Allah tetapi tidak bersyukur (berterima kasih) kepada kedua orang tuanya maka syukurnya tidak diterima. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda, ‘RidhalLah fi ridha al-walidayn wa sukhtulLah fi sukhti al-walidayn (Ridha Allah ada pada ridha orang tua. Murka Allah ada pada murka orang tua). (Adz-Dzahabi, Al-Kaba-ir, I/13).
Ibn Umar berkata bahwa seorang laki-laki pernah meminta izin kepada Nabi SAW untuk berjihad bersama beliau. Nabi SAW bertanya, “Apakah orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu Nabi SAW bersabda, “Berbaktilah kepada kedua orang tuamu terlebih dulu, lalu berjihadlah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis ini jelas sekali, berbakti kepada orang tua dan melayani mereka lebih diunggulkan/diutamakan daripada berjihad di jalan Allah SWT.
Durhaka kepada orang tua adalah dosa besar sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW bersabda, “Maukah kalian aku beri tahu dosa besar yang paling besar: Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Perhatikanlah, bagaimana Rasul SAW mengaitkan sikap buruk dan durhaka kepada kedua orang tua dengan sikap menyekutukan Allah SWT.
Rasul SAW juga bersabda, “Andai Allah menginformasikan ada yang lebih remeh dari sekadar mengucapkan kata “Ah!” (kepada kedua orang tua) maka pasti Allah akan melarang hal demikian. Karena itu lakukan saja oleh orang yang durhaka kepada kedua orang tua apa saja yang mereka inginkan, niscaya mereka tidak akan pernah masuk surga. Lakukan pula oleh orang-orang yang berbakti kepada kedua orang tua apa saja yang mereka kehendaki, niscaya mereka tidak akan pernah masuk neraka selama-lamanya.” (Adz-Dzahabi, Al-Kaba-ir, I/14).
Durhaka kepada orang tua akan mendatangkan azab yang cepat bagi pelakunya. Rasul SAW bersabda, “Setiap dosa Allah tunda (azabnya) sampai Hari Kiamat, kecuali dosa durhaka kepada kedua orang tua; maka azabnya Allah segerakan atas pelakunya di dunia sebelum dia mati.” (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).
Terkait durhaka kepada kedua orang tua, Kaab al-Ahbar pernah ditanya, “Apa yang dimaksud dengan durhaka kepada kedua orang tua?” Ia menjawab, “Yaitu jika ayah atau ibunya membagi sesuatu kepada dia, dia tidak menerimanya dengan baik; jika keduanya memerintah dia, di tidak melakukannya; jika keduanya meminta kepada dia, dia tidak memberi; jika keduanya memberi amanah, dia tidak tunaikan.” (Adz-Dzahabi, Al-Kaba-ir, I/14).
Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasul SAW pernah bersabda, “Ada empat kelompok manusia yg menjadi hak Allah untuk tidak memasukkan mereka ke dalam surganya dan mereka tidak akan menikmati sedikitpun nikmat surga di dalamnya: pemeras khamar, pemakan riba, pemakan harta anak yatim secara zalim dan orang yang durhaka kepada kedua orang tua—jika mereka tidak bertobat.” (Adz-Dzahabi, Al-Kaba-ir, I/14).
Terkait berbakti kepada orang tua, Rasul SAW memberikan tuntunan. Seseorang pernah datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, “Ya Rasulullah, siapa yang lebih berhak aku pergauli secara baik?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul, “Ayahmu, lalu orang-orang terdekatmu dari yang paling dekat.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
WalLau a’lam bi ash-shawab. [] abi

Jumat, 06 Mei 2016

Wahai Para Anak-anakku

Mengingat masa kecil adalah masa dimana semua hal akan muda, kasih sayangpun didapatkan begitu gampangnya, namun itu semua tidak untuk saya ketika masih kecil.  Disamping karena waktu itu belum paham apa itu masa kecil, masa kanak-kanak, juga tidak dapat akses yang luas seperti saat ini.  saat ini anak-nakan baru beberapa bulan saja sudah pergang HP, LapTop, Gadget, bahkan sudah diperdengarkan suaranya sejak baru lahir.  Maka perbedaan itu sangat aku rasakan.  apa lagi waktu usia sekolah kenal aja dengan yang namanya HP tidak perna, tapi sekarang sudah menjadi tren bagi anak-anak, misalnya ada tugas dari gurunya untuk mencari lewat internet, android, Gadget, dsb.   Tapi itulah perubahan.  setiap masa punya kejayaan masing-masing.  semoga dengan adanya semua itu tidak menjerumuskan anak-anakku sekalian.  Wahai para orang tua sebagai pengayam anak-anaknya didik mereka di rumah, beri kasih sayang yang tulus ikhlas kepada anak-anaknya agar mereka kelah jadi harapan orang tuanya.  wahai para guru dimanapun anda berada, sebagai pendidik, didiklah anak-anak kita dengan penuh kesungguhan, penuh tanggungjawab karena mereka sudah dititipkan oleh orang tuanya ke sekolah-sekolah.   Tugas kita adalah amanah dari Tuhan AllahSWT.  Jangan membiarkan mereka terlantar, jangan menakut-nakuti mereka, jangan dikasari tapi beri ia kelembutan, kasih sayang, perhatian.  Karena mereka sangat mengharapkan perhatian.  Agar mereka kelak jika kalian para guru tidak berada didekat mereka maka mereka akan merindukanmu, mencarimu bahkan mengharapkanmu.
        Kekuatan adalah cinta dan kasih sayang, seperti kita sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah Azza Wajallah, karena kasih sayang Allah kita diberikan karuniahNya yang tak terbatas.

Pengumuman UN 2016

Salakan - Perayaan kelulusan sekolah identik dengan aksi corat-coret seragam oleh para pelajar. Kini, setelah nilai ujian nasional (UN) tidak lagi menjadi syarat mutlak kelulusan, diharapkan para siswa tidak berlebihan dalam merayakan kelulusan mereka.
Direktur SMA di Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasamen), Kemdikbud, Purwadi mengingatkan, para siswa bisa merayakan momen kelulusan dengan cara yang lebih terpuji.
"Para siswa supaya lebih sopan dalam merayakan kelulusan, tidak perlu hura-hura. Misalnya, ketimbang mencorat-coret seragam sekolah, lebih baik menyumbangkannya ke orang yang membutuhkan," ujarnya, belum lama ini.
Selain itu, kata Purwadi, Kemdikbud juga sudah memberikan imbauan kepada para pimpinan Dinas Pendidikan (Disdik) bagi para siswa untuk merayakan kelulusan mereka dengan cara yang wajar. Termasuk juga tidak perlu konvoi usai pulang sekolah.
"Kemdikbud sudah menghimbau siswa melalui Dinas Pendidikan di semua wilayah supaya menjaga kesopanan dalam merayakan kelulusan," tambahnya.
UN jenjang SMA/sederajat dengan metode paper based test (PBT) dan computer based test (CBT) dihelat 4-12 April. Pengumuman hasil UN dijadwalkan pada 7 Mei. Saat ini, hasil UN 2016 sudah diserahkan ke panitia SNMPTN 2016 sebagai salah satu pertimbangan seleksi calon mahasiswa di tiap PTN.
Secara etika pun budaya coret-mencoret itu adalah budaya hedonisme yang munculnya itu dari barat, maka hal tersebut tidaklah pantas dilakukan oleh para siswa, dan itu menodai sistem pendidikan nasional.  sebaiknya jika pakaian seragam disumbangkan kepada adik-adik kelasnya. dan pasti mereka sangat membutuhkan.  semoga bermanfaat.......

Selasa, 03 Mei 2016

pendidikan hari ini

Melihat sejarah masa lalu, para pejuang pendidikan talah berusaha untuk memperjuangkan bagaimana pendidikan di masa depan terutama untuk anak-anak bangsa....... namun yang tercatat dalam sejarah hanyalah segelintir orang yang dianggap sebagai pahlawan nasional, seperti yang kita kenal Ki Hajar Dewantara.  Pada hal apakah hanya dia yang pantas menjadi aikon perjuangan dalam bidang pendidikan, bagaimana dengan para kiyai, para ulama, para pejuang islam yang lainnya.   Apakah ini karena dipengaruhi oleh pelaku sejarah masa lalu. jawabannya adalah ya.  bahkan para pelaku pendidikan, pemerhati pendidikan merujuk pada negera-negara barat yang membawa berbagai masalah dalam seluruh linih, Misalnya terkait dengan Akhlak mereka, bahkan agama mereka tidak jelas..... pada hal dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia selalu berkaitan dengan Akhlak Mulia, Iman dan Iptek.  Kenapa kita harus berkiblat kepada mereka?  Tidakkah cukup sistem pendidikan yang telah melahirkan begitu banyak prof, Dr. Master, Sarjana, Diploma, Dll.

Bismillah

Dengan Nama Allah, melakukan sesuatu yang baik harus diawali dengan ucapan Basmala, karena dengan ucapan itu adalah maka ......amalan kita akan dicatat oleh Allah sebagai satu kebaikan.

Kamis, 28 April 2016

Hukum berjabat tangan dengan lawan jenis


Al-'Alim Al-Ustad Syamsudin Ramadhan
(DPP Hizbut Tahrir Indonesia)
Soal:
Saya ingin menanyakan apakah boleh berjabat tangan dengan lawan jenis, mohon penjelasan yang detail berikut pendapat-pendapat yang muncul dan tarjihnya.
Jawab: Pembahasan hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram memerlukan kajian yang kritis dan mendalam sebelum menyimpulkan, karena terdapat cukup banyak dalil-dalil syara yang digunakan untuk membahas permasalahan ini. Akibatnya para ulama yang membahas masalah ini berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang mengharamkannya dan ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh).

1.       Dalil-Dalil, Serta Argumentasi Yang Digunakan Oleh Masing-Masing Pendapat
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat yang mengharamkannya adalah sebagai berikut:
Pertama, beberapa riwayat dari ‘Aisyah r.a. yaitu:
Telah berkata ‘Aisyah:
Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Telah berkata ‘Aisyah:
Tidak! Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah Saw menyentuh tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Menurut mereka Hadits-hadits di atas dan serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa Rasulullah Saw tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (asing). Karena itu maka hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah haram.
Kedua, hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:
Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. ath-Thabrani].
Atau hadits yang berbunyi:
Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.
Ketiga, juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw yakni:
Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i].
Sedangkan pendapat yang membolehkan dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan bahwa tangan Rasulullah Saw bersentuhan (memegang) tangan wanita.
Pertama, diriwayatkan dari ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. yang berkata:
Kami telah membai’at Rasulullah Saw, lalu Beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangis mayat), karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” [HR. Bukhari].
Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata qa ba dha dalam hadits ini memiliki arti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu) (A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas —baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)— bahwa Rasulullah Saw telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzhâm Ijtima’i fi al-Islâm, hal. 57-58, 71-72). Penjelasan ini juga sekaligus membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’.” Seperti yang dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan (Muhammad Ismail, Berjabat Tangan Dengan Perempuan, hal. 34). Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki arti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa dipahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’. Kata qa ba dha juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata, “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulullah Saw masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung’.” Beliau kemudian bersabda:
Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badanya kecuali wajahnya dan selain ini —digenggamnya pergelangan tangannya sendiri— dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. ath-Thabari dari ‘Aisyah r.a.].
Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.
Kedua, diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab: ‘Ini tangan seorang wanita.’ Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar)’.” [HR. Abu Dawud].
Ketiga, dalil lain yang membuktikan bahwa hukum mushafahah adalah mubah adalah dari firman Allah SWT:
…atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43).
Ayat ini merupakan perintah bagi seorang laki-laki untuk mengambil air wudlu kembali jika ia menyentuh wanita. Wanita yang ditunjuk oleh ayat itu bersifat umum, mencakup seluruh wanita, baik mahram maupun bukan. Dengan kata lain, bersentuhan tangan dengan wanita bisa menyebabkan batalnya wudlu, namun bukan perbuatan yang diharamkan. Sebab, ayat tersebut sebatas menjelaskan batalnya wudlu karena menyentuh wanita, bukan pengharaman menyentuh wanita. Oleh karena itu, menyentuh tangan wanita —tanpa diiringi dengan syahwat— bukanlah sesuatu yang diharamkan, alias mubah.
Walhasil berdasarkan mafhum isyarah dalam ayat tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum mushafahah adalah mubah.
Keempat, Adanya riwayat-riwayat lain yang membolehkan mushafahah adalah sebagai berikut.
Imam ar-Razi dalam at-Tafsir al-Kabîr, juz 8, hal. 137 menuturkan sebuah riwayat bahwa ‘Umar ra telah berjabat tangan dengan para wanita dalam bai’at, sebagai pengganti dari Rasulullah Saw.
Diriwayatkan oleh Imam ath-Thabarani bahwa Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan para wanita sebagai pengganti dari Rasulullah Saw.
Imam al-Qurthubi di dalam al-Jâmi’ al-Ahkâm al-Qurân, juz 18, hal. 71, juga mengetengahkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw mengambil bai’at dari kalangan wanita. Diantara tangan Rasulullah Saw dan tangan wanita-wanita itu ada sebuah kain. Kemudian Rasulullah Saw mengambil sumpah wanita-wanita tersebut. Dituturkan pula bahwa setelah Rasulullah Saw selesai membaiat kaum laki-laki Rasulullah Saw duduk di shofa bersama dengan Umar bin Khaththab yang tempatnya lebih rendah. Lalu, Rasulullah Saw membai’at para wanita itu dengan bertabirkan sebuah kain, sedangkan Umar bin Khaththab berjabat tangan dengan wanita-wanita itu.
Riwayat-riwayat ini merupakan dalil kebolehan mushafahah. Sebab, ada taqrir dari Rasulullah Saw terhadap perbuatan Umar bin Khaththab. Taqrir dari Rasulullah Saw merupakan hujjah yang sangat kuat atas bolehnya melakukan mushafahah. Seandainya mushafahah dengan wanita asing (ajnabiyyah) adalah perbuatan haram, tentunya Rasulullah Saw tidak akan mewakilkan kepada Umar bin Khaththab, dan beliau Saw pasti akan melarangnya.
2. Sikap Kita Dalam Menghadapi Perbedaan Tersebut
Dalam menghadpi perbedaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadit-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya. Dalam mensikapi hadits-hadits yang dzahirnya seola-olah bertentangan, menurut ilmu hadits dan ushul fiqh harus ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1.     Thariqatul jam’i, yakni menggabungkan dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Apabila langkah ini tidak bisa dilakukan baru menempuh.
2.     Nasikh dan Mansukh, apabila tidak bisa dilakukan, ditempuh.
3.     Tarjih, yakni dengan cara meneliti dan membandingkan mana dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini harus dilakukan secara cermat dan teliti serta harus memperhatikan kaidah-kaidah tarjih yang telah digariskan oleh para ulama. Kalau langkah ini sulit dilakukan karena sama-sama kuat atau masih kabur baru menempuh langkah terakhir.
4.     Tawaqquf, yaitu menghentikan kajian dalam menggali hukumnya. Namun terus berusaha sampai Allah SWT membukakan persoalan tersebut untuk diketahui (Dr. Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Hadits, hal. 58).
3. Pendapat Yang Rajih (Kuat)
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.     Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat haramnya berjabat tangan dengan bukan mahram adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. Sedangkan golongan yang mengatakan mubah adalah berdasarkan riwayat ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. Untuk mentarjihnya kita perlu memperhatikan kaidah tarjih dalam ilmu hadits yang telah dijelaskan para ulama bahwa:
Rawi yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara langsung.
Dari hadits-hadits diatas, maka hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. lebih kuat, sebab beliau melihat dan mengetahui secara langsung perbuatan Rasulullah Saw yang berjabat tangan dengan wanita bukan mahram pada saat berbai’at. Bahkan ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. sendiri berjabat tangan dengan Rasulullah Saw seperti apa yang tersirat dari hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. isinya merupakan pendapat beliau yang menggambarkan bobot keilmuan beliau. Bahwa selama beliau (‘Aisyah r.a.) bergaul dengan Rasulullah Saw, beliau tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Jadi secara tidak langsung ‘Aisyah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita bukan mahram.
2.     Memang benar ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan wanita bukan mahram. Tetapi tidak bisa langsung disimpulkan bahwa Rasulullah Saw mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab apa yang dikatakan ‘Aisyah hanya menjelaskan tentang ketiadaan perbuatan Rasul —dalam hal ini berjabat tangan— yang diketahui ‘Aisyah, dan tidak menunjukkan larangan berjabat tangan dengan bukan mahram. Perlu diketahui bahwa kehidupan Rasulullah sehari-hari tidak selamanya didampingi ‘Aisyah r.a., bahkan kehidupan Rasulullah Saw bersama ‘Aisyah r.a. lebih sedikit dibandingkan dengan kehidupan Rasulullah Saw di luar rumah (berdakwah tanpa disertai ‘Aisyah r.a.). Sehingga kalau ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram, tidak bisa langsung disimpulkan haram berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab pada keadaan lain ada yang melihat dan mengetahui (‘Ummu ‘Athiyyah r.a.) Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Oleh krena itu hadits riwayat ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat diambil serta menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.
3.     Hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:
Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. ath-Thabarani].
Atau hadits yang berbunyi:
Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.
Menurut golongan yang membolehkan berjabat tangan, menjelaskan bahwa kata massa yang artinya ‘menyentuh’ dalam hadits tersebut adalah lafadz musytarak (memiliki makna ganda) yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Selain itu pengertian ‘menyentuh’ juga sering digunakan kata lamasa yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menjelaskan menyentuh dengan tangan sering menggunakan kata lamasa. Hal ini bisa dilihat dalam firman Allah SWT:
…atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 43).
Juga firman Allah SWT:
… atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 6).
Dan kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri…” (Qs. al-An’âm [6]: 7).
Arti kata lamasa menurut bahasa Arab sendiri adalah ‘menyentuh dengan tangan’. Di dalam Kamus al-Muhith, karangan Fairuz Abadi, juz II, hal. 249, arti lamasa adalah al jassu bil yadi (menyentuh dengan tangan).
Dalam kedua ayat pertama, kalimatnya berbentuk umum untuk seluruh kaum wanita, yaitu bersentuhan dengan wanita membatalkan wudhu dan hal ini menunjukkan bahwa hukumnya terbatas pada batalnya wudhu karena menyentuh wanita (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzhâm Ijtima’i fi al-Islâm, hal. 58). Sedangkan dalam ayat ketiga memperjelas bahwa yang dimaksud menyentuh adalah memegang dengan tangan.
Didalam hadits-hadits pun terdapat kata lamasa yang artinya menyentuh dengan tangan. Diriwayatkan:
Telah berkata Ibnu ‘Abbas:
“Tatkala Ma’iz bin Malik datang kepada Nabi Saw (mengaku berzina), bersabdalah Rasulullah Saw: ‘Barangkali engkau hanya mencium atau menyentuh atau melihat saja?’ Jawab dia, ‘Tidak! Ya Rasulullah.’ Berkata (Ibnu ‘Abbas), ‘Maka sesudah itu beliau memerintahkan agar dia itu dirajam’.” [HR. al-Ismailiy]. (Lihat A. Hassan, Soal-Jawab, hal. 53 – 55).
Juga diriwayatkan:
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw melarang jual-beli dengan cara mulamasah dan munabadzah.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Jual beli secara mulamasah yaitu: Jika seorang pembeli berkata, apabila engkau menyentuh kainku dan aku menyentuh kainmu, maka terjadilah jual-beli. (Lihat kitab hadits Lu’lu wal Marjan, juz II, hal. 150).
4.     Kata massa merupakan lafadz musytarak, sehingga dalam sebuah ayat dan beberapa riwayat berarti ‘menyentuh dengan tangan’. Yakni di dalam firman Allah SWT:
Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Qs. al-Wâqi’ah [56]: 78).
Juga dalam riwayat:
“Dan dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari ayahnya, dari datuknya, bahwa Nabi Saw pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman, yang (di dalamnya): ‘Tidak boleh menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci’.” [HR. al-Atsram dan ad-Daraquthni]. Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa.
Tetapi, hadits-hadits yang diggunakan sebagai dalil oleh golongan yang mengharamkan ‘menyentuh wanita’ menggunakan kata massa yang lebih tepat diartikan ‘bersetubuh’ bukan ‘menyentuh dengan tangan’. Kata-kata massa dengan arti ‘bersetubuh’ lebih banyak ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya firman Allah SWT:
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka…” (Qs. al-Baqarah [2]: 236).
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu sentuh (setubuh) mereka, padahal…” (Qs. al-Baqarah [2]: 237).
Juga firmanNya:
Maryam berkata: ‘Bagaimana aku bisa mempunyai anak laki-laki sedangkan tidak pernah seorang manusiapun yang menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina’.” (Qs. Maryam [19]: 20).
…kemudian kamu ceraikan mereka sebelum sentuh (setubuh) mereka…” (Qs. al-Ahzab [33]: 49).
Dan masih banyak ayat lain yang menggunakan kata massa untuk makna ‘bersetubuh’ bukan arti menyentuh secara bahasa.
Juga di dalam beberapa hadits menunjukkan bahwa kata massa memiliki arti ‘bersetubuh’. Rasulullah Saw bersabda:
Apabila kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka wajiblah mandi.” [HR. Muslim].
5.     Walaupun kata massa dapat diartikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan mahram, ini lebih tepat jika diartikan dengan ‘bersetubuh’. Sebab jika di artikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ maka pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan ‘Ummu ‘Athiyyah r.a. dimana tangan Rasulullah Saw yang mulia telah menyentuh (berjabat tangan) dengan wanita yang bukan mahram. Juga riwayat lain yang menjelaskan dimana Rasulullah Saw pernah memegang tangan wanita seperti diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita.’ Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar)’.” [HR. Abu Dawud].
Selain itu Rasulullah Saw pernah berjabat tangan di dalam air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah juga Rasulullah Saw berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah menyuruh Umar bin Khaththab r.a untuk mewakili beliau dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan berjabat tangan. Kalau memang berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan, tentunya Rasulullah Saw tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulullah Saw memerintahkan Umar bin Khaththab r.a. melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan wanita yang bukan mahram, sebab hal tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya.
Juga kalau memang berjabat tangan (bersentuhan) anatar lawan jenis yang bukan mahram itu diharamkan, tentunya Daulah Khilafah Islamiyyah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau keadaan yang sangat memungkinkan terjadi persentuhan. Bahkan Daulah akan memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan bahkan Daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji pria dan wanita, juga antara pria dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya bersentuhannya pria dan wanita yang bukan mahram.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa dimaksud dengan kata ‘menyentuh’ pada hadits-hadits yang digunakan oleh pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita bukan mahram adalah ‘bersetubuh’ bukan menyentuh secara bahasa (berjabat tangan).
6.     Pendapat yang mengharamkan berjabat tangan antara pria dan wanita bukan mahram juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i].
Hadits di atas serta hadits-hadits lain yang serupa sering dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram.
Pendapat ini adalah lemah, karena ada sebuah kaidah ushul fiqh yang mengatakan:
Inna ‘adam fi’l al-rasûl lisyain laisa dalîl syar’iyan (Sebenarnya perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw bukanlah dalil syara’).
Sedangkan yang bisa dijadikan dalil syara’ adalah perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Oleh karena itu, perkataan Rasulullah Saw, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” Tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan (mushafahah). Akan tetapi, hadits itu harus dipahami bahwa Rasulullah Saw ada kalanya menjauhi dan tidak pernah mengerjakan sama sekali perbuatan-perbuatan yang berhukum mubah. Misalnya, Rasulullah Saw selalu menjauhi dan tidak pernah menyimpan dirham dan dinar di rumahnya. Rasulullah Saw juga menjauhi untuk memakan daging biawak. Padahal, perbuatan-perbuatan semacam ini bukanlah perbuatan yang dilarang bagi kaum muslim. Artinya, meskipun Rasulullah Saw tidak pernah mengerjakan perbuatan tersebut, akan tetapi beliau Saw tidak melarang umatnya untuk melakukan perbuatan tersebut.
Demikian juga dengan kasus mushafahah. Meskipun Rasulullah Saw tidak pernah melakukan mushafahah, bukan berarti mushafahah itu dilarang bagi kaum muslim. Sebagaimana bahwa menyimpan dirham dan dinar bukanlah perkara terlarang, meskipun Rasulullah Saw tidak pernah mengerjakannya. Walhasil, apa yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw tidak mesti dipahami bahwa perbuatan itu berhukum haram.
7.     Adapun kritik yang dikemukakan oleh Ibnu al-‘Arabi terhadap keshahihan riwayat-riwayat ‘Umar bin Khaththab bisa ditangkis dari kenyataan bahwa hadits-hadits yang bertutur tentang mushafahahnya ‘Umar bin Khaththab dicantumkan di dalam kitab Fâth al-Bârî karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 8, hal. 636, dan beliau tidak berkomentar terhadap riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa Ibnu Hajar telah mengakui keshahihan riwayat ini. Al-Hafidz sendiri adalah seorang muhadits yang sangat termasyhur dan kitabnya Fâth al-Bârî, diakui sebagai kitab syarah terbaik dan karya ilmiah yang dijadikan rujukan para ‘ulama fiqh dan hadits. Atas dasar itu, riwayat-riwayat yang menuturkan mushafahahnya Umar bin Khaththab dengan kaum wanita bisa digunakan hujjah secara pasti.
8.     Kelompok yang mengharamkan berjabat tangan mengatakan bahwa riwayat Ummu ‘Athiyah ini adalah mursal, yang berarti dha’if. Hal ini telah dijelaskan oleh Imam an-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, jld. 1, hal. 30) dan juga al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (Fâth al-Bârî, jld. 8, hal. 636). Ibnu Hajar mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh ‘Aisyah adalah merupakan hujjah (bantahan) terhadap apa-apa yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah mengenai Rasulullah memanjangkan tangannya untuk berjabat tangan dengan para wanita.
Memang sebagian ulama memasukkan hadits mursal ke dalam hadits yang mardud (tertolak). Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’i dan beberapa ulama lainnya. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Malik menjadikan hadits mursal sebagai hujjah.
Hadits Ummu ‘Athiyyah adalah hadits marfu’ (sambung) hingga Nabi Saw. Perawi hadits tersebut adalah Musaddad, yang menurut Imam Ibnu Hanbal ia adalah shaduq (orang yang sangat terpercaya). Menurut Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat tsiqat (lebih dari sekedar terpercaya).
Perawi berikutnya adalah Abdu al-Wârits. Menurut an-Nasâ’i ia adalah tsiqat (terpercaya); menurut Abu Zur’ah ar-Razi, ia adalah tsiqat. Menurut Abu Hatim ar-Razi ia adalah shaduq.
Sedangkan Ayyub, nama lengkapnya adalah Ayyub bin Tamimah Kisâniy, seorang tabi’in kecil (al-shughra min at-tâbi’în). Menurut an-Nasâ’i dan Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat (terpercaya).
Perawi selanjutnya adalah Hafshah binti Sîrîn, namanya kunyahnya adalah Ummu Hudzail. Seorang tabi’in tengah (al-wasthiy min at-tâbi’în). Ibnu Hibban mencantumkannya di dalam al-Tsiqat. Menurut Yahya bin Mu’în ia adalah tsiqat hujjah (terpercaya yang menjadi hujjah). Ia adalah salah seorang murid dan perawi dari Ummu ‘Athiyyah (shahabiyyah).
Sedangkan, Ummu ‘Athiyyah adalah seorang shahabat wanita.
8.1. Berhujjah Dengan Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’iy namun tidak menyebutkan shahabatnya. Dengan kata lain, hadits mursal adalah perkataan seorang tabi’iy (baik tabi’iy besar maupun kecil), maupun perkataan shahabat kecil yang menuturkan apa yang dikatakan atau dikerjakan oleh Rasulullah Saw tanpa menerangkan dari shahabat mana berita tersebut didapatkannya. Misalnya, seorang tabi’iy atau shahabat kecil berkata, “Rasulullah Saw bersabda demikian…”, atau “Rasulullah Saw mengerjakan demikian”, atau “Seorang shahabat mengerjakan di hadapan Rasulullah Saw begini…
Sebagian ‘ulama menjadikan hadits mursal sebagai hujjah. Ulama yang berpendapat bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad. Sedangkan Imam Syafi’i dan ulama-ulama yang lain menolak berhujjah dengan hadits mursal. Akan tetapi, Imam Syafi’i tidak menolak secara muthlak hadits mursal. Imam Syafi’i berpendapat, bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah asalkan memenuhi syarat: (1) hadits mursal dari Ibnu al-Musayyab. Sebab, pada umumnya ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari Abu Hurairah ra. (2) Hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits musnad, baik dha’if maupun shahih. (3) Hadits mursal yang dikuatkan oleh qiyas; (4) hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits mursal yang lain (Manhaj Dzawi an-Nadzar, hal. 48-53; Nudzat an-Nadzar, hal. 27). Jika kita mengikuti pendapat Imam Syafi’i ini, maka hadits Ummu ‘Athiyyah layak digunakan sebagai hujjah, sebab banyak hadits-hadits shahih yang senada dengan hadits Ummu ‘Athiyyah.
Kami menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits mursal bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, perawi yang dihilangkan adalah para shahabat yang seluruh ulama telah sepakat bahwa seluruh shahabat adalah adil. Benar, status hadits yang perawinya tidak diketahui, maka ketsiqahannya tidak diketahui alias majhul. Padahal, riwayat yang bisa digunakan hujjah adalah riwayat yang perawinya tsiqah dan yakin, alias tidak majhul. Tidak ada hujjah bagi perawi yang majhul. Ini adalah alasan mereka yang menolak hadits mursal sebagai hujjah.
Sesungguhnya, bila diteliti secara mendalam, maka alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang yang menolak berhujjah dengan hadits mursal adalah lemah. Sebab, perawi yang dibuang (majhul) adalah shahabat. Meskipun jatidiri shahabat tersebut tidak diketahui, akan tetapi selama orang tersebut diketahui dan dikenal sebagai seorang shahabat maka haditsnya bisa diterima dipakai sebagai hujjah. Kita semua telah memahami, bahwa seluruh shahabat adalah adil. Oleh karena itu, ‘illat yang digunakan untuk menolak hadits mursal, sesungguhnya tidak ada di dalam hadits mursal. Sebab, ketidakjelasan jati diri shahabat tidak menafikan keadilan dan ketsiqahannya. Ini menunjukkan, bahwa hadits mursal tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Dihilangkannya seorang shahabat dari rangkaian sanad tidaklah menurunkan derajat hadits tersebut, selama diketahui bahwa ia adalah shahabat. Sebab, seluruh shahabat adalah adil, dan tidak perlu lagi diteliti ketsiqahannya.
Seandainya kita mengikuti komentar al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam an-Nawawi, mengenai kemursalan hadits Ummu ‘Athiyyah, hadits itu tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, pendapat terkuat menyatakan, bahwa hadits mursal memang absah digunakan sebagai hujjah. Selain itu, banyak riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah Saw dan ‘Umar bin Khaththab pernah berjabat tangan dengan wanita (Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an; Qs. al-Mumtahanah [60]: 12).
4. Khatimah
Dari tarjih kedua pendapat diatas menunjukkan bahwa pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram adalah lemah jika dibandingkan dengan pendapat yang membolehkannya. Karena hukumnya mubah maka dibolehkan bagi kaum muslimin untuk berjabat tangan dengan bukan mahram baik secara langsung ataupun dengan pembatas, juga dibolehkan untuk tidak berjabat tangan.
Pendapat yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Karena itu para ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mengingatkan karena antara syahwat dan tidak itu sangat samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat berjabat tangan. Terutama sekali kalau yang berjabat tangan adalah pria dan wanita muda yang sebaya, sebab sangat mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak khawatir timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan mahram. Misalnya dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.
Golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram, bukanlah karena mereka senang berjabat tangan dengan bukan mahram. Tetapi karena mereka tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah SWT telah membolehkannya lewat perbuatan RasulNya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT. Sebab Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram.” [HR. as-Sihab].
Perlu diingat bahwa sesuatu yang mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan.
Bagi mereka yang mengikuti pendapat yang mengharamkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka haramlah hukumnya bagi mereka untuk berjabat tangan dan atau menyentuh dengan tangannya siapapun yang bukan mahramnya, baik bukan mahramnya tersebut anak kecil, remaja, dewasa ataupun orang yang sudah tua sekalipun. Sebab mereka semua adalah bukan mahram, yang haram untuk berjabat tangan dan bersentuhan dengannya. Sedangkan bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah SWT akan meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti. Walaupun berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak boleh hanya karena perbedaan pendapat yang masih dibolehkan tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka. Yang jelas kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri adanya perasaan suka atau tidak suku. Wallahu a’lam bi ash-showab. [] dikutip dari berbagai sumber, 2016