Pendidikan merupakan sebuah proses pemberdayaan manusia untuk membangun suatu peradaban yang bermuara pada wujudnya suatu tatanan masyarakat yang sejahtera lahir dan bathin. Allah SWT sebagai Pencipta memberdayakan adam (manusia pertama) dengan proses pendidikan. Islam sendiri memulai proses membangun kembali peradaban manusia yang telah porak poranda (kala itu) dengan mengibarkan panji-panji wahyu pertamanya yang sarat akan nilai-nilai pendidikan. Sistem dan metode yang amat menentukan kualitas hidup manusia secara utuh (ruhiyah, jasadiyah dan aqliyah) dalam segala bidang adalah pendidikan. Akibatnya dalam sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, amat sulit ditemukan kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai sarana pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Bahkan pendidikan juga dijadikan sarana penerapan suatu pandangan hidup. Pepatah Arab bahkan menegaskan: adabul mar’i khoirun min dzahabihi (pendidikan lebih berharga bagi manusia ketimbang emasnya).
Pendidikan memikul beban amanah yang sangat berat, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba, yang siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya yakni “kholifah fil ardl”. Oleh karena itu pendidikan berarti merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai: makhluq yang: beriman, berfikir, dan berkarya untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya. Membangun sekolah berkualitas berarti menyelenggarakan proses pendidikan yang membentuk kepribadian peserta didik agar sesuai dengan fitrahnya.
Memberdayakan potensi fitrah manusia haruslah berkesesuaian dengan nilai-nilai yang mendasari fitrah itu sendiri, yakni nilai-nilai robbani yang bersumber kepada Rob yang menciptakan manusia itu sendiri, sebagai zat yang maha mengetahui akan segala sifat dan tabiat manusia. Dengan mengacu pada nilai-nilai tersebut, maka dengan sendirinya proses pendidikan niscaya akan memperhatikan azas-azas fisiologis, psikologis dan paedagogis yang melekat erat sebagai sunnatulkaun pada pertumbuhan dan perkmbangan manusia, juga memperhatikan situasi dan kondisi zaman di mana peserta didik menjalankan kehidupannya kelak.
Membangun suatu institusi pendidikan berarti mengambil peran dan tanggung jawab yang besar terhadap proses pembentukan kepribadian anak, karena di lembaga pendidikan itulah anak akan mendapatkan sebagian besar faktor-faktor penentu bentukan kepribadiannya, terutama dalam domain kognitif, afektif dan psikomotorik, yang sering pula diterjemahkan menjadi pengetahuan, sikap dan perilaku. Kepribadian yang baik akan tumbuh pada anak manakala seluruh faktor eksternal yang mempengaruhi proses pembentukannya dapat berinteraksi dengan sistem fisiopsikologis peserta didik secara sehat, proporsional dan memunculkan pengalaman belajar yang menyenangkan serta membangkitkan motivasi.
Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba (QS AsSyams:8, Adz Dzariyat: 56), yang siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah di muka bumi (QS 2:30/ 33: 72 ) Oleh karena itu pendidikan berarti merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertaqwa, berfikir, dan berkarya, sehat, kuat dan berketerampilan tinggi untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya.
Allah telah membekali manusia dengan kemampuan untuk belajar dan mengetahui, sebagaimana firman Allah;
“Bacalah dengan menyebut nama Rabbmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah yang paling pemurah. Yang mengajakan manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya".(QS Al ‘Alaq 1-5)
Allah juga telah menganugerahi manusia berbagai sarana untuk belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati, sebagaimana firman Allah … “ dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (An-Nahl : 78)
Al Maududi, mengatakan; “Pendengaran merupakan pemeliharaan pengetahuan yang diperoleh dari orang lain. Penglihatan merupakan pengembangan pengetahuan dengan hasil observasi dan penelitian yang berkaitan dengannya. Hati merupakan sarana membersihkan ilmu pengetahuan dari kotoran dan noda sehingga lahirlah ilmu pengetahuan yang murni. Jika ketiga pengetahuan itu dipadukan, maka terciptalah ilmu pengetahuan yang sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada manusia yang hanya dengan pengetahuan itulah manusia mampu mengatasi dan menundukkan makhluk lain agar tunduk pada kehendaknya”.
Sarana lain yang dimiliki manusia adalah bahasa, kemampuan untuk mengeluarkan gagasan dan kemampuan untuk menulis. Keberadaan sarana pendidikan tersebut, Allah tegaskan dalam firmannya:
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan bibir?” (Al-Balad 8-9)
“Allah yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Alquran. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara.” (Ar-rahman : 1-4)
“Nun, demi qalam(pena) dan apa yang mereka tulis”. (Al-Qalam)
Melalui berfikir dan belajar, diharapkan, manusia mampu mempelajari dan memahami ayat-ayat Allah, baik ayat qauliyah maupun ayat kauniyah. Mempelajari ayat qauliyah berarti memahami syariat-syariat Allah, sebagaimana dalam firmannya;
“Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Alquran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta menyucikan mereka. Seungguhnya, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha bijaksana. (Al-Baqarah : 129)
Demikian pula mempelajari ayat-ayat kauniyah, berarti memahami ciptaan Allah yang terhampar di alam semesta. Sebagaimana firman Allah;
“Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan”. (Adz-Dzariyat : 21)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : “Ya Rabb kami, tiadalah, Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”( Surat Ali Imon: 190 –191)
Allah telah menciptkan pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai sarana untuk merenung, tafakur, berfikir jernih, serta meneliti alam semesta. Kemudian dengan akal dan hati, manusia mengolah alam ini untuk dijadikan sesuatu yang bermanfaat begi kehidupan.
Kita dididik secara ilmiyah melalui berfikir, observasi, diskusi, hingga penyimpulan. Sampai akhirnya kita dapat meraih ilmu pegetahuan dan menghasilkan sesuatu. Atas pendengaran, penglihatan, hati dan seluruh anggota tubuh yang diberikan Allah, manusia bertanggung jawab untuk memanfaatkan semuanya dalam jalan kebaikan. Allah berfirman;
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban. (Al-Isra : 36)
Rasa tanggung jawab itu akan terpelihara di dalam diri manusia yang sadar, selalu ingat, adil, jauh dari penyelewengan, tidak tunduk pada hawa nafsu, jauh dari kedzaliman dan kesesatan serta istiqomah dalam segala prilaku. Rasulullah saw mengatakan bahwa manusia itu bertanggung jawab atas harta, umur dan kemudaannya lewat sabdanya;
“Tidaklah beranjak kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum diminta pertanggungjawaban empat hal ini: tentang usia untuk apa dihabiskan usia itu; tentang ilmu pengetahuan, diamalkan untuk apa ilmunya itu; tentang harta, diperoleh dari mana dan dibelanjakan untuk apa hartanya itu; dan tentang tubuhnya, dilusuhkan untuk apa tubuhnya.” (HR. Tirmidzi)
Seluruh tugas manusia dalam hidup ini, berakumulasi pada tanggung jawabnya untuk beribadah dan mengesakan Allah, sebagaimana Allah berfirman;
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. “ ( Adzariat ayat 56)
Melalui penciptaan alam semesta, Al-Quran telah memberikan arahan pendidikan bagi manusia dengan dua prinsip ilmiyah yang melengkapi aspek pasivisme, finalitas dan logika. Dua prinsip itu adalah :
Pertama, berulangnya berbagai kejadian semesta melalui sunnah yang ditetapkan Allah. Dia yang Maha Agung dan Maha tinggi berkuasa mengubah itu jika Dia menghendaki. Prinsip itu merupakan landasan dalam berfikir ilmiyah, dimana dengan landasan itu pula menusia bereksploitasi dan berkreasi dalam segala penomena peradaban. Allah berfirman ;
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Rabbmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah terangkan dengan jelas.”(Al Isra: 12)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : “Ya Rabb kami, tiadalah, Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”( Surat Ali Imon: 190 –191
Kedua, sesungguhnya sunnah-sunnah semesta dengan segala kejadian, fenomena, dan wujudnya, mulai dari yang berupa atom hingga yang terbesar, merupakan ciptaan Allah yang diturunkan sesuai dengan kadanya, tidak lebih dan tidak kurang. Prinsip inilah yang menunjukkan logika yang ilmiyah, yaitu melakukan observasi ilmiyah berdasarkan analogi kuantitatif, bukan berdasarkan deskripsi kualitatif. Hal ini seperti dalam firman Allah;
“Dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan kami telah menciptakan pula mahkluq-makhluq yang kamu sekali-sekali bukan pemberi rizki kepadanya. Dan tidak ada sesuatupun melalinkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Dan Kami tidak menurukannya melaikan dengan ukuran tertentu. (Al Hijr : 19 – 21)
Pemaparan Alquran tentang manusia dan alam semesta di atas, semakin mengokohkan akan urgensi pendidikan yang integral bagi manusia. Pendidikan yang mampu mengoptimalkan semua potensi manusia sehingga mampu menjalankan misinya untuk meraih sukses dunia dan akhirat. Selanjutnya Alquran mengarahkan manusia untuk menata kehidupannya dengan pendidikan yang baik. Allah membimbing menausia untuk senantiasa berdo’a memohon ditambahkan ilmu pengetahuan. Hal agar manusi selalu ingat bahwa yang memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan hanyalah llah swt. “Dan katakanlah: Ya Rabbku tambahkan bagiku ilmu pengetahuan. “(Surat Toha : 114) Allah juga mendorong menusia untuk terus meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dengan perintah belajar dan mengajar, seperti dalam firmaNya, “Tidaklah sepantasnya orang-orang mukmin itu berangkat semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama, dan supaya mereka memberikan peringatan kepada kaumnya apabila telah kembali kepada mereka. Mudah-mudahan mereka dapat menjaga diri. “(Surat At-taubah : 122)
Pendidikan sangat berperan dalam estafeta generasi menuju genarasi yang lebih baik. Hal ini Allah pesankan kepada umat manusia untuk memperhatikan generasi dengan mendidik mereka mel;alui pendidikan yang lebih baik dari sebelumnya. Allah berfirman; “ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan anak-anak yang lemah-lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahtraan) mereka, maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. “(Surat An-Nisa : 9)
Islam sangat menekankan pentingnya menuntut ilmu. Hanya dengan ilmu, kita akan dapat meraih kejayaan dan derajat: ”Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS AlMujadilah: 11). RasuluLlah SAW telah memberi khabar kepada kita bagaimana penting dan mulianya orang-orang yang menimba ilmu pengetahuan:
• Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan maka Allah menjadikannya ia pandai mengenai agama dan ia ilhami petunjuk-Nya. (HR. Muttafaq alaih)Sesungguhnya hikmah (ilmu) itu menambah orang yang mulia akan kemuliaan dan mengangkat hamba sahaya sehingga ia mencapai capaian raja-raja. (HR. Abu Nuaim)
• Seutama-utama manusia adalah orang mu’min yang ‘alim yang jika ia dibutuhkan maka ia berguna, dan jika ia tidak dibutuhkan maka ia mencukupkan dirinya
• Barangsiapa yang berjalan disuatu jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HRMuslim)
• Barangsiapa yang berjalan disuatu jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. Dan para Malaikat selalu meletakkan sayapnya menaungi para pelajar karena senang dengan perbuatan mereka. Dan seorang alim dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi dan ikan-ikan di dalam air. Kelebihan seorang alim atas orang ahli ibadat bagaikan kelebihan sinar bulan atas lain-lain bintang. Dan sesungguhnya ulama (guru-guru) sebagai pewaris dari nabi-nabi. Sesungguhnya Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham hanya mereka mewariskan llmu agama, maka siapa yang telah mendapatkannya berarti telah mengambil bagiannya yang besar.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
• Demi Allah, kalau Allah memberi hidayat kepada seseorang karena ajaranmu, maka yang demikian itu bagimu lebih baik dari kekayaan binatang ternak yang merah-merah.” (HR. Bukhari Muslim)
• Sesungguhnya Allah tidak mengutus diriku sebagai orang yang menyusahkan, tidak pula sebagai orang yang keras kepala, tetapi Dia mengutus diriku sebagai pendidik yang memudahkan. (HR. Ahmad dan Nasai)
• “Sesungguhnya Allah, para Malaikat, para penghuni langit dan bumi sampai semut yang ada di dalam lubangnya dan ikan-ikan yang ada dalam air selalu menyampaikan shalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan terhadap manusia (HR. Tirmidzi)