Kamis, 20 Agustus 2015

Jalan Kemuliaan

Ruang politik dan fiskal amat sempit, padahal harapan/ekpektasi masya-rakat sangat tinggi.”
Itulah ironi pemerintahan Jokowi-JK yang disampaikan mantan Menteri Keuangan Bambang Soedibyo awal Januari lalu.
Ungkapan ini tidak mengherankan. Kondisi Indonesia masih cukup memprihatinkan. Sekadar contoh, indeks pembangunan manusia Indonesia sebesar 0,684 atau urutan ke 108 dari 187 negara. Belum lagi berbicara indeks kesenjangan sosial.  “Pada tahun 2013, indeks tersebut adalah 0.413%,” tambah Bambang.  Ini berarti 1% orang terkaya menguasai 41.3% kekayaan negara ini.  Dengan kata lain, lebih dari 82% kekayaan negara ini hanya dikuasai oleh 2% orang terkaya.  “Zona merah, kesenjangan tinggi!” tegasnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin memandang lebih jauh.  “Indonesia kini sedang dikepung oleh liberalisasi,” ungkapnya.  “Indonesia kini sedang menerapkan demokrasi liberal secara paripurna di bidang politik. Liberalisasi di bidang ekonomi berupa penerapan Kapitalisme baik di kota maupun di desa. Liberalisasi pun dilakukan di bidang budaya sehingga terjadi perubahan landscape  (tata ruang) budaya kaum Muslimin,” tambahnya.
Apa akibatnya?  “Indonesia mengalami 3 kerobohan.  Robohnya surau dan langgar kita sebagai indikasi robohnya lembaga pendidikan keislaman di masyarakat. Robohnya kedai kita sehingga the power of money ada di tangan kelompok lain, bukan umat Islam. Robohnya keluarga kita yang ditandai dengan robohnya peran usrah dan ibu,” tegas Pak Din.
Dalam konteks demokrasi liberal, rakyat disuruh bertarung bebas.  Ibaratnya, kalau dalam tinju, kelas bulu bertarung melawan kelas berat pun dibiarkan. Keberpihakan kepada rakyat hanya slogan. Di sisi lain, prinsip Kapitalisme pasti menghasilkan kesenjangan.  Bukan kapitalisme bila tidak berujung pada kesenjangan.  Jadi, neoliberal telah membawa negeri Muslim terbesar ini ke jurang kehancuran. 
Sepandai-pandai tupai melompat, sekali-kali jatuh juga. Begitu peribahasa mengatakan. Kasus pencalonan Kombes Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) oleh Presiden Jokowi salah satu buktinya. Selama ini opini pro rakyat, antikorupsi dan transparan terus dicitrakan.  Namun, kasus calon Kapolri yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membalik opini itu.  “Ah, itu mah sekadar pencitraan,” ujar seorang kawan kepada saya.  “Masa sebagian menteri tidak dipilih dengan alasan ada catatan merah dari KPK, sementara orang lain yang juga distabilo merah tetap diangkat sebagai menteri.  Apalagi, berkaitan dengan kasus calon Kapolri ini.  Tidak konsisten!  Keberpihakan kepada rakyat hanya basa basi,” ungkapnya kesal.
Tidak aneh pula bila banyak pihak mempertanyakan hal ini. Bahkan Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia, Rokhmat S. Labib, mengungkapkan, “Penampilan pro rakyat, tapi mencekik rakyat! Untuk apa mengenakan baju murah, sepatu murah dan jam tangan murah kalau kebijakannya menyengsarakan rakyat.” 
Lalu di mana umat Islam?  Ketua MUI, Anwar Abbas, menyampaikan isi hatinya kepada saya.  “Pak Rahmat, beda dengan zaman SBY. Sekarang tampaknya teman-teman dari Nasrani sudah berhasil menguasai Istana. Andi Wijayanto sebagai Sekretaris Kabinet dan Luhut Panjaitan sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Peran umat tampaknya akan termarjinalkan.  Sebuah tantangan yang cukup berat bagi umat,” tuturnya penuh keprihatinan. 
Saya mengatakan kepada beliau, “Pak Anwar, tampaknya sekarang umat Islam di Indonesia seperti pada masa pemerintahan rezim Soeharto era LB Moerdani berkuasa.  Bedanya, pemerintahan saat ini divisualisasikan merakyat, padahal banyak memalak rakyat.  Ulama dan tokoh umat Islam perlu teriak tentang hal ini.”
Bukan sekadar secara politik.   Dalam media pun demikian.  Prof. Bachtiar Ali menyampaikan, “Umat dan partai Islam saat ini dimarjinalkan.  Ada setting dari media besar untuk memarjinalkan umat. Penentunya hanya segelintir elit media.”
Pandangan serupa disampaikan oleh KH Ma’ruf Amin.  Tokoh NU ini melihat peran umat Islam melemah.  “Peran umat Islam dalam politik melemah, bahkan hampir mati, atau sudah mati,” ujarnya. Beliau segera menambahkan, “Umat Islam saat ini katsîrun fi jumlah, qalîlun fi dawrah.  Banyak dalam jumlah, sedikit dalam peran.” 
Peran yang dimaksud adalah iqâmatul mashâlih wa izâlatul mafâsid (menegakkan kebaikan dan menghilangkan kerusakan). Ini dilakukan berkaitan dengan segala aspek baik bidang politik, sosial, maupun ekonomi.  “Itulah peran amar makruf nahi mungkar. Bila mampu memerankan amar makruf nahi mungkar, maka umat Islam akan menjadi khayru ummah,” tandas Kiyai Ma’ruf. 
Namun, kehendak untuk menjadikan Islam sebagai landasan rupanya harus berbenturan dengan sikap pragmatisme.  Sungguh sikap pesimis ini ada pada sebagian tokoh.  Sekadar contoh, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berasal dari partai berbasis masa Islam, Zulkifli Hasan mengatakan, “Dalam pemilihan kepala daerah, bila basis Islam yang dikedepankan, pasti kalah.  Begitu juga dalam pemilihan presiden.”  Seakan-akan, kekalahan itu karena mengangkat Islam.  Seolah-olah ia hendak mengatakan kalau yang dikedepankan Islam maka umat Islam kalah. 
Berkaitan dengan hal ini, saya pernah menyampaikan dalam suatu forum di MPR, “Kita tidak perlu ragu dan malu-malu untuk secara lantang menyuarakan perundang-undangan yang berasal dari Islam. Kita hanya mengambil UU dari Islam. Ulama sudah semestinya tegas dalam menyatakan kebenaran Islam.”  
Berkaitan dengan hal ini ada sebuah hadis Rasulullah saw. yang penting dicamkan, “Akan datang suatu masa yang menimpa manusia, tidak ada Islam kecuali tinggal namanya saja.  Tidak ada al-Quran kecuali tinggal tulisannya saja.  Masjid-masjid mewah tetapi kosong dari petunjuk serta ulama nya adalah orang yang paling jahat yang berada di bawah langit.” (HR Imam Baihaqi).
Hal ini akan terjadi jika umat Islam tidak berpegang teguh pada agamanya.  Padahal kemuliaan itu hanya milik Allah SWT, Rasulullah, dan kaum Mukmin.  Artinya, siapa pun yang ingin mulai harus berpegang pada hukum Allah, mengikuti jalan hidup Rasul, dan benar-benar menjadi Mukmin. 
Tepat apa yang disampaikan oleh Umar bin Khaththab ra. saat berkata, “Kita adalah suatu kaum yang kemuliaan kita dijadikan Allah ada dalam agama Islam. Bagaimanapun kita mencari kemuliaan selain darinya maka Allah akan menghinakan kita.”
Jadi, rugilah orang yang hendak meraih kemuliaan, tetapi jalan yang ditempuh bukan jalan Islam.WalLahu a’lam[Muhammad Rahmat Kurnia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar