Minggu, 20 Desember 2015

Merai Bahagia

Siapa yang tidak menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat, kita semua tentu menginginkannya. Hanya yang perlu untuk kita pertanyakan bagaimana cara untuk meraih keduanya. Sementara, kita yakini bersama bahwa Islam adalah agama yang ajarannya universal (menyeluruh). Islam satu-satunya agama yang mendapatkan legitimasi (pengakuan) dari Sang Pemiliknya Jalla Sya’nuhu.
Islam adalah agama yang rahmatan lil alamiin. Tidak didapatkan satu ajaranpun dalam Islam yang merugikan para pemeluknya, tidak ditemukan satu prinsip pun dalam Islam yang mencelakakan para penganutnya. Tetapi pada kenyataannya banyak kalangan yang hanya menitikberatkan perhatiannya pada dunia dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.
Padahal Allah telah mengingatkan kita dengan firman-Nya, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridloannya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS Al Hadid: 20).

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka telah usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Huud: 15-16).

Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah sebaik-baik petunjuk. Siapa yang mengambilnya ia akan bahagia dan yang meninggalkannya akan celaka. Allah berfirman, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS An Nuur: 63).

Terbukti generasi yang bersamanya, yakni generasi para sahabat meraih gelar terbaik umat ini, karena mereka mengambil petunjuknya. Itulah mereka para sahabat yang telah berhasil meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Bagaimana tidak, sedang mereka mendapatkan bimbingan tauhid selama kurang lebih 13 tahun hingga akhirnya mereka memiliki landasan yang kokoh dalam kehidupannya.
Oleh karena itu, tauhid itulah sebagai landasan yang menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan yang sebenarnya. Sebab mentauhidkan Allah adalah tujuan diciptakannya manusia. Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz Dzariyaat: 56). Ibnu Katsir berkata: makna “ya’buduun” dalam ayat ini adalah “yuwahhiduun” (mentauhidkan Allah). Al Imam Al Baghowi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa Ibnu Abbas RA mengatakan: “Setiap perintah beribadah dalam Al Qur’an maka maknanya adalah tauhid.”
Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, bagaimana tidak dikatakan bahwa tauhid sebagai landasan yang akan menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, sedangkan Allah meridloi ahli tauhid. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya Allah meridloi kalian tiga perkara: kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan jangan bercerai berai, dan memberikan nasihat kepada orang yang Allah jadikan pemimpin atas urusan-urusan kalian.” (HR Muslim dari Abu Hurairoh).
Itulah tauhid, tauhid adalah sebagai jalan untuk mendapatkan dua kebahagiaan tersebut, sebab dengan menegakkan tauhid berarti menegakkan keadilan yang paling adil. Sementara tujuan Allah mengutus rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya adalah supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Allah berfirman, “Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyatam dan telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS Al Hadiid: 25).

Tauhid sebagai landasan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat karena keamanan serta petunjuk di dunia dan akhirat hanya akan dicapai oleh para ahli tauhid. Allah berfirman, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al An’aam: 82). Berkata Ibnu Katsir pada ayat ini: “Yaitu mereka yang memurnikan ibadahnya untuk Allah saja dan tidak berbuat kesyirikan dengan sesuatu apapun, mereka mendapatkan keamanan pada hari kiamat dan petunjuk di dunia dan akhirat.”
Jadi memang tauhidlah yang akan menghantarkan kepada kebahagiaan yang hakiki. Karena khilafah di muka bumi serta kehidupan yang damai, aman, dan sentosa berbangsa dan benegara hanya akan diraih melalui tauhid. Allah berfirman, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang sholih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi.
Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridloinya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, semula mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS An Nuur: 55).

Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, ahli tauhid mereka orang-orang yang akan mendapatkan jaminan surga dari Allah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Barangsiapa yang bertemu Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, ia akan masuk surga. Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Nya dalam keadaan menyekutukan-Nya, ia akan masuk neraka.” (HR Muslim dari Jabir bin Abdillah). Ahli tauhid mereka orang-orang yang akan berbahagia dengan syafa’atnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Abu Hurairoh bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’atmu?” Beliau menjawab, “Orang yang mengatakan ‘laa ilaaha illallah’ ikhlas dari lubuk hatinya.” (HR Bukhori dari Abi Hurairoh).

Ahli tauhid mereka orang-orang yang terjaga dan terpelihara darah dan hartanya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, menegakkan sholat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukannya, mereka terjaga dariku darahnya dan hartanya kecuali dengan hak-hak Islam, dan perhitungannya atas Allah.” (HR Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar).

Demikianlah para pembaca -kaum muslimin- tauhid adalah rahasia kebahagiaan dunia dan akhirat, karena yang pertama kali diwajibkan atas seorang hamba adalah tauhid. Allah berfirman, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Ilah yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS Al Anbiyaa: 25).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata kepada sahabat Muadz bin Jabal radhiallahu `anhu ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari Ahli Kitab. Jika Engkau mendatanginya maka serukanlah kepada mereka supaya mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah -yang berhak untuk diibadahi- kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah…” (HR Bukhori Muslim dari Ibnu Abbas radhiallahu `anhu).

Imam Al Hafizh Al Hakami mengatakan, “Kewajiban pertama atas hamba, mengenal Ar Rahmaan (Allah) dengan tauhid.” Dan tauhid juga yang menjadi kewajiban terakhir atas seorang hamba, ketika menjelang kematiannya Abu Tholib, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam datang menemuinya dan berkata, “Wahai paman, ucapkanlah ‘laa ilaaha illallah’, kalimat yang menjadi hujjah untukmu di sisi Allah…” (HR Bukhori Muslim dari Sa’id ibnul Musayyab dari bapaknya (Musayyab)).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda, “Barangsiapa yang akhir ucapannya ‘laa ilaaha illallah’, ia akan masuk surga.” Semoga Allah memberikan taufiq kepada yang dicintai dan diridloinya. Amin ya Mujibas sailiin.
(Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Hamzah)
Copy Righ By Hafit Bokko, S.Pd

Tujuh Kebahagian Abadi

TUJUH KEBAHAGIAAN ABADI, 7 indikator kebahagiaan di dunia yg perlu direnungkan dan di amalkan sehari2 :

1). QOLBUN SYAKIRUN, atau hati yg selalu bersyukur, *Artinya selalu menerima apa adanya (qona'ah), sehingga tidak ada ambisi yg berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yg selalu bersyukur.
2). AL-AZWAJU SHALIHAH, yaitu pasangan hidup yang sholeh. *Pasangn hidup yg sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yg sholeh pula.
3). AL-AULADUL ABRAR, yaitu anak yg sholeh. *Do'a anak yg sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah, berbahagialah orang tua yg memiliki anak sholeh/sholehah.
4). AL-BIATU SHOLIHAH, yaitu lingkungan yg kondusif untuk iman kita. *Rasulullah menganjurkan kita utk selalu bergaul dgn orang2 sholeh yg selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan bila kita salah.
5). AL-MALUL HALAL, atau harta yang halal.
*Bukan banyaknya harta tapi halalnya harta yg dimiliki. Harta yg halal akan menjauhkan setan dari hati. Hati menjadi bersih, suci dan kokoh sehingga memberi ketenangan dlm hidup. Berbahagialah orang yg selalu dgn teliti menjaga kehalalan hartanya.
6). TAFAKUH FID-DIEN, atau semangat utk memahami agama. *Dengan belajar ilmu agama, akan semakin cinta kepada agama dan semakin tinggi cintanya kepada Allah dan Rasulnya. Cinta inilah yg akan memberi cahaya bagi hatinya.

7). UMUR YANG BAROKAH.
*Artinya umur yg semakin tua semakin sholeh, setiap detiknya diisi dgn amal ibadah. Semakin tua semakin rindu utk bertemu dgn Sang Pencipta. Inilah semangat hidup orang2 yg barokah umurnya, maka berbahagialah orang2 yg umurnya barokah...

Rahmatullah Soelaiman

Jalan Menuju Kebahagiaan Abadi

Desember 2015, smk n 1 tinangkung
Sebuah kalimat bijak menyebutkan, “Semua perjalanan adalah perjalanan kejiwaan.” Kita adalah jiwa yang sedang hidup di alam raga. Menurut Teilhard de Chardin, “We are not human beings having a spiritual experience, we are spiritual beings having a human experience.” (Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi. Manusia bukanlah “makhluk bumi” melainkan “makhluk langit”). (Oleh A Riawan Amin)

Menyandar spiritualitas kejiwaan sebagai sentral kehidupan manusia, Islam menekankan perlunya terus membina dan menjaga konstelasi dan integritas spiritualitas tersebut. Sayangnya, sebagai makhluk spiritual kita kerap “terjebak” pada fisik, emosi, dan pikir, manusia kurang memperhatikan jati dirinya yang sejati.

Pada kondisi inilah Ramadhan dihadirkan oleh Allah SWT. Bulan yang dijadikan sarana untuk kembali menemui dan mengasah jati diri sejati, spiritual. Proses pengendalian diri sebagai inti dari puasa telah menempatkan manusia kembali pada posisinya yang tepat. Melepaskan semua belenggu-belenggu fisik, emosi, dan pikiran yang kerap mengontaminasi spiritualitasnya. Karena, sesungguhnya saat manusia mampu melepaskan diri dari ketertawanan fisik, emosi, dan pikir, maka ia seolah terlahir kembali dari rahim ibunya. Bersih tanpa noda sedikit pun

“Barangsiapa yang melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan penuh harap kepada Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya di masa lalu.” (HR Bukhari dan Muslim). Begitupun, bila puasa yang dilakukan hanya sebatas fisik semata, tidak mampu menelisik hingga ke relung-relung jiwa, maka ia tak akan memperoleh apa pun dari puasanya kecuali lapar dan dahaga semata. (HR An-Nasai).

Dalam konteks manajemen hidup, Ramadhan memberikan banyak pelajaran. Di sini, kita mampu menemukan kesejatian diri. Menyambut kehadiran Ramadhan dengan suka cita, sebagaimana mengisinya dengan gembira dan penuh antuasias, sesungguhnya menjadi awal pembuka kebahagiaan abadi sebagai puncak kesuksesan diri yang dicari manusia.

Mampu memanfaatkan Ramadhan sebagai bagian ibadah terindah, berbagi yang terbaik, dan berjuang dengan sepenuh hati, merupakan mekanisme perjalanan jiwa menuju kesejatiannya. Menemukan diri yang sebenarnya. Itulah diri spiritual.

“Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya itu untuk-Ku dan Aku yang akan mengganjarnya. Puasa itu adalah perisai. Jika datang hari puasa seseorang di antara kalian, maka janganlah ia berkata rafats dan jangan memaki. Jika ada orang memakinya atau memancing berkelahi, hendaklah ia berkata: 'Aku sedang berpuasa'. Demi Zat yang jiwa Muhammad di tangannya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih wangi daripada wangi misik. Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan: jika ia berbuka, ia berbahagia; dan jika ia bertemu Tuhannya, ia berbahagia karena puasanya.” (HR Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ibn Majah, dan Ahmad).

Sabtu, 19 Desember 2015

10 keutamaan ilmu

MENCARI ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa menjalani hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan di manfaatkan oleh orang lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih baik.
Ilmu memiliki banyak keutamaan, diantaranya:
1. Ilmu adalah amalan yang tidak terputus pahalanya sebagaimana dalam hadits: ”jika manusia meninggal maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shodaqoh jariahnya, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya,” (HR Bukhori dan Muslim)
2. Menjadi saksi terhadap kebenaran sebagaimana dalam firman Allah SWT: (Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali dia. Yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu,). (QS. Ali Imran 18)
3. Allah memerintahkan kepada nabinya Muhammad SAW untuk meminta ditambahkan ilmu sebagaimana dalam firman Allah, (… dan katakanlah: Ya Rabb ku, tambahkanlah kepadaku ilmu) (QS.Thahaa 114)
4. Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Sebagaimana firman Allah, (… Allah mengangkat orang beriman dan memiliki ilmu diantara kalian beberapa derajat dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan). (QS. Mujadilah 11)
5. Orang berilmu adalah orang yang takut Allah SWT, sebagaimana dalam firmannya: (…. sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hambanya hanyalah orang-orangyang berilmu). (QS. Fathir 25).
6. Ilmu adalah anugerah Allah yang sangat besar, sebagaimana firman-Nya: (Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)). ( QS. Al-Baqarah 269)
7. Ilmu merupakan tanda kebaikan Allah kepada seseorang ”Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya, maka Allah akan membuat dia paham dalam agama,” (HR Bukhari dan Muslim).
8. Menuntut ilmu merupakan jalan menuju surga, ”Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surge,” (HR Muslim)
9. Diperbolehkannya ”hasad” kepada ahli ilmu,”Tidak hasad kecuali dalam dua hal, yaitu terhadap orang yang Allah beri harta dan ia menggunakannya dalam kebenaran dan orang yang Allah beri hikmah lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya,” (HR Bukhari )
10. Malaikat akan membentangkan sayap terhadap penuntut ilmu,”Sesungguhnya para malaikat benar-benar membentangkan sayapnya karena ridho atas apa yang dicarinya,” (HR. Ahmad dan Ibnu majah). [rika/islampos/sumber:daysabakugara]

Nasib guru

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dinilai telah menganiaya nasib guru jika para tenaga pendidik tersebut harus mengunakan biaya sendiri dalam mengikuti sertifikasi. Jika mulai tahun 2016 guru sertifikasi bayar sendiri merupakan sistem yang mengada-ada untuk menutupi kegagalan melaksanakan Undang-Undang Guru dan Dosen.
Pasalnya, jika sampai saat ini masih banyak guru yang belum disertifikasi. Jumlahnya sekitar 1,4 juta guru atau sekitar 45 persen dari total seluruh guru di Indonesia.
"Rencana Kemendikbud agar guru-guru yang diangkat setelah tahun 2006 melaksanakan sertifikasi sendiri, dengan biaya guru sendiri hakikatnya sama saja menganiaya guru," kata Ketua Umum PB PGRI Sulistyo kepada ROL, Rabu (9/9) malam.

Setyo--panggilan akrabnya--menjelaskan, dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 82 Ayat (2) menyebutkan dengan jelas paling lambat sepuluh tahun sejak undang-undang itu disahkan (tahun 2005) guru-guru harus sudah S1/D4 dan bersertifikat pendidik. Dalam UU itu, kata dia, dinyatakan bahwa pemerintah dan atau pemerintah daerah menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi dan sertifikat pendidik, untuk guru dalam jabatan.

Adapun, Sulistiyo menjabarkan, guru dalam jabatan menurut Pasal 1 Ayat (9) dinyatakan guru yang sudah mengajar. Artinya, guru yang sudah mengajar biaya sertifikatnya ditanggung pemerintah dan atau pemerintah daerah.

Selain itu, siapa saja guru dalam jabatan itu yang bisa disertifikat, yaitu guru tetap. Dalam Pasal 1 Ayat (8) guru tetap itu guru yang diangkat oleh pemerintah, pemerintah daerah, badan penyelenggara pendidikan, dan satuan pendidikan yang telah bekerja minimal dua tahun.

"Jadi semua guru dalam jabatan dan guru tetap harusnya telah disertifikasi paling lambat tahun 2015 dan setah itu pemerintah hanya mengangkat guru yg telah S1 dan bersertifikat pendidik, tentu kalau mamapu, sebab pendidikan profesi guru juga tidak jelas keberadaannya," ujar Sulistiyo.
Bahkan, lanjut dia, semestinya setelah UU GD disahkan, pemerintah hanya mengangkat guru yg telah S1/D4 dan bersertifikat pendidik. Sebab, pemerintah juga tidak mampu menyediakan guru yang memenuhi syarat itu, maka yang diangkat adalah yang ada saat itu.
Karena itu, mestinya semua guru dalam jabatan yang ada hingga sekarang harus disertifikasi dengan cara yang relatif sama dengan biaya dari pemerintah.

"Saya ingin menagih janji Mendikbud, katanya akan menyayangi dan memuliakan guru. Mendikbud harus menghentikan gagasannya yang aneh dan melanggar UU Guru dan Dosen itu,tidak ada satu kata pun, bahwa yang dibiayai sertifikasinya hanya guru yang diangkat sebelum 1 Januari 2006, tetapi, sekali lagi, guru dalam jabatan," ujarnya.

Rabu, 25 November 2015

Keguguran

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum.
Ustadz, beberapa waktu yang lalu saya mengalami keguguran di usia janin 5 minggu. Pada waktu darah pertama kali keluar, saya masih melaksanakan shalat. Setelah dipastikan bahwa darah yang keluar adalah gugurnya janin, saya tidak shalat. Ketika mendapati darah berhenti, saya bersuci dan shalat. Ternyata, belakangan saya membaca fatwa Syaikh Utsaimin bahwa untuk kondisi seperti saya di atas, maka hukum darah yang keluar adalah darah istihadhah, dimana tetap diwajibkan atas saya shalat, dan lain-lain. Mengingat bahwa saya telah meninggalkan shalat selama keluarnya darah, apa yang harus saya lakukan, ustadz? Masalah ini sungguh merisaukan saya. Mohon penjelasannya. Jazakallahu khairan.
Wassalamu’alaikum.
Jawaban:
Wa alaikumus salam
Kami turut berdoa semoga musibah yang menimpa ibu mendapatkan pahala dari Allah dan segera mendapat ganti dengan yang lebih baik.
Terkait status darah keguguran yang dialami wanita, para ulama memberikan rincian sebagai berikut:
Pertama, keguguran terjadi ketika janin berada pada dua fase pertama, yaitu fase nutfah yang masih bercampur dengan mani, berlangsung selama 40 hari pertama dan fase ‘alaqah, yaitu segumpal darah yang berlangsung selama 40 hari kedua. Sehingga total dua fase ini berjalan selama 80 hari.
Apabila terjadi keguguran pada dua fase ini, ulama sepakat bahwa status darah keguguran tidak dihukumi sebagai darah nifas. Para ulama menghukumi darah ini sebagai darah istihadhah. Sehingga hukum yang berlaku untuk wanita ini sama dengan wanita suci yang sedang mengalami istihadhah, sehingga tetap wajib shalat, puasa, dst. Dan setiap kali waktu shalat, wanita ini disyariatkan untuk membersihkan darahnya dan berwudhu. Jika ada darah yang keluar di tengah shalat, tetap dilanjutkan dan status shalatnya sah, serta tidak perlu diulang.
Kedua, keguguran terjadi pada fase ketiga, yaitu fase mudhghah, dalam bentuk gumpalan daging. Pada fase ini, mulai terjadi pembentukan anggota badan, bentuk, wajah, dst. Fase ini berjalan sejak usia 81 hari sampai 120 hari masa kehamilan.
Jika terjadi keguguran pada fase ini, ulama merinci menjadi dua:
  1. Janin belum terbentuk seperti layaknya manusia. Pembentukan anggota badan masih sangat tidak jelas. Hukum keguguran dengan model janin semacam ini, statusnya sama dengan keguguran di fase pertama. Artinya, status wanita tersebut dihukumi sebagai wanita mustahadhah.
  2. Janin sudah terbentuk seperti layaknya manusia, sudah ada anggota badan yang terbentuk, dan secara dzahir seperti prototype manusia kecil. Status keguguran dengan model janin semacam ini dihukumi sebagaimana wanita nifas. Sehingga berlaku semua hukum nifas untuk wanita ini.
Oleh karena itu, jika mengalami keguguran pada usia 81 sampai 120 hari, untuk memastikan apakah statusnya nifas ataukah bukan, ini perlu dikonsultasikan ke dokter terkait, mengenai bentuk janinnya.
Ketiga, ketika keguguran terjadi di fase keempat, yaitu fase setelah ditiupkannya ruh ke janin. Ini terjadi di usia kehamilan mulai 121 hari atau masuk bulan kelima kehamilan. Jika terjadi keguguran pada fase ini, ulama sepakat wanita tersebut statusnya sebagaimana layaknya wanita nifas.
Bagaimana status janinnya, ini perlu dikupas dalam kajian tersendiri.
Disadur dari fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (21/437)
Dijawab oleh Ammi Nur Baits
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Selasa, 24 November 2015

HARI GURU

Guru menjerit, guru menangis, guru dikebiri, guru dibiarkan, guru tidak dipedulikan..... hari ini ulang tahun guru repoblik Indonesia namun nasib guru masih sangat jauh dari harapan..... termasuk kesejahteraannya.  pada hal pekerjaan guru kita tahu sangat banyak bukan hanya mengajar, mendidik, melatih, membimbing, menilai mengepaluasi tapi semua masalah dihadapi oleh guru, baik siswa, orang tua, masyarakat, bahkan pemerintah pun justru tidak memperhatikan nasib seorang guru.
pada hal guru adalah orang yang telah dinyatakan sebagai memanusiakan manusia, menghitam putihkan bangsa ini..... dan semua pekerjaan yang benilai ibadah dikerjakan oleh guru tapi apa balasan dari semua itu, guru hanya bangga jika anak didiknya berhasil dengan sebaik-baiknya, tanpa mengharapkan apa-apa.   

Tapi sampai kapan guru akan seperti ini, misalkan saja gaji guru yang saya sendiri alami selalu terlambat dibayarkan, apalagi yang namanya tunjangan profesi guru baik itu sertifikasi maupun non sertifikasi yang saya tahu belum perna dibayarkan sebelum guru itu bertanya-tanya enta mau bertanya sama siapa?...... apatah lagi dengan tunjangan yang hanya RP.250.000 perbulan, belum lagi guru honor yang nasibnya tidak menentu, untungan jika dibayarkan lewat dana BOS, KOMITE sekolah, atau GTT.  ini semua tidak memberikan harapan baik bagi guru ke depan.  apakah memang sudah seperti itu keinginan pemerintah kita....... ataukah memang guru itu sangat banyak sehingga tidak mampu pemerintah untuk menaikkan gajinya seperti profesi-profesi yang lain yang dianggap layak...... misalkan saja dokter, polisi, tentara, anggota dewan, pegawai bank, pegawai keuangan, KPK dan lain sebagainya....... sungguh sangat ironi negri kita yang sangat kaya ini.
Semoga para guru masih bekerja dengan ikhlas...........
Walaupun dengan gelar Pahlawan tanpa tanda jasa............
Tapi itulah tugas mulia yang harus diemban...........
Sekali menjadi guru tetap jadi guru...........

HUKUM MEMINJAM UANG DARI BANK UNTUK MEMBUAT RUMAH


Soal:
Apakah boleh bagiku meminjam uang dari bank ribawi untuk membeli rumah? Berikanlah faidah untuk kami, jazakumullahu khaira.
Jawaban:
Seandainya engkau membutuhkan khubz (sejenis roti –pent) untuk makan, yang dengannya engkau bisa menyelamatkan dirimu dari kematian, jangan engkau mengambil sesuatu pun dari bank, terlebih-lebih lagi untuk membangun rumah atau membeli mobil.
Allah ‘azza wa jalla menghalalkan untukmu bangkai, daging babi, yang mati karena dipukul, atau karena,jatuh, dalam keadaan sangat mendesak, tapi tidak menghalalkan untukmu riba. Riba sangatlah berbahaya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluannya)”.
(QS ath Thalaq:2-3)
Maka dosa riba amatlah besar, dan perkaranya sangat berbahaya. Barangsiapa yang menghalalkannya, maka ia  telah kafir.
Apabila engkau butuh rumah, bersabarlah sampai Allah membukakan rizki untukmu. Kembalilah kepada Allah, tempuhlah sebab-sebab sampai Allah menyiapkan rumah untukmu.
Namun apabila tidak tercapai, maka engkau meninggal dalam keadaan selamat dari permusuhan kepada Allah, karena pelaku riba adalah musuh Allah, wal’iyadzu billah.
Sebagaimana Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Jika kalian tidak melaksanakannya,maka umumkanlah perang dari Allah dan rasul-Nya, tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok hartamu”.
(QS al Baqarah:279)
Allah mengumumkan peperangan terhadap pelaku riba.
Dalam hadits, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan harta riba, perwakilannya, penulisnya, dan kedua saksinya”.
Apa yang kalian inginkan setelah datangnya laknat? Apakah rumah itu akan bermanfaat untukmu sementara di depanmu  neraka jahannam?  Bertaqwalah kepada Allah wahai orang yang beriman, dan bersabarlah di atas kemiskinan dan bebagai kebutuhan.
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang sabar”.
(QS al Baqarah:155)
Bersabarlah, Allah akan memberikan kepadamu pahala yang agung ini, sebagai pengganti dari dirimu terjatuh dalam laknat, kemarahan, kemurkaan dan adzab-Nya. Engkau memikul kesempitan ini di dunia, yang tidak bernilai sedikitpun dibanding kemurkaan Allah dan adzab-Nya.
Kita meminta kepada Allah untuk mencukupi kita dengan karunia-Nya dari kemarahan dan kemurkaan-Nya. Sesungguhnya Rabb kita Maha Mengabulkan doa.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.
Fatawa asy Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkhaly 1/134-135

Kamis, 12 November 2015

Menyingkap Peran dan Kepahlawanan Umat Islam Dalam Sejarah


Di Istana Negara, Jakarta, Kamis, (5/11/2015), Presiden Jokowi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 5 tokoh yang dianggap berjasa terhadap bangsa dan negara. Pemberian gelar tersebut sesuai dengan Keppres No 116/TK/Tahun 2015 tanggal 4 November 2015 (news.liputan6.com, 05/11)
Satu dari lima orang yang diberi gelar pahlawan nasional tahun ini adalah Ki Bagoes Hadikoesoemo. Beliau pernah menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945. Kiprah beliau sangat kental dengan spirit penegakan Islam.
“Kejahatan” Terhadap Sejarah
Mayoritas pahlawan di negeri ini adalah muslim. Namun, kepahlawanan mereka, termasuk pengungkapan sejarah mereka, lebih sering disifati dengan sifat nasional, bukan dengan spirit Islam. Ini tentu merupakan ”kejahatan” terhadap sejarah, yang berujung pada pengaburan peran Islam dalam sejarah bangsa dan negara ini.
Setidaknya ada tiga ”kejahatan” terhadap sejarah itu. Pertama: Penguburan sejarah. Penggalan sejarah tidak diungkap atau jarang dimasukkan dalam kajian dan pembelajaran sejarah. Salah satu contohnya Resolusi jihad 22 Oktober 1945. Penetapan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan adalah untuk mengenang peristiwa heroik yang terjadi di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Peristiwa heroik itu tak lepas dari adanya Resolusi jihad yang ditandatangani oleh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
Pada 21 Oktober 1945, para konsul NU se-Jawa dan Madura berkumpul di Kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Setelah rapat maraton, pada 22 Oktober dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang dikenal sebagai Resolusi jihad. Salah satu poin Resolusi jihad itu menyerukan bahwa perang melawan penjajah adalah fardhu ’ain bagi yang berada dalam jarak 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh (yakni Surabaya). Adapun bagi yang di luar itu, perang (jihad) adalah fardhu kifayah. Dinyatakan pula bahwa siapa yang gugur dalam jihad itu maka ia menjadi syuhada.
Resolusi jihad itu mendorong puluhan ribu muslim bertempur melawan Belanda dengan gagah berani. Pasukan terdepan yang bertempur kala itu antara lain: Laskar Hizbullah pimpinan KH Zainul Arifin, Laskar Sabilillah pimpinan KH Masykur, Barisan Mujahidin pimpinan KH Wahab Chasbullah; PETA, separuh batalionnya dipimpin oleh para kiai NU, tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan lainnya. Resolusi jihad itulah—yang kemudian dikukuhkan dalam Konggres Umat Islam di Yogyakarta 7-8 November 1945—yang juga menggerakkan perlawanan para kiai, ulama, santri dan umat Islam di wilayah-wilayah lainnya.
Peristiwa heroik 10 November di Surabaya itu selalu disebut-sebut dan diperingati sebagai Hari Pahlawan. Anehnya, Resolusi jihad serta peran para kiai, ulama, santri, Laskar Hizbullah dan Sabilillah serta umat Islam yang bertempur dengan spirit jihad justru seolah sengaja dikubur atau digelapkan. Dalam buku sejarah, peristiwa penting itu tidak ditulis. Padahal bila sejarah pergerakan kemerdekaan ditulis secara jujur, mestinya akan terbaca sangat jelas peran besar para santri yang tergabung dalam Hizbullah dan para kiai yang tergabung dalam Sabilillah, dalam periode mempertahankan kemerdekaan.
Kejahatan kedua: Pengaburan peristiwa sejarah. Contoh: Siapa sebenarnya inspirator kebangkitan nasional melawan penjajah? Bila sejarah mencatat secara jujur, mestinya bukan Boedi Oetomo, melainkan Syarikat Islam (SI) yang merupakan pengembangan dari Syarikat Dagang Islam (SDI) yang antara lain dipimpin oleh HOS Cokroaminoto. Inilah yang harus disebut sebagai cikal bakal kesadaran nasional melawan penjajah. Sebagai gerakan politik, SI ketika itu benar-benar bersifat nasional, ditandai dengan keberadaannya di lebih dari 18 wilayah di Indonesia, dengan tujuan yang sangat jelas, yakni melawan penjajah Belanda. Sebaliknya, Boedi Oetomo sesungguhnya hanya perkumpulan kecil, sangat elitis, dikalangan priyayi Jawa, serta tidak memiliki spirit perlawanan terhadap Belanda.
Kejahatan ketiga: Pengaburan konteks peristiwa sejarah. Contoh: Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasarkan pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarekat Islam. Hari Pendidikan Nasional juga bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912, tetapi pada kelahiran sekolah Taman Siswa pada tahun 1922. Mengapa demikian? Sebab, bila kelahiran Sarekat Islam dan Muhammadiyah dengan sekolah pertamanya yang dijadikan dasar, maka yang akan mengemuka tentu adalah spirit atau semangat Islam. Dalam setting kepentingan politik penguasa saat itu, hal itu sangat tidak dikehendaki.
Padahal spirit Islam sesungguhnya telah lama menjadi dasar perjuangan kemerdekaan pada masa lalu. Peperangan selama abad ke-19 melawan Belanda tak lain atas dorongan semangat jihad melawan penjajah. Saat Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, kebanyakan yang tergugah adalah para ulama dan santri dari berbagai pelosok desa. Pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19 selalu di bawah bendera Islam. Perlawanan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape Belanda. Begitu juga dengan Perang Padri. Sebutan Padri menggambarkan bahwa perang ini merupakan perang keagamaan.
Jadi, jelas sekali ada usaha sistematis untuk meminggirkan bahkan menghilangkan peran Islam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan serta menghilangkan spirit Islam dari wajah sejarah bangsa dan negara ini.
Spirit Penegakan Islam
Spirit penegakan Islam di negeri ini juga sangat kental. Di antaranya tampak dalam pembelaan KH Wahid Hasyim terhadap Islam dan pemerintahan Islam.
Sebagaimana diketahui, Presiden Soekarno dalam kunjungan ke Amuntai Kalimantan Selatan pada Januari 1953 menyatakan, jika negara berdasarkan Islam maka akan terjadi separatisme sejumlah daerah yang mayoritas non-muslim. Artinya, negara berdasarkan Islam akan menyebabkan perpecahan.
KH Wahid Hasyim yang menjadi ketua NU kala itu menanggapi pernyataan itu dengan keras. Beliau menulis, pernyataan bahwa pemerintahan Islam tidak akan dapat memelihara persatuan bangsa, menurut pandangan hukum Islam, adalah perbuatan mungkar yang tidak dibenarkan oleh syariah Islam. Wajib atas tiap-tiap orang muslim menyatakan ingkar atau tidak setuju.
Spirit penegakan Islam dalam bernegara juga tampak kental dalam kiprah perjuangan Ki Bagus Hadikusumo. Hal itu tampak dalam pidatonya di depan BPUPKI tahun 1945 yang kemudian dibukukan oleh putra beliau, Djarnawi Hadikusumo, pada 1957 dengan judul, ”Islam Sebagai Dasar Negara: Seruan Sunyi Seorang ulama”.
Di antaranya Ki Bagus menyatakan, “Bagaimanakah dan dengan pedoman apakah para nabi itu mengajar dan memimpin umatnya dalam menyusun negara dan masyakarat yang baik? Baiklah saya terangkan dengan tegas dan jelas, ialah dengan bersendi ajaran agama.” Ki Bagus kemudian meminta, “…Bangunkanlah negara di atas ajaran Islam.”
Dalam risalah sidang BPUPKI terungkap, Ki Bagus menyatakan, “Dalam negara kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintahan itu atas agama Islam karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu.” Beliau juga menyatakan, “Supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia itu berdasarkan agama Islam.” (Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Sekretariat Negara. Jakarta. 1998.)
Wahai Kaum muslim:
Sejarah kiprah dan perjuangan para kiai, ulama, santri dan umat Islam dulu begitu kental dengan spirit perjuangan dan penegakan Islam. Inilah yang mesti diwarisi untuk mewujudkan kembali kehidupan yang lebih baik pada masa sekarang dan mendatang. Dalam hal ini penting bagi kita segera seperti para pejuang Islam dulu, memenuhi dan menjwab seruan Allah. Allah SWT berfirman:
]ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا اسْتَجِيبُوا Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ ÙˆَÙ„ِلرَّسُولِ Ø¥ِØ°َا دَعَاكُÙ…ْ Ù„ِÙ…َا ÙŠُØ­ْÙŠِيكُÙ…ْ[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian pada suatu perkara yang memberikan kehidupan kepada kalian (TQS al-Anfal [8]: 24).
Untuk memenuhi seruan Allah itu dan sekaligus menyambung kiprah dan perjuangan para kiai, ulama, santri dan umat Islam dulu, maka penerapan dan penegakan syariah Islam secara total dan menyeluruh di bawah pemerintahan Islam harus menjadi agenda utama umat Islam. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Rabu, 11 November 2015

Pensil

 


“Setiap orang membuat kesalahan. Itulah sebabnya, pada setiap pensil ada penghapusnya” (Pepatah Jepang)

Dikisahkan, sebuah pensil akan segera dibungkus dan dijual ke pasar. Oleh pembuatnya, pensil itu dinasihati mengenai tugas yang akan diembannya. Maka beberapa wejangan pun diberikan kepada si pensil. Inilah yang dikatakan oleh si pembuat pensil tersebut kepada pensilnya.

“Wahai pensil, tugasmu yang pertama dan utama adalah membantu orang sehingga memudahkan mereka menulis. Kamu boleh melakukan fungsi apa pun, tapi tugas utamamu adalah sebagai alat penulis. Kalau kamu gagal berfungsi sebagai alat tulis. Macet, rusak, maka tugas utamamu gagal”

“Kedua, agar dirimu bisa berfungsi dengan sempurna, kamu akan mengalami proses penajaman. Memang menyakitkan, tapi itulah yang akan membuat dirimu menjadi berguna dan berfungsi optimal”

“Ketiga, yang penting bukanlah yang ada di luar dirimu. Yang penting, yang utama dan yang paling berguna adalah yang ada di dalam dirimu. Itulah yang membuat dirimu berharga dan berguna bagi manusia”

“Keempat, kamu tidak bisa berfungsi sendirian. Agar bisa berguna dan bermanfaat, maka kamu harus membiarkan dirimu bekerja sama dengan manusia yang menggunakanmu”

“Kelima. Di saat-saat terakhir, apa yang telah engkau hasilkan itulah yang menunjukkan seberapa hebatnya dirimu yang sesungguhnya. Bukanlah pensil utuh yang dianggap berhasil, melainkan pensil-pensil yang telah membantu menghasilkan karya terbaik, yang berfungsi hingga potongan terpendek. Itulah yang sebenarnya paling mencapai tujuanmu dibuat”

Sejak itulah, pensil-pensil itu pun masuk ke dalam kotaknya, dibungkus, dikemas dan dijual ke pasar bagi para manusia yang membutuhkannya.

Sahabatku, pensil-pensil ini pun mengingatkan kita mengenai tujuan dan misi kita berada di dunia ini. Saya pun percaya bahwa bukanlah tanpa sebab kita berada dan diciptakan ataupun dilahirkan di dunia ini. Yang jelas, ada sebuah purpose dalam diri kita yang perlu untuk digenapi dan diselesaikan.

Sama seperti pensil itu, begitu pulalah diri kita yang berada di dunia ini. Apapun profesinya, saya yakin kesadaran kita mengenai tujuan dan panggilan hidup kita, akan membuat hidup kita menjadi semakin bermakna... :)