Oleh: Dr. Umar S.
Cinta adalah term yang mengandung beragam perspektif, dengan aksentuasi dan internalisasi yang bersifat kompleks pula. Cinta dalam konteks Islam klasik dimaknai dengan mahabbah, yang berarti cinta, kasih dan sayang.
Mahabbah menurut Louis Ma’luf bermakna kecenderungan kepada sesuatu yang dicintai (mahbub), yang menurut penulis adalah Allah SWT. Hal ini sejalan dengan pendapat Harun Nasution, yang menyatakan mahabbah adalah cinta kepada Tuhan.
Menurut Abu Abdullah Al-Qurasyi, hakekat mahabbah adalah apabila kamu telah memberikan keseluruhanmu kepada yang kamu cintai sehingga tidak ada sisa apa pun bagimu. Al-Qusyairi, mendefinisikan mahabbah sebagai kualitas intrinsik yang dimiliki Tuhan dan manusia.
Sebab itu, ada cinta Tuhan yang bersifat menurun karena Dia adalah pencipta, dan berikutnya cinta manusia yang bersifat mendaki karena tempatnya sebagai manusia yang di bawah. Hassan al-Syarqawi mengartikan cinta sebagai kecenderungan jiwa terhadap apa yang dilihatnya atau apa yang diduganya baik. Imam Al-Ghazâlî mendefinisikan al-hubb sebagai: “Ungkapan tentang kecenderungan watak terhadap sesuatu yang melezatkan”.
Dalam konteks yang hampir sama, Muhammad Amin al-Kurdi mengartikan makna al-mahabbah sebagai kecenderungan watak terhadap sesuatu yang memberikan kelezatan kepada yang mencintainya”. Sinkron dengan ini, Ibn ‘Arabi menjelaskan cinta adalah ciri sentral dari semua eksistensi, dan tugas manusia sejati adalah melihat di balik selubung motivasi lahiriah yang menutupi cinta yang merupakan dasar dari semuanya.
Perhatian manusia adalah mempertahankan cinta, bukan hanya mempertahankan hidup.
Kekuatan cinta yang secara fitrawi ini dimiliki semua manusia, diyakini memiliki energi untuk menyatukan berbagai ikatan secara umum, tidak hanya manusia namun juga seluruh makhluk di alam semesta.
Hal ini seakan untuk mengakui bahwa kekuatan ini bersumber dari sesuatu yang mengatur seluruh alam semesta. Menurut Empedokles (492-432 SM), cinta muncul sebagai salah satu dari dua kekuatan alam yang saling bertentangan yang menerangkan jalannya sejarah kosmis. Kosmos sesungguhnya selalu dalam keadaan ketegangan antara harmoni dan disharmoni. Ketika cinta terkontrol, maka elemen-elemen membentuk gabungan-gabungan yang memunculkan kesatuan-kesatuan yang lebih komplek.
Sedangkan menurut Plato (427-347 SM), cinta pada dasarnya merupakan cinta pada keindahan dan keindahan tidak bersifat material namun ideal. Keindahan merupakan jembatan antara realitas material dan ideal, particular dan universal. Pembahasan oleh Plato tentang cinta dalam arti eros dapat disimpulkan bahwa eros adalah daya kosmik, eros sebagai keinginan untuk berpadu dengan bagian diri yang lain, eros yang baik dan indah adalah eros keindahan dan kebaikan. Eros ada demi kebaikan untuk dimiliki selamanya. Secara spesifik eros adalah keinginan menurunkan suatu wujud dalam keindahan untuk mencapai immortalitas, kebalkematian dan Eros sebagai kegilaan Ilahi.
Bagi Aristoteles (384-322 SM), cinta merupakan kekuatan yang penggerak yang tak tergerakkan (Tuhan) sebagai yang dicintai dan sistem planet sebagai pencinta. Sedangkan Plotinus (284-269 SM) membedakan cinta menjadi cinta kepada Tuhan atau cinta Ilahi, cinta sebagai setan atau cinta hewani dan cinta manusiawi sebagai cinta hasrat.
Pada abad pertengahan, cinta didoktrinkan sebagai cinta yang santun dan penuh kesopanan, yang dapat mengantarkan kepada pengetahuan. Plato menyatakan bahwa pengetahuan membimbing ke arah cinta, namun bagi Agustinus, cintalah yang membimbingnya ke arah pengetahuan.
Mendukung pernyataan ini, Dante (1265-1321 M) menyatakan bahwa hal yang sangat mendasar dalam agama adalah meyakini bahwa Tuhan adalah cinta. Dengan cintalah Tuhan menggerakkan segala benda-benda semesta, cinta sekaligus merupakan kekuatan yang dapat menarik atau mendorong ke arah kebaikan. Leona Ebreo (1460-1528 M) menguatkan pandangan bahwa cinta akan Tuhan sebagai kekuatan yang menggenggam alam. Karenanya cinta merupakan suatu hal yang tunggal yang memungkinkan lahirnya segala sesuatu dari material ke spiritual.
Inilah prinsip yang merupakan faktor dinamis dari perubahan kosmos. Kedinamisan inilah yang kemudian bagi para filsuf Jerman disebut sebagai “Schnsucht” yang berarti kerinduan, atau “Streben” yang berarti perjuangan.
Di antara karakter cinta adalah ketidakmampuannya untuk dipuaskan. Di sisi lain, Spinoza (1632-1677) juga menegaskan bahwa semakin memadai suatu ide, maka akan semakin menyenangkan, membebaskan, dan manusiawi ide itu. Inilah puncak kehidupan etis yaitu kehidupan yang didevosikan pada kebebasan intelektual, dan hal ini dapat ditemukan dalam cinta intelektual akan Tuhan. Bagi Spinoza, juga Agustinus, manusia itu harus menghilangkan dirinya agar dapat menemukan dirinya, namun dengan begitu manusia menemukan bahwa apa yang telah ia jumpai adalah Tuhan.
Hakekat cinta dan berbagai derivasinya ini, secara umum dapat dipahami sebagai suatu relasi dengan dua pihak yaitu yang mencintai (pencinta) dan yang dicintai yang menjadi objek cinta. Kajian tentang cinta karenanya selalu merupakan kajian yang mencintai (lover).
Si pecinta, dengan cintanya berarti ia memiliki berbagai unsur perasaan yang tergabung dalam suatu keadaan kejiwaan seperti uns (kehampiran), syauq (kerinduan), mahabbah (kecenderungan hati) dan lain-lain. Kekuatan cinta seperti inilah yang memotivasi Abd al-Qâdir al-Jîlânî mengupas soal al-mahabbah dalam wacana sebagai berikut: “Tidakkah engkau tahu bahwa Dia Esa yang mencintai keesaan dan mencintai yang hanya mencintai-Nya? Jika Dia mendekatkanmu kepada-Nya melalui selain Diri-Nya, cintamu kepada-Nya menjadi tak benar dan sia-sia. Akibatnya, cinta kepada-Nya di dalam hatimu menjadi rusak. Maka Dia akan menahan tangan orang lain dari membantumu dan lidah mereka dari memujimu dan kaki mereka dari mengunjungimu agar mereka tak memalingkanmu dari-Nya.
Sudahkah engkau mendengar sabda Nabi saw.? “Hati mencintai yang berbuat kebaikan dan benci kepada yang berbuat keburukan”.
Abd Qadir al-Jilani juga berpendapat bahwa al-mahabbah sebagai sebuah kecenderungan jiwa kepada sesuatu yang memberikan kebaikan atau kelezatan itu merupakan ”anugerah” dari Tuhan tapi terkadang bisa juga sebagai sebuah “cobaan”.
Hal itu dimungkinkan karena al-mahabbah itu hadir karena dua sebab. Pertama, mahabbah itu memang benar-benar anugerah yang datang dari Allah, dan kedua, ia timbul bukan dari Allah swt. Dengan demikian mahabbah itu hadir bukan merupakan anugerah dari Allah swt., maka rusaklah cinta yang bersemayam di hati seseorang. Indikasinya sederhana, yakni apabila hati kita menjadi benci kepada kebaikan dan sebaliknya justru malah mencintai keburukan. Namun sebaliknya jika yang disebut pertama terjadi, maka seseorang menjadi tenteram jiwanya dan akan dikokohkan kecintaan-Nya di hatinya.
Hal ini hanya akan tercapai manakala seseorang telah mencapai tingkat kesempurnaan dalam beribadah. Lebih lanjut dikatakan, ”jika penyembahanmu dianggap sah, maka Dia akan mencintaimu dan mengokohkan kecintaan-Nya di hatimu, menenteramkanmu dengan-Nya sehingga engkau menjadi orang yang diridhai-Nya dalam segala keadaan. Kendati bumi semula terasa sempit bagimu, niscaya Dia akan melapangkannya. Dan jika semua pintu terkunci untukmu dengan keleluasaanNya, maka engkau pun tidak marah kepada-Nya dan tidak mendekati pintu yang salah.
Kualitas cinta yang semacam ini, mengilhami Ibn ‘Arabi membagi cinta kepada 3 tingkatan.
Pertama, cinta alami (hubb tabi‘i), yaitu cinta yang dimiliki orang-orang awam. Tujuannya adalah menyatu dalam ruh binatang (rûh hayawânî), sehingga ruh yang satu menyatu dengan ruh yang lain dengan cara menarik kelezatan dan mengobarkan keinginan (syahwah). Bentuk akhirnya adalah nikah, di mana keinginan bercinta (syahwat al-hubb) meresap di dalam semua susunan seperti meresapnya air dalam kain wool atau menyatunya warna di dalam benda yang diwarnai. Cinta alami merupakan cinta terhadap bentuk khusus dari kekasih. Ini bisa berbentuk fisik atau sebuah keadaan. Jika fisik, kedekatan fisik dan persatuan akan diharapkan; jika berupa keadaan, yang diinginkan adalah munculnya keadaan itu. Dengan demikian, menurut Ibn al-‘Arabi, karakteristik cinta alami bahwa pencinta hanya mencintai kekasihnya demi kesenangan dan kebahagiaan dirinya.
Kedua, adalah cinta spiritual dan psikologis (hubb ruhani nafsi) yang tujuan akhirnya adalah menyerupai kekasih yang dicintai (al-mahbub) dengan cara melaksanakan apa yang diminta kekasih (al-mahbub) dan mengenali kedudukannya. Cinta spiritual adalah cinta yang menyatukan para pencinta, karena dia mencintai kekasih demi sang kekasih itu sendiri. Sedangkan dalam cinta alami ia mencintai kekasih demi dirinya sendiri.
Tujuan cinta spiritual adalah untuk “menjadi seperti kekasih, memenuhi perintah kekasih, dan mengetahui keputusannya.” Dalam pengertian inilah cinta spiritual merupakan jalan perjuangan untuk penafian diri, di mana pencinta mencintai semata-mata demi Kekasihnya, menyembah-Nya seolah-olah dia melihat-Nya. Sang Kekasih sendiri tidak dapat dilihat, dan yang dilihat pencinta adalah jejak-jejak-Nya, atau dengan kata lain, adalah kualitas-kualitas-Nya.
Ketiga, adalah cinta ilahi (hubb ilahi), yaitu cinta Tuhan kepada sang hamba dan cinta sang hamba kepada Tuhan. Allah berfirman: “Dia Tuhan mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” Cinta Tuhan kepada hamba-Nya ada yang karena Diri-Nya dan ada pula karena hamba-Nya. Cinta-Nya kepada hamba karena Diri-Nya adalah seperti terungkap dalam firman Tuhan dalam sebuah hadis qudsi:
“Aku cinta (ingin) dikenal, maka Aku ciptakan makhluk, lalu Aku mengenalkan Diri kepada mereka, dan mereka pun mengenal-Ku.”
Menurut perspektif yang lain, dijelaskan bahwa hakekat cinta (mahabbah) sesungguhnya mencakup tiga ranah, 1) memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya, 2) menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi, dan 3) mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali diri yang dikasihi.
Oleh karena itu al-Sarraj, membagi cinta kepada tiga tingkatan, yakni, 1) cinta biasa, yakni selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka menyebut asma Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan, 2) cinta orang shiddiq, yakni orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, sebuah kualitas cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan..Kualitas cinta semacam ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifat sendiri, sedangkan hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu kepada-Nya, dan 3) cinta orang arif, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta semacam ini muncul karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Dengan demikian, cinta adalah sebuah spirit yang mendorong seseorang untuk secara ikhlas dan tulus melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Spirit cinta menggerakkan seseorang dari dalam jiwanya untuk melakukan sesuatu kepada yang dicintainya tanpa syarat. Spirit cinta juga yang menggerakkan Robiah Al Adawiyah untuk total mengabdi kepada Allah. Begitu totalnya, hingga ia memutuskan untuk hidup selibat dan meninggalkan seluruh kenikmatan duniawi yang berpotensi mengganggu cintanya pada Allah SWT.
Dalam setiap bait doanya kepada Allah SWT, Rabiah Al-Adawiyah tidak meminta dijauhkan dari neraka dan tidak pula meminta untuk dimasukkan dalam surga. Yang ia pinta adalah ingin dekat dengan Tuhan. Ia mengatakan “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut terhadap neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya”. Dalam doanya yang terkenal, ia bermunajat, “Tuhanku, jika puja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah aku karena Engkau. Janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu dari pandanganku”.
Oleh karena itu, menarik dicermati komentar al-Ghazâlî mengenai syair di atas yang menyimpulkan bahwa dalam diri Rabi’ah al-‘Adawiyah terdapat dua cinta, yakni, pertama, hubb al-hawâ, yakni cinta karena kebaikan dan kenikmatan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Untuk membalas kebaikan Allah tersebut, Rabi’ah al-‘Adawiyah selalu dengan dzikir kepada Allah. Kedua, hubb li annahu ahlu lahu, cinta karena Rabi’ah al-’Adawiyah telah mampu menyingkap keindahan dan keagungan Allah, sehingga ia yakin bahwa hanya Allah-lah zat satu-satunya yang wajib dicintai dan dipuji.
Kualitas cinta ilahi seorang arif, tidak lagi didominasi secara lahiriah oleh efek cinta, karena efek itu telah jauh melampaui segala keadaan khusus, meliputi ruang dan waktu. Karena semua selubung sudah tersingkap dan tidak ada kata-kata fisik yang bisa mengganggu. Cinta seperti ini, menurut Ibn al-‘Arabi, adalah sepadan dengan penyingkapan, dan penyingkapan adalah sepadan dengan makrifat.
Dengan demikian cinta ilahi adalah ruh tanpa tubuh; cinta natural adalah tubuh tanpa ruh; dan cinta spiritual adalah tubuh dan ruh sekaligus.
Kesadaran terhadap realitas cinta ilahi pada akhirnya akan mengantarkan seorang arif pada realitas agama yang didasarkan cinta Ilahi, yakni cinta yang tak terbatas, serba meliputi, universal dan membumi.
Kirimkan Komentar yang membangun