Hukum Fikih Islam merupakan hukum-hukum syariat yang Allah menuntut hamba-hambaNya untuk melaksanakannya. Hukum-hukum tersebut bersumber pada empat sumber. Yakni Alquran, Sunah, Ijma’ dan Qiyas.
Pertama, Alquran. Alquran adalah firman Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang tertulis dalam lembaran-lembaran. Alquran merupakan sumber utama untuk hukum fikih Islam. Oleh karena itu, maka kita harus merujuk kepada Alquran jika terdapat suatu masalah apapun itu. Jika kita temukan di dalamnya, maka kita ambil dan jika kita belum menemukannya, maka kita ambil dari sumber-sumber yang lainnya.
Misalnya kita mencari hukum khamr/arak. Maka kita mencari di dalam Alquran. Dan ternyata kita menemukan firman Allah swt.
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maidah/5: 90)
Berdasarkan ayat tersebut, maka khamr adalah termasuk benda yang terlarang dalam bingkai Islam.
Meskipun Alquran adalah sumber pertama dalam menetapkan hukum fikih Islam. Tetapi di dalam ayat-ayat Alquran tidak seluruhnya menunjukkan permasalahan yang rinci, dan tidak menjelaskan semua hukum.
Teks ayat-ayat Alquran memang menjelaskan secara rinci masalah akidah. Tetapi dalam masalah ibadah, muamalah dan gambaran langkah-langkah menjalani hidup bagi umat muslim hanya diterangkan secara global saja. Namun, hal itu dijelaskan secara rinci di dalam sunah Nabi saw.
Misalnya perintah tentang salat ada di dalam Alquran. Tetapi tidak dijelaskan tata cara melaksanakan Alquran, jumlah rakaatnya dan lain sebagainya. Namun hal tersebut dijelaskan secara rinci di dalam sunah Nabi saw. Begitu pula dalam masalah zakat dan lain sebagainya.
Kedua. Sunah/Hadis. Sunah adalah semua ucapan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dar Nabi saw. Contoh ucapan/sabda Nabi saw.
عن النبي- صلى الله عليه وسلم – قال: ” سِبَابُ الْمسْلِمِ فُسُوقٌ، وقِتالُهُ كُفْرٌ”. رواه البخاري ومسلم
Dari Nabi saw., beliau bersabda: “Mencela orang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Adapun contoh perbuatan Nabi saw. adalah suatu hari Aisyah ditanya tentang apa yang dilakukan Nabi dirumah. Aisyah r.a. menjawab:
كَانَ يَكونُ في مَهْنَةِ أَهْلَهِ، فَإذا حَضَرَتِ الصَّلاةُ قَامَ إلَيْها. رواه البخاري.
“Nabi saw. selalu mengerjakan pekerjaan keluarganya, lalu ketika datang waktu salat, maka beliau melaksanakannya.” (
HR. Al-Bukhari).
Sementara contoh ketetapan Nabi saw. adalah hadis riwayat Abu Daud sebagaimana berikut.
أنَّ النبي – صلى الله عليه وسلم – رأى رجلاً يصلي بعد صلاة الصبح ركعتين، فقال:” صلاة الصبح ركعتان”، فقال الرجل: إني لم أكن صليت الركعتين التي قبلهما فصليتهما الآن، فسكت رسول الله – صلى الله عليه وسلم.
Bahwasannya Nabi saw. melihat ada seorang laki-laki yang salat dua rakaat setelah salat subuh. Lalu Nabi saw. bersabda: “Salat Shubuh itu dua rakaat.” Laki-laki tersebut menjawab:“Sungguh saya tadi belum melaksanakan salat qabliyyah (salat sunnah sebelum) shubuh, maka saya laksanakan setelah salat Shubuh.” Rasulullah saw. pun diam. Diamnya Nabi saw. tersebut menunjukkan bahwa salat sunah qabliyah itu boleh dilakukan setelah salat fardu bagi yang belum sempat melaksanakannya sebelum salat fardu tersebut.
Kedudukan sunah ini menjadi sumber kedua dalam penetapan hukum Islam. Awalnya kita akan merujuk kepada Alquran. Namun, jika kita tidak menemukan hukum di dalamnya, maka kita merujuk kepada Sunah, dengan syarat sunah tersebut dengan sanad yang sahih.
Sementara tugas sunah adalah sebagai penjelas atas apa yang ada di dalam Alquran yang masih bersifat global atau umum. Dengan demikian maka sunah hadir sebagai perinci dari tata cara salat baik dari segi bacaannya maupun gerakannya. Sunah juga hadir sebagai penjelas tata cara haji dan ibadah-ibadah lainnya yang masih global penjelasannya di dalam Alquran. Sunah juga bertugas menjelaskan hukum yang tidak dibicarakan di dalam Alquran. Seperti haramnya memakai cincin emas dan menggunakan sutra bagi laki-laki.
Ketiga. Ijma’. Ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Nabi saw. di suatu masa atas hukum syariat. Oleh karena itu, kesepakatan mereka baik di masa sahabat atau setelahnya tentang suatu hukum dari hukum-hukum syariat, maka hal itu dinamakan ijma’, dan umat Muslim wajib melaksanakannya. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Abu Basrah Al-Ghifari bahwa Rasulullah saw. bersabda: “
” سَأَلْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لاَ يَجْمَعَ أُمَّتي عَلى ضَلالَةٍ فَأَعْطَانيها”.
Aku minta kepada Allah azza wajalla agar umatku tidak bersepakat tentang kesesatan, lalu Allah memberikannya kepadaku tentang hal itu. (HR. Ahmad).
Contoh ijma adalah kesepakatan para sahabat Nabi saw. tentang seorang kakek itu mendapatkan bagian waris seperenam dari tirkah jika bersama dengan anak laki-laki dan tidak adanya bapak.
Sehingga kedudukan ijma’ itu berada pada posisi ketiga sebagai rujukan atau sumber hukum Islam. Jika kita tidak menemukan hukum di dalam Alquran dan sunah, maka kita melihat, mengambil dan mengamalkan kesepakatan/ijma’ ulama tentang masalah tersebut.
Keempat. Qiyas. Qiyas adalah menyamakan suatu hal yang belum ditemukan hukum syariatnya dengan hal lain yang telah ada penjelasan hukumnya karena adanya suatu alasan yang sama antara keduanya. Qiyas merupakan alternatif setelah kita tidak menemukan hukum atas suatu masalah di dalam Alquran, sunah, maupun ijma’.
Adapun rukun atau komponen yang ada di dalam qiyas ada empat. Yakni masalah yang diqiyaskan (far’), masalah yang dijadikan rujukan qiyas (asl), hukum dari asl, dan adanya persamaan sebab (illat) antara far’dan asl.
Sedangkan contoh qiyas adalah tentang masalah khamr. Allah swt. telah tegas mengharamkan khamr di dalam Alquran. Sebab keharamannya adalah karena khamr memabukkan yang dapat menghilangkan kesadaran akal. Oleh karena itu, jika kita menemukan minuman lain meskipun berbeda label atau namanya, yakni tidak disebut khamr, tetapi disebut bir, wisky, narkoba dan lain sebagainya. Maka, jika kita menemukan minuman (dengan nama lain) tersebut memabukkan. Maka, hukumnya adalah haram, karena diqiyaskan/dianalogkan/disamakan dengan khamr. Hal ini disebabkan adanya unsur keharaman yang sama, yakni memabukkan. Di mana hal itu berada baik di minuman ini maupun di khamr. Wa Allahu A’lam bis Shawab.
https://bincangsyariah.com/khazanah/empat-sumber-hukum-fikih-islam/
Kirimkan Komentar yang membangun