Senin, 26 September 2016

Biografi Sahabat Nabi, Sa’ad Bin Abi Waqqash : Masa Kecil, Remaja, Dan Masuk Islam (Seri 2)


Masa Kecil

Sa’ad dilahirkan di mekah, dan tumbuh besar dalam dekapan gurun-gurun dan lingkungannya. Ia tumbuh remaja dan menjadi seorang pemuda diantara gunung-gunung dan lembahnya. Jiwanya pun diwarnai oleh bersihnya langit Mekah, dan pendiriannya menjadi sekokoh gunung-gunung yang ditancapkan Allah mengelilingi Baitul Haram, dimana Sa’ad lahir di dekatnya. Kemauannya yang keras, serta jiwa mudanya yang bergelora ditambah dengan kesibukannya dalam membuat anak panah yang seringkali dibeli oleh para petarung yang terhormat. Dan betapa banyak mereka saat itu! Begitu juga para penembak jitu dan mereka yang gemar berburu. Pengalaman ini memberinya kemampuan yang hebat dalam membuatnya dan sekaligus keinginan untuk menggunakan dan melemparnya. Ditambah lagi bahwa hal itu sekaligus menjadi latihan baginya untuk berperang dan menghadapi pertempuran.
Sa’ad mewarisi sifat-sifat ibunya yang keras dan tegas, hingga kekerasan dan ketegasan yang ia miliki pun menjadi semakin kuat. Hamnah, ibu Sa’ad adalah seorang yang sangat penyabar dan keras, mempunyai kemauan yang kuat, kepribadian yang kokoh, dan sangat kuat mempertahankan keinginannya. Hingga ia mampu memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Dan saat itu tidak ada satupun yang bisa menggoyahkan tekadnya, ataupun meruntuhkan kesabarannya, selain tekad yang dimiliki oleh putranya Sa’ad ketika masuk Islam, dan ia memaksanya untuk meninggalkan agamanya. Ia juga mengancam untuk tidak makan dan minum. Dan ini benar-benar dilakukannya hingga keadaannya menjadi sangat lemah, dan sementara itu Sa’ad juga belum mampu untuk menaklukkan tekad dan keinginannya yang sangat kuat. Sa’ad memilih untuk tetap berpegang pada agamanya, dan menempuh jalan yang telah dipilihnya. Akhirnya sang ibu menyadari bahwa tidak ada lagi cara untuk memaksa Sa’ad mundur dari agamanya, dan ia pun mengundurkan diri dari medang perang sebagai pihak yang kalah di depan kesabaran putranya, dan di hadapan kekuatan iman yang dimilikinya. Ia pun kembali makan dan minum.
Sa’ad mewarisi dari sosok ibu tersebut, kekuatan tekad, kesabaran, dan kemauannya yang keras. Dengan demikian makin sempurnalah kepribadiannya sebagai seorang pemuda quraisy dari Bani Zuhry yang tumbuh di Mekah. Kekuatan tekad seolah bertemu dengan kekokohan tumbuh di Mekah. Kekuatan tekad seolah bertemu dengan kekokohan fisik di dalam dirinya.
Lalu Islam datang kepada pemuda ini dan membukakan pintu-pintunya. Pemuda itupun tidak merasa ragu sedikitpun, ia segera menyambutnya dengan kemauannya yang rasional, dan maju memasuki taman-tamannya. Ia menemukan apa yang ia cari, dan sekaligus menemukan tujuannya. Agama baru ini pun mengarahkan potensi kekuatannya, menerangi langkahnya, dan memofokuskan seluruh potensinya untuk kebenaran. Jadilah ia seorang laki-laki mengagumkan, yang akan terus diceritakan oleh zaman.

7. Keislamannya Dengan Kelompok Pertama

Wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam berupa ayat-ayat pertama dari surat Al-Alaq. Detikpun itu merupakan saat yang paling membahagiakan di dunia, paling berkah, dan paling menyeluruh manfaatnya bagia seluruh manusia secara umum dan bagi orang-orang arab secara khusus. Wilayah Mekkah seolah diangkat dengan kehadiran Islam. Dan mereka yang paling rasional dan paling cerdas dari putra-putra Quraisy, serta manusia-manusia paling berbahagia di dunia pun segera beriman kepada Nabi yang mulia, Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam, dan bergabung di bawah panjinya, dan bersama-sama membawa benderanya.
Pada hari-hari pertama dari usia dakwah, kebahagiaan menyelimuti sekelompok orang yang terpilih. Takdir telah menuntun mereka untuk menyambut orang yang terpilih. Takdir telah menuntun mereka untuk menyambut seruan langit, mereka segera menyambutnya, dan beriman dengan kesadaran. Mereka membawa panji dakwah dengan bergantung kepada Allah, berpegang teguh kepada tali-Nya, melaju di jalan-Nya, tanpa mempedulikan rasa sakit, dan tidak peduli terhadap berbagai siksaan. Panutan mereka dalam hal ini adalah Rasul yang mulia Shallallahu’alaihi wa Sallam, yang perjalanan hidupnya telah mewangi, dan keharumannya tercium di pelosok Quraisy dengan kesucian, kejujuran, dan kemuliaan sebelum kenabian. Dan setelah kenabiaan, beliau menjadi contoh teragung sampai hari kiamat kelak.
Diantara mereka yang merasakan kebahagiaan tersebut adalah seorang shahabat yang masih begitu muda, Sa’ad bin Abi Waqqash. Ia bergabung dengan rombongan Islam dan kafilah iman yang pertama. Saat itu ia berada di awal masa mudanya dengan usia tujuh belas tahun.
Kebahagiannya bertambah dengan mimpi yang ia alami disaat tidurnya. Ia menceritakan itu kepada kita, dan berkata.
“Tiga hari sebelum masuk Islam, aku bermimpi. Seolah aku berada dalam kegelapan dan tak bisa melihat apa-apa. Tiba-tiba sebuah bulan ayng menerangiku, dan aku pun mengikutinya. Saat itu aku seolah melihat mereka yang telah lebih dahulu dariku mengikuti bulan tersebut. Aku melihat Zaid bin Hartsah, Ali bin Abu Thalib, juga Abu Bakar. Lalu seolah aku bertanya kepada mereka, “Kapan kalian samapai disini?” Mereka menjawab, “Baru saja.” Setelah itu aku mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menyeru kepada Islam dengan sembunyi-sembunyia. Maka aku menemuinya di Syi’b Ajyad (Syi’b Ajyad saat ini adalah salah satu perkampungan di Mekah Al-Mukarramah) yang engkau serukan?” beliau menjawab, “Engkau mengatakan aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa aku adalah dan bahwa engkau Muhammad adalah utusan Allah.” Dan tidak ada yang mendahuluiku selain mereka.”
Sa’ad tidak berlama-lama untuk menyambut seruan ini, karena ia meyakini bahwa mimpi tersebut adalah benar, yang tidak akan bisa dipengaruhi oleh setan. Muhammad telah dikenal Quraisy tentang kejujuran perkataannya, kebersihan jalan hidupnya, dan kemuliaan pribadinya. Kalau ia tidak pernah berbohong kepada manusia, maka bagaimana mungkin dia akan berbohong dia akan berbohong kepada Allah?!
Sa’ad telah mengetahui kedudukan Abu BAkar di Quraisy, begitu juga pengetahuannya tentang Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam , dan kejujurannya yang telah dikenal, serta keyakinannya akan kemuliaan akhlaknya, ia segera bergegas, mendahului seluruh orang-orang kecuali Khadijah tentunya untuk masuk Islam, dan membenarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan apa yang dibawanya dari Allah.
Dan Abu Bakar yang dilihat dalam mimpinya ternyata benar-benar menuntunnya kepada Islam! Begitu masuk Islam, Abu Bakar segera menyeru kepada Allah, dan kepada Islam. Ia mengajak mereka yang ia percayai dari kaumnya dan yang telah ia kenal di majelisnya. ia pun datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam dengan pemuda-pemuda terbaik Quraisy, dan berasal dari keturunan yang paling terhormat.
Al-Imam Muhammad bin Ishaq berkata, “Ketika Abu Bakar Radhiyallahu Anhu masuk Islam, dan ia memperlihatkan keislamannyaa, ia segera berdakwah kepada Allah. Dan masuk Islamlah di tangannya, Zubair bin AwwamUtsman bin Affan, Thalhah bin Ubadillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu’anhum. Mereka pergi menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersama dengan Abu Bakar. Beliau kemudian meneawarkan Islam kepada mereka, membacakan Alqur’an, dan menerangkan hakikat dari Islam. Mereka segera beriman. Merekalah delapan orang (Mereka adalah lima orang yang disebut di atas, ditambah tiga orang yang telah mendahului mereka, yaitu Abu Bakar, Ali, dan Zaid bin Haritshah) yang pertama sekali masuk Islam, membenarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam , dan beriman dengan apa yang dibawanya dari Allah”
Sa’ad menceritakan kepada kita kisah keislamannya, dan memberitahukan cerita keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wa Sallam, sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat Allah kepadanya. Juga untuk berbagai kebahagiannya atas karunia yang begitu besar, dan sebagai motifasi bagi mereka yang membaca kisah hidupnya atau mendengar ceritanyaa agar segera menuju ke pangkuan Islam dan berpegang kepada petunjuk Al-Qur’an.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, dari ayahnya, “Aku telah melihat diriku sebagai orang ketiga yang masuk Islam.”
Al-Bukhari, Ibnu Majah, Abu Nu’aim dan yang lainnya meriwayatkan dari Sa’id bin Al-Musayyab, dia berkata, aku mendengar Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Tidak ada seorangpun yang masuk Islam kecuali pada hari keislamanku. Dan aku telah melewati selama tujuh hari, dan sungguh aku adalah orang ketiga dalam Islam.”
Tidak diragukan bahwa Sa’ad telah sangat lama masuk Islam, dan diantara mereka yang paling pertama masuk Islam, salah seorang pahlawan dari kafilah pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan ia pun membawa bendera dakwah. Namun ucapannya diatas bisa ditafsirkan dan sesuai dengan apa yang diketahuinya. Ibnu Katsir telah menjelaskan dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, juga Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, bahwasanya ucapan Sa’ad “Dan aku telah melewati selama tujuh hari, dan sungguh aku adalah orang ketiga dalam Islam”, ini dikatakannya sesuai dengan apa yang diketahuinya, dan sebabnya adalah bahwa mereka yang masuk Islam pertama kali, tetap menyembunyikan keislamannya.
Mereka yang masuk Islam pada hari-hari tersebut, sengaja menyembunyikan keislamannya karena takut akan kekejaman Quraisy, dan siksaan yang akan ditimpakan mereka karena mengikuti agama yang baru.
Sejak hari pertama ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menyerukan dakwah, dan wahyu yang diterimanya, istri beliau Khadijah segera memeluk Islam, begitupula dengan anggota keluarga Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam yang tinggal di bawah atap rumahnya. Baik anak-anaknya, ataupun mereka yang didiknya. Putra-putri beliau yang ada saat itu segera beriman, Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum Radhiyallahu’ Anhunna. Merekalah yang bersama-sama ibu mereka Khadijah membentuk satu ikatan sebagai orang yang pertama kali masuk Islam, dan membenarkan risalah ayah mereka, pemimpin seluruh manusia, Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Kemudian mereka diikuti oleh ramaja binaan Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam , Ali bin Abi Thalib, yang masih dalam usia anak-anak. Dan jugak kesayangan Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam Zaid bin Haritsah. Mereka semua berada dalam satu rumah.
Dari luar rumah (yang tidak tigngal satu rumah) telah masuk Islam seorang pengokoh agama, imam umat ini, dan sebaik-baik pengikut para Nabi dan Rasul, Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Mereka semua telah masuk Islam pada detik-detik pertama sejak Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam memproklamirkan bahwa beliau adalah Nabi Allah dan Rasul-Nya.
Setelah itu datanglah angkatan kedua yang beriman, dan diantaranya terdapat Sa’ad dan saudara-saudaranya dimana Abu Bakar mempunyai peran dalam menyeru mereka kepada Allah, dan masuk Islam. Mereka pun mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam , dan memegang tangan kanan beliau untuk berbai’at.
Adapun perkataan Sa’ad bahwa ia adalah “Orang ketiga dalam Islam” juga dapat dilihat dari riwayat lain yang semakna. Dari Amru bin Abasah Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku mendatangi RasulullahShallallahu’alaihi wa Sallam yang sedang berada di Ukazh. Maka aku bertanya, “Siapa yang bersamamu?” Beliau menjawab, “Abu Bakar dan Bilal.” Lalu aku masuk Islam. Dan aku mendapati diriuku sebagai orang keempat dalam Islam.”
Sa’ad adalah diantara mereka yang paling pertama masuk Islam. Ini tidak diragukan. Adapun perkatannya tadi adalah sesuai dengan apa yang diketahuinya saat itu tentang siapa yang telah masuk Islam, sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dan itu adalah sebelum diwajibkannya sahalat. Dan Usianya saat itu tujuh belas tahun.
Ibnu Sa’ad dan yang lainnya meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata, “Aku telah masuk Islam pada hari aku masuk Islam, dan saat itu shalat belum diwajibkan.”
Dan Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Aisyah binti Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, “Aku telah masuk Islam saat berusia tujuh belas tahun.”

8. Sikap Ibunya Tentang Keislamannya, Dan Keteguhannya Dalam Berpegang Teguh

Keislaman Sa’ad Radhiyallahu’anhu, dan pilihannya untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, ternyata membuat sedih ibunya, dan menyakiti hatinya. Ibunya adalah satu diantara anggota masyarakat Quraisy yang menyembah berhala-berhala, dan berpegang teguh kepada agama nenek moyang. Ia adalah wanita yang susah diatur, memiliki tabiat yang keras, tegar dan tak mudah ditaklukkan. Ia memiliki kekuasaan penuh terhadap anak-anak dan keluarganya. Maka ia pun memaksakan kehendaknya kepada Sa’ad, dan berdiri di hadapannya bagai sebongkah karang yang amat keras, dan takkan dikalahkan oleh air kehidupan. Keahlian seorang tukang pahat pun takkan berguna untuknya. Karena ia telah diwarnai dan tersedot ke dalam pusaran kesombongan masyarakat Quraisy yang jauh dari jalan Allah. Maka ia pun bersuaha untuk mengembalikan Sa’ad kepada agama kaumnya.
Sa’ad adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Senantiasanya menyayanginya, mentaati perintah-perintahnya, dan menuruti segala kemaunnya. Ini semua terjadi sebelum kedatangan Islam. Namun ketika ia telah beriman kepada Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam, dengan kesadaran dan penuh ketaatan, dan Allah berkehendak untuk menyelamatkannya dari jurang kemusyrikan, dan mengangkatnya kepada tingginya cahaya keimanan dan tauhid, maka saat itu, dibutuhkan pemikiran yang mendalam, dan keputusan yang tepat, yang didasari oleh cahaya kebenaran yang telah diimaninya.
Maka iapun berusaha menghadapi ibunya dengan kelembutan dan cara yang baik untuk melunakkan sikapnya dan membiarkannya dengan pilihannya. Dan ia akan senantiasa menjaga baktinya kepada ibunya, dan bersikap baik kepadanya selama hidupnya. Namun ia tidak berhasil.
Ibunya menghunuskan sebuah senjata yang sangat berbahaya kepadanya. Dan mendebatnya dengan ajaran-ajaran agama yang diimaninya dan dipegangnya dengan teguh. Ia mengumumkan akan berhenti makan dan minum sampai. Sehingga orang-orang akan menyalahkan Sa’ad atas kematiannya. Dengan demikian ia juga menyindir tentang sikap bakti kepada orang tua di dalam agama yang baru dipeluk anaknya. Ia benar-benar melakukan itu, dan terus melaksanakan aksinya untuk mogok makan dan minum, hingga ia hampir mati karenanya.
Namun Sa’ad berdiri kokoh di depan keinginan ibunya bagai sebuah gunung tinggi yang tidak tergoyahkan oleh badai, dan tetap bertahan dengan agamanya sebagaimana gunung yang kokoh.
Berapa orang dari keluarganya segera menemuinya dan memintanya untuk menjenguk ibunya yang berada dalam kondisi menyedihkan, dan mautpun seolah telah bersiap mengetuk pintu rumahnya. Dengan harapan, agar hati Sa’ad menjadi lunak, kemudian meninjau kembali keputusannya dan bisa mengikuti kemauan ibunya.
Sa’ad pun datang menemui ibunya, dan menyaksikan sebuah pemandangan yang meluluhkan hati, yang mampu memusnahkan sebauh karang dari tempat. Namun keimanan Sa’ad bin Abi Waqqash jauh lebih kuat dari karang, dan lebih kokoh dari gunung. Ia mendekati ibunya, dan mengatakan kepada dengan disaksikan oleh mereka yang hadir, bahwa itu semau tidak akan merubah keputusannya, dan tidak akan bisa membuatnya meninggalkan agamanya.
Mari kita dengarkan sebuah berita yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, At-Tirmidzi, Abu Ya’la, dan yang lainnya, dari Sa’ad , ia berkata, “Ayat ini turun berkenaan denganku, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlajh engkau menaati keduanya,” (QS. Luqman [31]: 15). Ia berkata, “Ali adalah anak yang sangat berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam, ibuku berkata, “Hai Sa’ad, agama apakah yang telah engkau anut?! Engkau harus meninggalkan agamamu ini, atau aku tidak akan makan dan minum sampai mati, sehingga kau akan dicela karenaku, dan akan dikatakan kepadamu, “Wahai pembunuh ibunya.” Aku berkata, “Janganlah engkau lakukan itu duhai ibu, sungguh aku tidak akan meninggalkan agamaku ini untuk apapun.” Ia pun kemudian tidak makan dan minum sehari semalam, “Wahai ibu, engkau tahu? Demi Allah kalau engkau memiliki seratus nyawa, an keluar satu demi satu, aku tidak akan meninggalkan agamaku ini. Kalau ibu mau, makanlah, atau kalau tidak maka jangan makan.” Ketika ia melihat sikapku, akhirnya ia pun makan.”
Dalam Sebuah riwayat dari Ibnu Sa’ad disebutkan bahwa ibu Sa’ad bersumpah untuk tidak berbicara kepadanya, tidak makan, dan tidak minum sama sekali, sampai ia keluar dari agama barunya. Ibunya mengatakan, “Engkau mengatakan bahwa Allah telah memerintahkanmu agar berbuat baik kepada kedua orangtuamu, aku sendiri adalah Ibumu, dan aku memerintahkanmu untuk keluar dari agamamu itu.” Ibunya tetap melakukan hal tersebut selama tiga hari hingga akhirnya pingsan karena keletihan. Lalu datanglah saudara Sa’ad yang bernama Uamarah untuk memberi minum kepada ibunya itu. Setelah siuman, ibunya mendoakan keburukan untuk Sa’ad. Maka Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat ini, “Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-KU dan kepada kedua orang tuamu. hanya kepada aku kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, makan janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: [31: 14-15).
Dan dalam sebuah riwayat lain, “Dan ia menolak untuk makan, sampai-sampai orang-orang menahan mulutnya dengan kayu untuk memasukkan minuman dan makanan.”
Lalu turunlah wahyu yang mendukung Sa’ad tersebut, dan memuji ketegarannya dalam agamanya. Ini merupakan awal dari banyak kelebihannya, dan satu diantara keutamaan dan kebanggannya. Ia menjadi contoh bagi para pembawa kebenaran, juga bagi para pengemban dakwah dan prinsip-prinsip yang agung. Agar mereka semua senantiasa bersandar kepada agama mereka dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip mereka. Dengan tetap berbakti kepada kedua orang tua, dan berbuat baik kepada kaum kerabat.
Bersambung Insya Allah . . .

Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid : Bersama Khulafaur Rasyidin Abu Bakar Shiddiq (Seri 7)


Bersama Khulafaur Rasyidin dan Masa Setelah Mereka

Pada masa khulafaur rasyidin dan masa setelah mereka, Sa’id adalah salah satu tokoh dan pemuka dalam masyarakat muslim yang ikut dalam mengokohkan sendi Negara, mengarahkan politiknya, dan menciptakan sejarahnya. Dengan beberapa tingkat perbedaan dalam kontribusi yang diberikan dalam beberapa peristiwa sesuai dengan kondisi yang ada. Dia telah membai’at empat khulafaur rasyidin satu demi satu, dan bergabung dalam sebuah kelompok yang menjadi anggota dari majelis syura yang berfungsi untuk memecahkan berbagai masalah dan persoalan Negara. Dia juga berperan serta dalam beberap penaklukan, dan sempat memimpin sebuah wilayah untuk waktu yang sangat singkat karena ia lebih memilih untuk berjihad. Dan ketika fitnah mulai menyebar, ia memilih untuk tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal diam di rumah. Sebuah sikap yang banyak dipilih oleh shahabat-shahabat besar yang cenderung dengan pendapat ini.

1. Bersama Abu Bakar Shiddiq

Sejak hari pertama wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, Sa’id bersama kaum Muhajirin dan Anshar yang lain telah menyatakan sikap untuk mendampingi Abu Bakar, dan membai’atnya pada hari terjadinya peristiwa Saqifah. Dan terus melanjutkan perjalanan bersama Abu Bakar selama masa pemerintahannya.
Ath-Thabari meriwayatkan dari Az-Zuhri, ia berkata, “Amru bin Huraits berkata kepada Sa’id bin Zaid, “Apakah engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam?” ia menjawab, “Iya” dan ia pun berkata, “Kapankah Abu Bakar dibai’at” ia menjawab, “Pada hari wafatnya RasulullahShallallahu’alaihi wa Sallam tersebut, mereka tidak ingin berada dalam satu hari dimana mereka tidak berada dalam satu kesatuan.” Amru bertanya lagi, “Apakah ada yang menantangnya?” Sa’id menjawab, “Tidak, kecuali mereka yang murtad, atau yang hamper murtad, hanya saja Allah berkehendak untuk menyelamatkan mereka dari api neraka.” Ia bertanya, “Apakah ada dari golongan muhajirin yang tidak ikut berbai’at?” ia menjawab, “Tidak, kaum muhajirin membai’atnya secara bergantian tanpa harus ia panggil.”
Ketika beberapa kabilah arab murtad dan menolak untuk membayar zakat, dan Abu Bakar berencana untuk menyerangnya sampai mereka kembali kepada kebenaran, dan pada saat yang sama tetap bertekad untuk mengirim ekspedisi Usamah bin Zaid, datanglah kepada Abu Bakar beberapa pemuka shahabat, di antaranya Sa’id bin Zaid, yang mengusulkan dan meminta kepadanya agar mengundur pengiriman tentara Usamah, dan mengemukakan alasan-alasan mereka untuk itu.
Al-Waqidi dan Ibnu Asakir meriwayatkan, “Ketika orang-orang arab mendengar berita tentang wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, dan banyaknya orang yang murtad, Abu Bakar berkata kepada Usamah, “Lakukanlah apa yang telah diperintahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam kepadamu.” Pasukan pun mulai bergerak dan kembali berkemah di tempat mereka yang pertama, lalu Buraidah berangkat dengan membawa panji hingga sampai di perkemahan tersebut. Namun hal ini menyusahkan beberapa tokoh dari golongan Muhajirin, dan mereka pun datang menemui Abu Bakar yaitu Umar, Utsman, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Sa’id bin Zaid. Mereka berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah, sesungguhnya orang-orang arab telah berbalik menentangmu dari segala penjuru, dan dengan memisahkan pasukan seperti ini engkau tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jadikanlah mereka dalam satu pasukan saja, dengan itu engkau bisa menyerang mereka yang murtad sekaligus di tempat-tempat mereka! Dan juga, kita tidak bisa merasa aman dengan keadaan Madinah yang hanya dihuni oleh anak-anak dan wanita. Kalau saja engkau mau mengundur penyerangan kepada Romawi sampai keadaan menjadi stabil, dan mereka yang murtad kembali kepada Islam atau mereka dimusnahkan dengan pedang, kemudian barulah engkau mengirimkan pasukan Usamah, sehingga kita bisa merasa aman jikalau Romawi akan menyerang kita.”
Namun Abu Bakar mempunyai pendapat lain. Pasukan tersebut, panjinya telah dipancangkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, dan beliau telah memerintahkan untuk dilaksanakan. Maka Abu Bakar takkan mengambil alih panji tersebut, bahkan walaupun ia diserang oleh kawanan binatang buas sekalipun! Maka para shahabat pun menyambut baik pendapatnya tersebut, dan segera mentaatinya. Dan terbukti bahwa pendapat dan pilihan Abu Bakar yang terbaik.
Ketika keadaan Negara telah stabil, Ash-Shiddiq bertekad untuk mengirim pasukan guna menyampaikan dakwah Islam ke seluruh dunia. Dan menghancurkan para tirani yang menghalangi penyampaian Islam kepada seluruh manusia agar mereka bisa memilih dengan kesadaran dan tanpa paksaan untuk masuk agama ini. Dan tujuan pertamanya adalah wilayah Syam. Ia pun mulai bermusyawarah dengan para shahabat.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata, “Ketika Abu Bakar hendak menyerang romawi, ia mengundang Ali, Umar, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, juga para pemuka shahabat dari golongan muhajirin dan anshar yang ikut dalam perang Badar, dan beberapa lainnya. Lalu mereka datang menemuinya.” Abdullah bin Abi Aufa mengatakan, “Sesungguhnya nikmat-nikmat Allah tidak akan bisa terhitung, dan tidak ada amal yang bisa menandinginya, maka bagi-Nya segala puji. Allah telah menyatukan kalian, dan memperbaiki hubungan diantara kalian, memberikan hidayahnya kepada kalian dengan Islam, dan menjauhkan setan dari kalian. Maka Allah tidak menginginkan kalian berbuat syirik dan menyembah Tuhan selain-Nya. Orang-orang Arab pada saat ini adalah keturunan dari satu ayah dan satu ibu. Aku berkeinginan untuk mengerahkan kaum muslimin untuk berjihad menghadapi Romawi di Syam. Semoga Allah menguatkan kaum muslimin, dan menjadikan kalimat-Nya yang tertinggi, maka silahkan siapa saja untuk mengemukakan pendapatnya tentang hal ini.”
Maka beberapa orang seperti Umar, Ali, dan Abdurrahman memberikan pendapatnya. Kemudian Utsman berkata kepada Abu Bakar, “Sungguh aku melihat engkau sebagai seorang yang senantiasa memberikan nasihat kepada umat ini, dan menyayangi mereka. Kalau engkau berpendapat sesuatu yang membawa kebaikan bagi mereka semua, maka laksanakanlah dengan pasti, sungguh engkau tidak akan dituduh yang bukan-bukan.”
Maka Thalhah, Zubair, Sa’ad, Abu Ubaidah, dan Sa’id bin Zaid, serta mereka yang hadir di majelis itu dari kalangan muhajirin dan anshar berkata, “Utsman benar, laksanakanlah rencanamu, kami tidak akan menyelisihimu atau menuduhmu.”
Pada hari-hari terakhir pemerintahannya, Abu Bakar hendak mendekati ajalnya, ia mengundang Abdurrahman bin Auf dan berkata, “Katakan kepadaku tentang Umar bin Khaththab? Abdurrahaman bin Auf menjawab, “Demi Allah, dia adalah orang yang terbaik yang dapat engkau lihat.” Kemudian ia mengundang Utsman dan meminta pendapatnya, lalu juga meminta pendapat dari Sa’id bin Zaid Abul A’war, Usaid bin Hudhair, dan selain mereka dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Bersambung Insya Allah . . .

Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid : Bersama Al-Faruq Umar (Seri 8)


Bersama Al-Faruq Umar

Kisah perjalanan Sa’id berlanjut pada masa pemerintahan Umar seperti halnya pada masa Abu Bakar.Dan kedudukannya pun tetap tinggi bersama pemuka-pemuka shahabat lainnya.
Sejak hari pertama dari pemerintahan Umar bin Khaththab, Sa’id telah ikut serta dalam menentukan gaji dari khalifah.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, ia berkata, “Umar sempat beberapa lama tidak mengambil sedikitpun dari baitul mal, hingga ia mengalami kesulitan hidup. Maka ia mengundang shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam untuk bermusyawarah. Ia berkata, “Sungguh aku telah disibukkan oleh urusan ini, dan berilah makan keluargamu dari Baitul Mal.” Dan Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail pun berpendapat demikian. Kemudian Umar bertanya kepada Ali, “Apa pendapatmu dalam hal ini?Ia berkata, “Ambillah untuk makan siang dan makan malam.” Umar pun mengambil pendapat ini.”
Sa’id selalu mendapingi Umar pada detik-detik akhir hidupnya, ketika Sa’id mengusulkan kepadanya (setelah ditikam) agar menunjuk seorang khalifah bagi kaum muslimin.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Abu Rafi’, ia mengatakan “Umar bin Khaththab saat itu bersandar kepada Ibnu Abbas, dengan Ibnu Umar dan Sa’id bin Zaid bersamanya. Ia berkata, “Ketahuilah bahwa aku tidak pernah mengatakan sesuatupun tenang kalalah (kalalah adalah seorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak), dan tidak menunjuk seorangpun untuk menjadi khalifah menggantikanku, dan kalau ada tawanan arab yang mendapati kematianku, maka ia bebas dengan harta Allah. Sa’id bin Zaid bin Amru berkata, “Sesungguhnya kalau emgkau menunjuk salah seorang dari kaum muslimin, orang-orang akan mempercayaimu.” Maka Umar berkata, “Aku telah melihat adanya ambisi yang tidak baik dari beberapa orang. Maka sesungguhnya aku telah menyerahkan urusan ini kepada enam orang yang ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam wafat, beliau ridha kepada mereka.”
Dan karena ketinggian sifat wara’ yang dimiliki Umar, ia tidak memasukkan putra pamannya Sa’id ke dalam enam orang tersebut, walaupun dia tahu akan kelayakannya dalam hal itu!
Dalam sebuah hadits panjang masyhur (tentang kisah pembunuhan Umar dan pembai’atan Utsman), Ath-Thabari meriwayatkan, “Umar berkata, “Hendaklah kalian mentaati mereka yang RasulullahShallallahu’alaihi wa Sallam berkata tentang mereka, “Sesungguhnya mereka adalah penghuni surga”, Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail termasuk di antara mereka, tapi aku takkan memasukkan namanya! Namun yang enam adalah Ali, dan Utsman, putra-putra Abdu Manaf, Abdurrahman dan Sa’ad, paman-paman Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dari pihak ibunya (Ibu dari RasulullahShallallahu’alaihi wa Sallamberasal dari Bani Zuhrah, Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqash juga dari Bani Zuhrah. Maka mereka adalah kerabat dari Ibu beliau Shallallahu’alaihi wa Sallam, dan orang arab menganggap kerabat dari ibu sebagai paman-paman),  Zubair bin Awwampembela Rasulullah  Shallallahu’alaihi wa Sallam dan putra dari bibi beliau, dan Thalhah bin Ubaidillah. Maka hendaklah mereka memilih salah satu di antara mereka. Kalau mereka telah memilih satu orang pemimpin, maka berbaik-baiklah dalam menyokongnya, dan bantulah ia.”
Al-Iman Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lam An-Nubala’, “Said bin Zaid sama sekali tidak kalah kedudukannya dari para ahli syura yang enam, baik dalam hal lebih dahulu masuk Islam ataupun dalam hal ini kemuliaan. Namun Umar tidak memasukkannya agar tidak ada alasan keberuntungan. Karena ia adalah ipar dan sekaligus putra pamannya. Kalau ia memasukkannya dalam ahli syura, maka orang yang menolak akan berkata, “Dia telah berpihak kepada putra pamannya! Maka ia tidak memasukkan putranya dan keluarganya yang lain, dengan demikian diharapkan semuanya benar-benar karena Allah.”
Betul, ia takut kalau ada yang mengatakan, “Dia telah berpihak kepada putra pamannya.” Walaupun dia layak untuk itu. Lalu bagaimana dengan orang yang mengejar kekuasaan dan mewariskannya kepada keluarganya, dan menjadikannya sebagai sebagai harta rampasan perang. Lalu ia membagikannya kepada mereka yang mengejar dan mempertahankan kekuasaannya dengan bathil. Menjauhkaan mereka yang lebih mampu, lalu bersama kroni-kroninya melakukan berbagai macam kezhaliman dan kecurangan dalam agama Allah dan terhadap rakyatnya. Lalu ia juga menghambur-hamburkan uang rakyat dan mempertaruhkan masa depan mereka?! DIa bersama para penjilat dan pendukungnya beranggapan bahwa kekuasaan tersebut adalah sebuah keuntungan baginya! Sementara Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam telah besabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad, dan Asy-Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim, “Tidaklah seorang hamba yang diberikan kekuasaan Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, kecuali Allah akan mengharamkan surga untuknya,” Dan dalam riwayat Al-Bukhari, “Tidaklah seorang hamba diberikan kekuasaan oleh untuk memimpin rakyanya, dan tidak menjaganya dengan nasihat yang baik, kecuali ia tidak akan mendapatkan bau surga.”
Dan ketika Umar Radhiyallahu’ Anhu meninggal,  yang turun kekuburannya adalah Utsman bin Affan, Sa’id bin Zaid, Shuhaib bin Sinan, dan Abdullah bin Umar.
Sa’id bin Zaid menangisi kematian Umar dengan amat sangat. Dan merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Maka seseorang berkata kepadanya, “Hai Abu A’war, apa yang membuatmu menangis?” Sa’id menjawab, “Islamlah yang aku tangisi. Kematian Umar telah membuka sebuah lubang dalam Islam yang tidak akan dapat diperbaiki sampai hari kiamat!”
Sungguh benar apa yang telah dikatakan oleh Sa’id bin Zaid Radhiyallahu Anhu, dengan syahidnya Umar, maka pintu itu telah didobrak, pintu fitnah telah terbuka, dan darah pun mulai mengalir. Sebagaimana yang disebutkan dalam banyak hadits shahih.
Bersambung Insya Allah . . .

Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid : Bersama Utsman Dzun Nurain (Seri 9)


Bersama Utsman Dzun Nurain

Sa’id bersama seluruh kaum muslimin membai’at Utsman bin Affan, dan berjalan bersamanya sesuai dengan aturan  Islam yang telah dilaluinya sepanjang hidupnya. Ketika api fitnah membakar khalifah, ia berjuang semampunya untuk membelanya.
Ketika para pemberontak datang untuk menjatuhkan khalifah Utsman, Ali berangkat bersama beberapa orang dari golongan Muhajirin, termasuk Sa’id bin Zaid, Jubair bin Muth’im, Hakim bin Hizam dan yang lainnya, sementara dari golongan Anshar terdapat Abu Humaid As-Sa’idi, Zaid bin Tsabit, Ka’ab bin Malik dan yang lainnya. Mereka menemui orang-orang Mesir di sebuah tempat bernama Dzu Khusyub, berbicara dengan mereka, dan berhasil meminta mereka untuk kembali pulang.
Di saat para pembuat makar memalsukan sebuah surat atas nama Utsman, dan diambil oleh para pemimpin pemberontak tersebut, mereka menuduh Utsman telah menyuruh gubernur Mesir untuk menghukum para pemberontak dari Mesir tersebut dengan cambuk dan penjara untuk waktu yang lama. Maka mereka pun kembali berbalik menuju Madinah.  Dan meminta beberapa shahabat untuk ikut dengan mereka menemui Utsman karena masalah tersebut. Guna memastikan kepada Utsman tentang surat yang sebenarnya mereka buat-buat sendiri. Mereka menemui Sa’ad bin Abi Waqqash, dan dia berkata, “Aku tidak akan ikut campur dalam urusan kalian.” Lalu kami juga menemui Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail, dan dia pun berkata demikian.”
Sa’ad dan Sa’id serta shahabat-shahabat lain telah mengetahui bahwa surat tersebut adalah palsu. Bahkan Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu’anhu berkata, “Hal ini telah direncanakan di Madinah!”
Pada tahun terakhir dari pemerintahan Utsman, ia tidak berangkat menunaikan ibadah haji. MakaAbdurrahman bin Auf dan Sa’id bin Zaid pergi menunaikan haji sekaligus mendampingi para ummahatul mukminin Radhiyallahu’ Anhunna.

Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid : Bersama Ali bin Abi Thalib (Seri 10)


 Bersama Ali bin Abi Thalib

Setelah syahidnya Utsman, para shahabat membai’at Ali bin Abi Thalib. Dan di adalah yang terbaik saat itu. Dan Sa’id pun berada di urutan terdepan dalam membaia’at.
Ibnu Sa’ad berkata, “Ali bin Abi Thalib dibai’at sebagai khalifah sehari setelah terbunuhnya Utsman. Ia dibai’at oleh Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail, Ammar bin Yasir, Usamah bin Zaid, Sahl bin Hunaif, Abu Ayyub Al-Anshari, Muhammad bin bin Maslamah, Zaid bin Tsabit, Khuzaimah bin Tsabit, dan seluruh shahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam yang berada di Madinah, serta anggota masyarakat lainnya.”
Ketika terjadi fitnah perang Jamal dan Shiffin serta yang lainnya Sa’id memilih untuk mengasingkan diri dari kedua kubu, dan tidak menghunus pedangnya atas siapapun. Dan sikap ini juga banyak diambil oleh shahabat lain seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, Muhammad bin Maslmah, Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, dan yang lainnya.
Bersambung Insya Allah . . .

Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid : Bersama Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Seri 11)


. Pada Masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan

Tahun 41 H dikenal sebagai tahun jamaah, dimana kaum muslimin membai’at Mu’awiyahRadhiyallahu’ Anhu. Sa’id pun melakukan apa yang dilakukan oleh para pemuka shahabat yang masih ada saat itu. Ia tidak melepaskan tangannya dari ketaatan kepada khalifah.Gubernur Madinah saat itu adalah Marwan bin Al-Hakam, ia sangat mengenal para shahabat, mengerti kedudukan dan keutamaan mereka, khususnya Sa’id bin Zaid, yang merupakan tokoh paling terkemuka di Madinah saat itu.
Ath-Thabrani, Al-Hakim, dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Khalid Ath-Thahhan, dari Atha’ bin As-Saib, dari Muharib bin Ditsar, bahwasanya Ibnu Sa’id bin Zaid telah bercerita kepadaku, ia berkata, “Mu’awiyah mengirim utusan kepada Marwan bin Al-Hakam di Madinah dan memerintahkannya agar berbai’at untuk putranya Yazid. Sementara Sa’id bin Zaid saat itu sedang tidak berada di Madinah. Maka Marwan pun menunggunya. Seorang laki-laki dari Syam bertanya kepada Marwan, “Apalagi yang kau tunggu?” Ia menjawab, “Sampai Sa’id bin Zaid datang, sesungguhnya ia adalah tokoh besar Madinah, kalau ia berbai’at, maka orang-orang pun akan ikut berbai’at.” Ibnu Sa’id berkata, “Maka Sa’id  sengaja terlambat sampai kemudian Marwan terpaksa mengambil bai’at penduduk Madinah, dan Sa’id memilih untuk tidak ikut.
Sikap ini merupakan cerminan dari kebijaksanaan sikap wara’ yang dimiliki Sa’id Radhiyallahu’ Anhu. Ia tidak ingin mengobarkan fitnah kepada Mu’awiyah dan Marwan. Walaupun dengan kedudukannya sebagai tokoh terkemuka di Madinah, dan seseorang yang telah dikenal keutamaan dan masa lalunya oleh masyarakat. Namun ia memilih untuk terlambat sampai pengambilan bai’at tersebut selesai. Ia juga tidak ikut berbai’at karena ia tidak sependapat untuk membai’at orang lain sementara khalifah masih ada. Tapi kalau kemudian khalifah telah wafat, maka saat itu, kaum muslimin boleh membai’at siapapun yang mereka kehendaki.
Bersambung Insya Allah . . .

Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid : Kepergiannya (Seri 12)


1. Kelahirannya, Wafatnya, dan Usianya

a. Kelahirannya

Kitab-kitab sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran Sa’id namun bisa diperkirakan dengan memperhatikan keadaan  yang ada. Telah disepakati bahwa ia masuk Islam pada hari-hari pertama dari diutusnya Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam, dan ikut bersamanya istrinya Fathimah binti Khaththab. Ini berarti bahwa pada saat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam diutus menjadi Nabi, ia adalah seorang laki-laki dewasa yang telah mampu memikul beban sebuah perkawinan. Dan itu berarti sekitar akhir dari sepuluh tahun kedua dari usianya, dan ini dikuatkan dari apa yang dikatakan tentang usianya saat ia wafat.

b. Wafatnya

Yahya bin Bukair, Ibnu Numair, Al-Waqidi, Khalifah bin Khayyath, Amru bin Ali, dan beberapa orang lainnya berkata, bahwa Sa’id wafat pada tahun 51 H.
Dan disebutkan dalam riwayat lain apda tahun 52 H. Dan yang betul adalah riwayat pertama.

c. Usianya

Al-Mada’ini berkata, “Sa’id meninggal saat berusia tujuh puluh tiga tahun.”
Dan ini tidak benar, karena dengan demikian berarti pada saat Rasul diutus sebagai Nabi ia baru berusia sembilan tahun, dan ini dimentahkan dengan fakta bahwa saat ia masuk Islam pada masa awal kenabian, ia telah menikah. Apakah mungkin seorang anak berusia sembilan tahun telah menikah dan bergabung dengan kafilah dakwah yang akan menanggung berbagai cobaan dan siksaan?! Dan berani menantang Umar sebagaimana yang telah diceritakan pada kisah Islamnya Umar? Seorang anak kecil tidak mungkin dan tidak akan mampu melakukan itu.
Al-Waqidi dan yang lain mengatakan, “Ketika wafat ia berusia tujuh puluh lebih beberapa tahun”
Ini lebih masuk akal. Kalau kita katakan, Bahwasanya Sa’id menikah beberapa waktu sebelum kenabian, saat usianya lima belas tahun, maka saat hijrah usianya adalah dua puluh delapan tahun. Sementara wafatnya adalah pada tahun 51 H. Dengan demikian didapatkan bahwa pada saat wafat, usianya adalah tujuh puluh sembilan tahun. Wallahu A’lam.

2. Berita wafatnya, dan Penyelenggaraan Jenazahnya

Al-Bukhari meriwayatkan dari Nafi’ pembantu Ibnu Umar, ia mengatakan “Ibnu UmarRadhiyallahu’anhu diberitahu bahwa Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail,  yang merupakan ahli Badar, menderita sakit pada hari Jum’at. Maka ia segera berangkat kerumahnya pada saat siang telah mulai meninggi dan waktu shalat jumat telah dekat, dan ia meninggalkan shalat jumat.”
Dan Abdurrazzaq, Ibnu Sa’ad, dan Al-hakim meriwayatkan dari Nafi’ “Dari Abdullah bin Umar, bahwa ia diberitahu tentang Sa’id bin Amru bin Nufail pada hari Jumat setelah matahari meninggi, maka Ibnu Umar mendatanginya di Aqiq dan meninggalkan shalat jumat.”
Dan dalan sebuah riwayat, “Dari Ibnu Umar bahwasanya ia diberi tahu tentang sa’id bin Zaid pada jumat, dan ia sedang bersiap untuk shalat jumat, maka ia berangkat menemui Sa’id dan meninggalkan shalat jumat.”
Ibnu Sa’ad dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Nafi’, ia berkata, “Sa’id bin Zaid meninggal dan ia adalah seorang ahli Badar, maka Ummu Sa’id berkata kepada Abdullah bin Umar , “Apakah engkau akan membalurinya dengan minyak kasturi?” Ia menjawab, “Adakah yang lebih wangi dari kasturi?” Berikanlah minya itu kepadaku.” Ia pun memberikannya. Ibnu Umar berkata, :Kami tidak pernah melakukan apa yang biasa kalian lakukan, kami biasanya membalurinya dengan minyak pada bagian bawah perut, yakni bagian yang memiliki kulit yang halus, dan juga bagian dalam dari kedua paha.”
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Aisyah binti Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata, “Ayahku Sa’ad bin Malik memandikan Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nufail di Aqiq. Kemudian mereka mengangkatnyaa dan membawanya bersama mereka. Ketika sampai dirumah, Sa’ad masuk dan orang-orang ikut bersamanya. Lalu Sa’ad mandi, dan kemudian keluar menemui orang-orang yang bersamanya, dan berkata, “Sesungguhnya aku tidak mandi karena telah memandikan jenazah Sa’id, namun aku mandi karena udara yang panas.”
Abdullah bin Umar-lah yang menshalatinya. Sa’id meninggal di Aqiq (Aqiq merupakan sebuah lembah yang terkenal di Madinah, mengelilingi kota mulai dari selatan , barat dan terus ke utara. Lembah ini merupakan tempat terbaik di Madinah baik udara maupun airnya. Pada awal masa datangnya Islam, di sana banyak terdapat istana-istana mewah, kebun-kebun indah dan buah-buahan yang ranum. Juga taman-taman yang yang luas, dan lapangan tempat menggembala ternak yang hijau), kemudian ia diangkat dan dibawa untuk dikuburkan di Madinah. Yang ikut menyaksikan kepergiannya antara lain Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu Umar, para shahabat RasulullahShallallahu’alaihi wa Sallam, kaum kerabat dan keluarganya.
Dan yang turun di kuburannya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash  dan Ibnu Umar. Adapaun riwayat yang mengatakan bahwa ia meninggal di Kufah adalah sebuah kekeliruan yang besar.
Bersambung Insya Allah . . .

Biografi Sahabat Nabi, Sa’id Bin Zaid : Data-Data Pribadi Dan Keturunannya Yang Penuh Berkah (Seri 13)


1. Ayahnya Zaid bin Amru bin Nufail

Zaid adalah orang yang paling bijaksana di Quraisy, paling bersih pikirannya, dan paling tinggi pemikirannya, serta paling suci fitrahnya. Dia orang yang paling menjaga kebersihan diri, dan satu diantara mereka yang mempunyai kepribadian yang lurus, yang meninggalkan agama quraisy, mencampakan berhala-berhala dan menjauhkan diri dari kemusyrikan. Ia memilih untuk mengikuti agama Ibrahim Alaihissalam, dan sangat menantikan diutusnya seorang Nabi dari keturunan IsmailAlaihissalam. Namun kematian menghalanginya untuk mencapai cita-citanya tersebut. Ia wafat lima tahun sebelum kenabian, (Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam telah melihatnya di surga, memohonkan ampun baginya, dan memintakan rahmat  Allah untuknya).
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu’anhuma, “Bahwasanya NabiShallallahu’alaihi wa Sallam pernah bertemu Zaid bin Amru bin Nufail di bawah Baldah (sebuah lembah yang terletak di jalan antara Tan’im dan Mekah), sebelum turunnya wahyu. Kemudian diberikan kepada Nabi sebuah makanan, namun beliau menolak untuk memakannya (makanan tersebut berasal dari orang-orang quraisy yang diberikan kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam, namun beliau menolak untuk memakannya. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallammemberikannya kepada Zaid bin Amru, dan diapun menolak untuk memakannya). Lalu Zaid berkata, “Aku tidak akan memakan apa yang kalian sembelih untuk patung-patung kalian, dan aku tidak akan memakan kecuali yang disebut nama Allah padanya.” Zaid bin Amru sering mencela Quraisy atas sembelihan-sembelihan mereka, dan berkata, “Kambing itu diciptakan oleh Allah yang menurunkan air dari langit untuknya, dan menumbuhkan tumbuhan dari bumi untuknya. Kemudian kalian menyembelihnya tanpa menyebut nama Allah!”. Ini dilakukannya sebagai sebuah pengingkaran atas perbuatan Quraisy tersebut, dan betapa ia melihat hal itu sebagai perkara yang sangat besar.
Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu Umar, “Bahwasanya Zaid bin Amru bin Nufail pergi menuju Syam untuk mencari sebuah agama yang akan ia ikuti, ia bertemu dengan seorang ulama yahudi, dan bertanya tentang agama mereka, ia berkata, “Sungguh, siapa tahu aku akan memeluk agama kalian, maka beritahukanlah kepadamu.” Ia menjawab, “Engkau tidak akan memeluk agama kami, sampai engkau mendapatkan bagianmu kemurkaan dari Allah.” Zaid berkata, “Justru dari kemurkaan Allah-lah aku lari, dan aku tidak akan pernah membawa kemurkaan Allah selamanya, dan bagaimana mungkin aku bisa? Dapatkah engkau menunjukkan padaku agama lain?” ia menjawab, “Tidak ada lagi yang aku ketahui, kecuali sebuah agama yang lurus.” Zaid bertanya, “Dan apa itu agama yang lurus?” Ia menjawab, “Tidak ada lagi yang aku ketahui, kecuali sebuah agama yang lurus.” Zaid bertanya, “Dan apa itu agama yang lurus?” Ia menjawab, “Agama Ibrahim, dia bukanlah seorang yahudi atau nasrani, dan dia hanya menyembah Allah.” Zaid pun pergi melanjutkan perjalanan dan bertemu dengan seorang ulama nasrani. Ia pun bertanya hal yang sama. Dan ia menjawab, “Engkau tidak akan memeluk agama kami, sampai engkau mendapatkan laknat dari Allah.” Zaid berkata, “Justru laknat dari Allah-lah aku lari, dan aku tidak akan pernah membawa laknat dan kemurkaan Allah selamanya, dan bagaimana mungkin aku bisa? Dapatkah engkau menunjukkan padaku agama lain?” Ia menjawab, “Tidak ada lagi yang aku ketahui, kecuali sebuah agama yang lurus.” Zaid bertanya, “Dan apa itu agama yang lurus?” Ia menjawabm “Agama ibrahim, dia bukanlah seorang yahudi atau nasrani, dia hanya menyembah Allah.” Ketika Zaid mendengar apa yang mereka katakan tentang Ibrahim Alaihissalam, ia keluar. Dan ketika berada di luar, dia mengangkat kedua tangannya dan berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku bersaksi bahwa aku memeluk agama Ibrahim.”
Al-Bukhari meriwayatkan dan sekaligus mengomentari, dan dilanjutkan oleh Ibnu Sa’ad dan yang lainnya, dari Asma binti Abu Bakar Radhiyallahu’anhuma, berkata, “Aku pernah melihat Zaid bin Amru berdiri, menyandarkan punggungnya di Ka’bah, dan berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, demi Allah, tak seorangpun di antara kalian yang memeluk agama Ibrahim selainku,” Zaid adalah seorang yang senantiasa menolong anak-anak wanita yang akan dikuburkan hidup-hidup oleh orang tua mereka. Ketika ada seseorang yang akan membunuh anak perempuannya, ia berkata, “Janganlah kau bunuh dia, aku yang akan mencukupkan kebutuhannya untukmu.” Lalu ia mengambil anak tersebut. Dan apabila anak tersebut mulai tumbuh besar, ia akan berkata kepada ayahnya, “Kalau engkau mau maka aku akan mengembalikannya kepadamu, atau kalau kau mau, aku hanya akan mencukupkan kebutuhannya.”
Ibnu Sa’ad, Al-Fakihi, dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Amir bin Rabiah, ia berkata, “Zaid bin Amru berkata kepadaku, sungguh aku telah menyelisi kaumku, dan aku telah mengikuti agama Ibrahim dan ismail, dan apa yang telah mereka sembah, dan mereka shalat dengan menghadap kiblat ini. Aku sedang menunggu seorang nabi yang akan diutus dari keturunan Ismail, namun aku merasa tidak akan dapat mendapatkannya. Tapi aku beriman kepadanya, membenarkannya, dan bersaksi bahwa ia adalah seorang Nabi. Kalau nanti umurmu panjang maka sampaikanlah salamku kepadanya.” Amir berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memberitahukan kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallamtentangnya. Dan beliau membalas salamnya, mendoakannya, dan berkata “Sungguh aku telah melihatnya di surga menarik ujung bajunya.”
An-Nasa’i meriwayatkan dari Asma binti Abu Bakar, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallammenyebutkan nama Zaid bin Amru bin Nufail dan bersabda, “Dia akan dibangkitkan pada hari kiamat sendirian sebagai sebuah umat, antara Aku dan Isa.”
Dan Ibnu Asakir meriwayatkan dengan sanad hasan dari Aisyah, dari Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam“aku memasuki surga dan melihat Zaid bin Amru bin Nufail mempunyai dua pohon yang sangat besar.”

2. Ibunya

Fathimah binti Ba’jah, dari Bani Khuza’ah

3. Saudari Perempuannya

Atikah binti Zaid, istri dari Zubair bin Awwam, dan telah diceritakan tentangnya sebelumnya

4. Istri-istrinya

  1. Fathimah binti Khaththab, Sebagian menyebutnya, Ramlah dan yang lain memanggilnya Ummu Jamil. Dia adalah seorang shahabiyah yang mengagumkan. Adik dari Al-Faruq dan masuk Islam sebelumnya. Bahkan dialah penyebab masuk Islamnya Umar, sehingga dia memeluk Islam di rumahnya Radhiyallahu’anhuma. Dia adalah satu di antara wanita yang pertama kali masuk Islam. Tidak ada yang mendahuluinya selain ummul mukminin Khadijah. Dan dikatakan, sebelum Khadijah dan Ummul Fadhl istri dari Abbas bin Abdul Muththalib.
  1. Hazmah binti Qais bin Khalid Al-Fihriyyah, seorang shahabiyah, saudari dari Fathimah binti Qais dan Adh-Dhahhak bin Qais.
  2. Jalisah binti Suwaidh bin Ash-Shamit
  3. Umamah binti Ad-Dujaij, dari Ghassan
  4. Dhimk binti Al-Ashbagh Al-Kalbiyyah
  5. Ummu Basyir binti Abu Mas’ud Al-Anshari
  6. Ummul Aswad, dan binti Qurbah, mereka berdua dari Bani Taghlib
  7. Dan Ummu Khalid, ummu walad.

5. Anak-anaknya

Disebutkan bahwa Sa;id memeilih tiga puluh empat anak, lima belas laki-laki dan sembilan belas perempuan
Adapun yang laki-laki adalah Abdullah Al-Akbar, Abdullah Al-Ash-ghar, Abdurrahman Al-Akbar, Abdurrahman Al-Ashghar, Ibrahim Al-Akbar, Ibrahim Al-Ashghar, Amru Al-Akbar, Amru Al-Ashghar, Muhammad, Thalhah, Khalid, Zaid, Al-Aswad, Umar, dan Hisyam.
Dan yang perempuan adalah Ummul Hasan Al-Kubra, Ummul Hasan Ash-Shughra, Ummu Habib Al-Kubra, Ummu Habib Ash-Shughra, Ummu Zaid Al-Kubra, ummum Zaid Ash-Shughra, Aisyah, Atikah, Hafshah, Zainab, Ummu Salamah, Ummu Musa, Ummu Sa’id Ummu An-Nu’man, Ummu Khalid, Ummu Shalih, Ummu Abdul Haula’. Zajlah, dan Asma.
Keturunannya berada di Kufah, dan tidak ada lagi anak keturunannya yang berada di Madinah.
Asma adalah seorang shahabiyah, dan tidak diragukan bahwa beberapa anaknya juga adalah seorang shahabat. Sa’id telah menikah sejak awal dakwah Islam dimulai dan mendampingi NabiShallallahu’alaihi wa Sallam selama dua puluh tiga tahun. Maka tidak masuk akal kalau seluruh anak-anaknya lahir setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Tidak diketahui adanya anak-anak Sa’id yang menjadi ulama, dan mungkin ini menjadi salah satu sebab tidak adanya pembahasan tentang mereka.
Selamat bagi Sa’id atas kebersamaannya yang panjang dan penuh berkah bersama RasulullahShallallahu’alaihi wa Sallam, dan pembelaannya atas beliau, serta jihadnya di baah panji beliau. Kemudian selamat baginya bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam telah memberikan kabar gembira dengan surga. Dan bersaksi baginya bahwa ia termasuk mereka yang jujur, dan saat beliau wafat, beliau ridha kepadanya.
S e l e s a i . . .