Kamis, 26 Mei 2016

Berpeling Dari Peringatan Allah

Pembaca yang budimana, Allah SWT telah memerintahkan kita untuk beriman, bertaqwa, dan berihtiar dalam hidup dan kehidupan kita, kita tidak boleh ragu sedikitpun tentang rahmat Allah, Perintah Allah, Peringatan Allah dan bahkan ancaman Allah,  kita belum pantas dikatakan beriman ketika kita meragukan salah satu dari perintah Allah misalnya tentang "Berhukumlah dengan hukum Allah" jadi hukum yang kita terapkan dalam kehidupan ini hukum buatan kita sendiri atau hukum dari Allah SWT.  karena banyak dari kita kaum muslimin yang menganggap bahwa hukum Allah itu tidak layak untuk manusia, nah kalau begitu yang menciptakan kita siapa?  pertanyaan ini haru kita jawab dengan jujur, apakah ada ayat-ayat Allah yang kita ingkari, bagaimana dengan hukuman bagi pencuri yang sudah jelas dari Rasul kita Muhammad SAW, bahwa hukum potong tangan bagi pencuri, jika kadar yang dicuri sampai pada kadarnya.  masih kita tidak mau mematuhi hadis tetang potong tangan.  Kemudian hukuman bagi pezina, dirajam bagi yang sudah kawain, dan didera(cambuk)  untuk yang belum kawin. apakah ketika kita tidak mengikuti tentang hukuman itu kita masih beriman? tidak saudara.   
Keimanan itu adalah percaya sepenuhnya tentang adanya Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, hari akhir, kadha dan kadhar (baik Buruknya Dari Allah).  iman tak sekedar tauhid, akhlak, sedekah, amal baik tapi juga terkai dengan aturan hidup kita harus memakai aturan dari Allah.  misalnya dalam Berekonomi harus ekonomi islam bukan kapitalisme, pemerintahan islam bukan pemerintahan sekuler, pendidikan islam bukan pendidikan sekuleris kapitalis, sosial islam bukan sosial hedonisme, budaya islam bukan budaya borjuis hedonistik, hukum islam bukan hukum barat atau hukum buatan penjajah yang nota bene menyengsarakan rakyat.  keluarga islam, masyarakat islami dsb.  
Bagi kita sebagai muslim sejati sebaiknya dan seharusnya yang kita kaji adalah persoalan muamalah, hubungan manusia dengan dirinya dan hubungan manusia dengan manusia lainnya karena terkait dengan boleh tidaknya hubungan itu, misalnya cara berpakaian, cara makan, minum, apakah sesuai denga aturan Allah atau tidak, hubungan dengan manusia lain apakah sudah sesuai dengan Alquran dan Assunnah, atau tidak.  Dalam hubungan kita dengan

Selasa, 24 Mei 2016

Menghadapi Bulan Ramadhan 1437 H

Marhaban Ya Ramadhan.....
Bulan yang penuh dengan keutamaan-keutamaan, bulan yang suci yang selalu ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang beriman, memberikan banyak berkah kepada orang yang ingin bersedekah, menjadi harapan buat orang fakir dan miskin karena ada bagian mereka, menjadikan orang-orang yang melaksanakan ibadah puasa ramadhan menjadi orang yang bertaqwa. bulan yang di dalamnya pintu surga dibuka lebar dan pintu neraka ditutup rapat-rapat, syetan-syetan dibelenggu, tingkat keimanan kaum muslimin meningkat hingga 100 derajat, bulan yang didalamnya rahmat Allah diturunkan, maqfirah Allah diturunkan dan ampunan Allah dibuka lebar.  
Banyak orang yang justeru begitu senang menyambut kedatangan Ramadhan dan tampak sedih saat Ramadhan pamit meninggalkan kita karena memang tak ada jaminan jika pada tahun selanjutnya akan bisa kita laksanakan ibadah di bulan Ramadhan itu. Mungkin bisa jadi umur kita tidak panjang. Karenanya jelas yang mesti dilakukan adalah bagaimana kita memanfaatkan Ramadhan yang hadir ini sebaik-baiknya dan menjadikannya sebagai ajang untuk meningkatkan kualitas keimanan kita untuk 11 bulan mendatang.
Jadi teramat sia-sia orang yang tak memanfaatkan Ramadhan secara optimal. Justeru kebanyak orang malaha asyik mempersiapkan acara untuk Idul Fitri yang jika diukur dengan uang bukanlah uang yang sedikit jumlahnya. Justeru bukan di situ titik tekannya, melainkan sebenarnya bagaimana kaum muslimin menjadikan momentum Ramadhan untuk bisa meningkatkan keimanannya serta bagaimana ia mampu membentuk akhlaknya untuk menjadi muslim yang taat kepada Allah serta mencintai sesamanya.
"Sekiranya manusia mengetahui kebaikan-kebaikan yang terdapat di bulan Ramadhan, tentu mereka mengharapkan agar seluruh bulan adalah Ramadhan. " (HR Ibnu Huzaimah).

Selasa, 17 Mei 2016

Maafin yah

Menghadapi bulan suci ramadhan 147 H, kita bersihkan hati kita dari perasaan dengki, iri, tamak, rakus, sombong, jengkel ataupun marah kepada seseorang, teman, saudara, orang tua, guru dll.
kita tingkatkan keimanan kita menujuh bulah yang penuh berkah, rahmat dan magfirah. mumpung masih ada waktu kita hidup di dunia ini, esok kita belum tau apa masih ada buat kita atau kita akan kembali menghadap ilahi Rabbi. maka pada kesempatan yang baik ini izinkan saya, keluarga saya dan teman-teman saya jika ada salah dan khilaf tolong di maafkan, sekali lagi maaf yah!
karena saya yakin pasti banyak kekeliruan yang pernah aku lakukan baik itu disengaja maupun yang tidak disengaja. jika kalian semua para aktivis sosmed bisa memaafka aku, kami maka itu pertanda bahwa masih ada benih-benih iman dalam diri kita dan kalian. bulan yang suci jangan kita kotori dengan perasaan-perasaan yang tidak baik. wallahu'alam bissawab. billahi fisabililhaqq wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh (hafidz sekeluarga)

Minggu, 15 Mei 2016

Ujian Semeseter

Pelaksanaan ujian semester smkn 1 tinangkung di mulai poada tanggal 16 Mei 2016, mengingat waktu libur puasa semakin dekat.


Minggu, 08 Mei 2016

Berpaling dari Syariah Menuai Bencana Asap


kebakaran-hutanOleh: Bintoro Siswayanti (anggota Lajnah Mashlahiyyah MHTI)
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (TQS. asy-Syura [42]: 30).
Bencana asap terjadi karena secara kausalitas pemanfaatan lahan gambut menyimpang dari sunnatullah karakter alami gambut dan juga sunnatullah tata kelola syariah lahan gambut yang merupakan harta milik umum.
Pada hakikatnya, bencana Allah timpakan agar kita kembali taat kepada Allah dan agar Allah mengampuni kesalahan-kesalahan kita. Bencana asap menunjukkan buruknya riayah atau pengelolaan urusan oleh negara. Negara lebih mengedepankan unsur bisnis ketimbang mengelola hak hajat dasar rakyat atas lahan gambut.
Sudah lazim diketahui bahwa pemerintah daerah maupun pusat kerap tunduk pada kepentingan para pengusaha kuat. Termasuk mengalihfungsikan lahan yang semestinya menjadi kawasan resapan air, penstabil kelembapan udara, penyimpan karbon terbesar dunia, dan penyeimbang iklim dunia menjadi kawasan bisnis, yakni bisnis pulp n paper terbesar dunia dan bisnis sawit terbesar kedua dunia.
Padahal kawasan gambut kita apabila digabung seluas pulau Jawa. Lahan gambut adalah sejenis batubara muda biasanya dalam cekungan yang diapit oleh dua hutan tropis. Air yang mengalir dari hutan tropis akan tertampung dalam rawa gambut tersebut.
Lahan gambut yang terendam air tersebut merupakan karunia Illahi. Genangan air yang membasahi gambut sehingga pada kondisi alami tersebut gambut sangat sulit terbakar. Tekstur gambut seperti spons menyerap air banyak, apabila musim kemarau panjang datang uap air akan dilepas sdikit demi sedikit sehingga udara tetap terasa nyaman bagi penduduk. Lahan rawa gambut juga sebagai sumber air dan mata pencaharian penduduk. Disamping ekosistem yang baik dan tempat tumbuh kayu-kayu langka.
Saat ini, justru gambut diciderai, dikeluarkan dari sifat sunnatullah alaminya. Lahan gambut dikeringkan agar dapat ditanami pohon kayu akasia dan kelapa sawit. Dikeringkan dengan cara membuat kanal-kanal atau parit untuk mengalirkan air rawa tersebut ke sungai atau laut.
Tentu saja, batubara muda dalam keadaan dikeringkan tersebut akan mudah sekali terbakar saat musim kemarau. Lebih parahnya lagi, lahan gambut kering tersebut memang dibakar oleh pengusaha tanaman industri dan kelapa sawit agar lahan memadat dan pH tanah tidak terlalu asam untuk ditanami tanaman tersebut.
Karena lahan gambut dikeringkan, musim kemarau terasa menyiksa. Terjadi kekurangan sumber air dan juga udara menjadi sangat kering karena sedikitnya titik-titik air yang diuapkan dari lahan gambut.
Jadi wajar ketika kebakaran sulit sekali dipadamkan oleh tim manggala agni, sebab sulit mendapatkan suplai air. Tim pembuat hujan buatan pun sulit berhasil sebab sedikitnya uap air di udara.
Itu dari sisi pemanfaatan lahan gambut keluar dari sunnatulah sifat alami gambut.
Adapun dari sisi menyimpang dari sunnatullah syariat tata kelola gambut adalah sebagai berikut: secara sifat keberadaannya, maka gambut dapat dikategorikan sebagai harta milik umum berdasar mafhum hadits “kaum muslim berserikat atas 3 hal…”.
Maka atas harta jenis milik umum tersebut, Asy-Syari’ (Allah Swt) menetapkan negara sebagai pengelolanya untuk kemaslahatan pemilik harta tersebut, yakni masyarakat.
Harta ini tidak seperti harta-harta lain yang ditetapkan Asy-Syari’ sebagai harta milik negara. Oleh sebab itu, negara harus hadir secara riil dan langsung mengelolanya untuk masyarakat, tidak boleh menyerahkan tanggungjawab pengelolaannya kepada pihak lain (swasta). Sementara saat ini pemerintah melalui nawacitanya, meski di satu sisi meng-klaim selalu hadir di tengah rakyat, namun kehadirannya tidak langsung, melainkan hadir sebagai regulator saja dan pengelolaan lahan gambut dilakukan oleh swasta.
Tentu saja sangat berbeda secara filosofis, antara naluri pengelola urusan rakyat dengan naluri pengusaha. Pengusaha tidak akan berpikir bagaimana melayani kemaslahatan rakyat, yang dipikirkannya adalah untung.
Mengelola lahan gambut secara teknologi pengelolaan  yang benar butuh biaya 10x lipat daripada membakar, tentu pengusaha akan pilih opsi membakar yang murah meriah.
Akhir tahun 2014 REDD+ melakukan audit. Hasilnya, 100% perusahaan tidak taat pencegahan kebakaran lahan. Wajar-lah uang lebih menarik bagi bisnis, bukan dampak ISPA, anak-anak banyak yang menjadi korban jiwa, kehilangan plasma nutfah, dsb. Toh pikir pengusaha, jika kebakaran membesar, nanti juga ada BNPB yang menangani dan didanai negara trilyunan rupiah.
Disamping itu secara syariat, status harta milik umum menjadikan harta tersebut tercegah untuk diproteksi secara istimewa bagi individu tertentu (swasta) kemanfaatannya. Jadi kesalahan fatal menyalahi syariat, negara memberikan hak konsesi lahan tersebut bagi pengusaha.
Jadi bencana ini adalah peringatan Allah, agar kita kembali taat mengikuti sunnatullah-Nya. Yakni agar kita kembali kepada syariat-Nya.
Karena pelaku kemaksiatan terbesar pada kasus ini adalah negara, maka kita perlu amar makruf kepada penguasa. Apabila amar makruf ditinggalkan, maka Allah mengancam doa-doa orang shalih tidak akan dijawab. Kita khawatir shalat istisqa kita tidak segera terkabul, padahal memadamkan titik-titik api di lahan gambut tersebut benar-benar bergantung kepada kemurahan Allah SWT untuk menurunkan hujan lebat. Oleh sebab itu doa-doa harus segera diiringi dakwah kepada penguasa dan berbagai pihak agar kausalitas kembali pada sunnatullah tata kelola lahan gambut yang benar tersebut segera diterapkan. Wallahu a’lam bish showab [].Sumber http://hizbut-tahrir.or.id/2015/11/05/berpaling-dari-syariah-menuai-bencana-asap/

Menyoal Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pemenuhan Kesehatan Publik

BPJSOleh Dr.Rini Syafri (Koordinator Lajnah Mashlahiyah)
Setelah terjadi polemik dari berbagai kalangan terkait PerPres Nomor 19 Tahun 2016 yang memuat ketentuan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, akhirnya Presiden menunda kenaikan Iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III, tetap Rp 25.500 per 1 April 2016. Alasan penundaan tersebut, karena pemerintah memandang masyarakat kelas III adalah kelas bawah (baca miskin) yang perlu mendapat perlindungan negara. Hal ini ditegaskan oleh Sekretaris Kabinet, Pramono Anung dalam pernyataannya: “Kami melihat, untuk yang kelas III perlu ada perlindungan yang diberikan oleh negara.” ( Republika 1 April 2016 halaman I).
Masih dari sumber yang sama, Pramono juga menyampaikan instruksi Presiden agar peserta BPJS Kesehatan kelas III diperbolehkan mendapat perawatan kelas I, jika memang membutuhkan. Sementara itu, terkait keberatan masyarakat terhadap kenaikan iuran bagi kelas I dan II, pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek menyatakan, ”Anggaplah saya peserta mandiri ingin di kelas I. Kalau dinaikkan Rp 80 ribu kemudian saya tidak mampu, bisa minta turun ke kelas II atau kelas III. Sekarang biaya kelas III ini sudah ditetapkan seperti dulu”, ( Republika, 2 April 2016).
BPJS Kekalkan Liberalisasi Kesehatan
Tampaknya berbagai kalangan utamanya yang aktif menyoal PerPres yang berisi kenaikan iuran BPJS Kesehatan mengamini sikap dan keputusan pemerintah tersebut. Bahkan boleh jadi dinilai sebagai sikap yang tepat dan bijaksana. Menjadi sebuah keniscayaan ketika masyarakat tidak memiliki gambaran apa yang seharusnya menjadi hak-haknya, dan apa yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah dengan logika kufur neoliberal beranggapan telah hadir memenuhi hak-hak publik ketika telah menanggung premi kalangan miskin dan menunda kenaikan premi kelas III. Karena berpandangan keberadaan BPJS Kesehatan seakan mutlak, sehingga harus dicegah dari kebangkrutan meski berkonsekuensi pada peningkatan premi kelas II dari Rp 42.500 menjadi Rp 51.000 dan kelas I dari Rp 59.500 menjadi Rp 80.000.
Sementara itu, BPJS Kesehatan secara konsep maupun faktualnya justru mengekalkan liberalisasi kesehatan yang tidak saja semakin menjauhkan masyarakat dari hak-haknya, namun juga memperparah beban penderitaan masyarakat. Misal beban finansial ganda, yaitu membayar premi wajib tiap bulan dan membayar lagi saat sakit karena berbagai sebab. Seperti kamar untuk pasien BPJS Kesehatan penuh, hingga persoalan ketiadaan obat, tenaga kesehatan, sementara penyakit harus segera diobati. Akibatnya, sakit bertambah parah dan bahkan diantara kehilangan nyawa. Karenanya buruknya pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan telah menjadi sorotan berbagai pihak (Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Ketua Fraksi IX DPR RI, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dalam polemik kenaikan iuran BPJS Kesehatan baru-baru ini.
Buruknya akses dan kualitas pelayanan kesehatan NHS (National Health System) yaitu model UHC (Universal Health Coverage, Asuransi kesehatan masal wajib) yang diadopsi Negara Inggris baru-baru ini kembali diberitakan. Seorang dokter terkemuka menyatakan, rumah sakit sudah kewalahan, pasien dapat meninggal akibat waktu tunggu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan yang melebihi waktu yang semestinya. (http://www.theguardian.com/society/2016/mar/10/nhs-hospitals-overwhelmed-patients-could-die-top-doctor). Berita ini memperpanjang daftar bukti tentang kesalahan prinsip-prinsip UHC (Indonesia JKN) tidak mampu diatasi oleh lamanya waktu, kemajuan teknologi dan upaya tambal sulam apapun. Kesalahan prinsip yang dimaksud utamanya adalah negara melepaskan tanggung jawab pengelolaan pelayanan kesehatan kepada lembaga keuangan asuransi kesehatan wajib masal BPJS Kesehatan.
Abainya Pemerintah
Sikap masyarakat tentu akan lain ketika mereka memahami dan menyadari bahwa layanan kesehatan adalah hak rakyat, baik yang miskin maupun yang kaya tanpa terkecuali. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik dari negara dan pemerintah. Pemerintah juga memahami dan bertanggung jawab memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak pelayanan kesehatan publik, yaitu pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi siapapun tampa membebani masyarakat dengan biaya sepeserpun. Artinya ketika negara hanya menggratiskan pelayanan kesehatan untuk orang miskin itupun kelas III sesungguhnya negara justru telah berlaku diskriminatif terhadap masyarakat.
Apa lagi bila semua pihak memahami bahwa program UHC-JKN dengan BPJS Kesehatan sebagai badan pengelolanya hanyalah wujud legal komersialisasi dan liberalisasi kesehatan yang selama ini menjadi sumber petaka di dunia pelayanan kesehatan. Konsep-konsep batil yang melandasi UHC-JKN menjadikan perbaikan teknis apapun tidak banyak gunanya untuk mewujudkan hak-hak publik dan terlaksanannnya tanggung jawab pemerintah. Sehingga berapapun nilai preminya dan bahkan sekalipun negara menanggung beban premi semua penduduk, namun negara tetap saja lalai.
Mengapa demikian? karena pemerintah telah menyerahkan tanggungjawab pentingnya, dalam hal pengelolaan dan pemenuhan hak-hak pelayanan kesehatan publik kepada lembaga bisnis keuangan BPJS Kesehatan. Bersamaan dengan itu, ditangan BPJS Kesehatan pelayanan kesehatan dikelola berdasarkan untung rugi, bukan pelayanan. Salah satu buktinya adalah keharusan membayar premi agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, yang tak jarang belum tentu bisa diperoleh. Di sinilah letak kedzaliman pemerintah terhadap puluhan juta jiwa penduduknya, yang semestinya negaralah yang terdepan dalam menghilangkan kezoliman tersebut.
Oleh karena itu, topik pembahasan yang seharusnya bukanlah naik tidaknya premi, tetapi apa yang semestinya menjadi tanggung jawab negara, apa yang menjadi hak publik dan bagaimana seharusnya negara hadir agar tanggungjawabnya tertunaikan dan disaat yang bersamaan hak-hak publik terhadap pelayanan kesehatan terpenuhi sebagaimana mestinya.
Pelayanan Kesehatan Dalam Sistem Islam
Rasulullah saw telah menegaskan melalui lisannya yang mulia, “Penguasa adalah penggembala dan penanggung jawab urusan rakyatnya”. (HR Bukhari). Hadist ini menjadi dasar pandangan bahwa negara adalah pihak yang bertanggung sepenuhnya terhadap pemenuhan hak-hak publik terhadap pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat.
Dijelaskan dalam kitab Ajhizatu Daulatil Khilafah (2005), halaman 128, bahwa Rasulullah saw dalam kapasitasnya sebagai kepala negara yang mengelola secara langsung pemenuhan berbagai kemashlahatan masyarakat, termasuk pelayanan kesehatan. Para Khalifah sesudah beliaupun mengikuti langkah ini. Masyarakat diberikan pelayanan kesehatan gratis denga biaya dari kas baitul maal.
Jika negara dan pemerintah benar-benar tulus dan berniat baik, maka negara wajib menggunakan konsep yang sohih, mengembalikan keutuhan wewenang dan tanggungjawabnya dalam memenuhi hak-hak pelayanan kesehatan publik. Yaitu dengan cara mengelola secara langsung dan sepenuhnya pemenuhan pelayanan kesehatan publik. Pemerintah harus meninggalkan logika dan konsep batil neoliberal yang selama ini telah menjauhkannya dari tugas mulia dan tanggungjawabnya. Konsep-konsep batil negara hanya sebagai regulator dan pengelolaan pelayanan kesehatan harus diserahkan pada BPJS Kesehatan serta berbagai pandangan yang bersumber dari reinventing government (ReGom)/Good Governance (GG) lainnya sudah saatnya untuk dicampakan. Karena inilah satu-satunya jalan agar kesehatan terlepas dari cengkraman komersialisasi dan liberalisasi.
Bersamaan dengan itu, negara wajib mengembalikan fungsi semua rumah sakit plat merah dan puskesmas sebagai perpanjangan tangan fungsi negara, wajib dikelola di atas prinsip pelayanan, bukan bisnis . Sehingga apapun alasannya tidak dibenarkan rumah sakit di- BLU-kan (Badan Layanan Umum) atau di-BLUD-kan (Badan Layanan Umum Daerah). Demikian pula segala hal yang berbau bisnis dan nyata-nyata menghambat fungsi pelayanan rumah sakit harus dihilangkan, termasuk sistem pelayanan berjenjang, konsep case mix dan kapitasi.
Seiring dengan itu, negara wajib menggunakan konsep anggaran yang bersifat mutlak dalam pembiayaan pelayanan kesehatan, dan meninggalkan konsep anggaran berbasis kinerja. Dikatakan bersifat mutlak karena negara wajib mengadakan sejumlah biaya yang dibutuhkan baik ada maupun tidak ada kekayaan negara pada pos pembiayaan kesehatan. Negara wajib men-support berapapun biaya yang dibutuhkan rumah sakit untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat. Karena penundaannnya dapat berakibat dhoror (penderitaan) masyarakat meski hanya satu orang.
Hal ini mengharuskan negara mengelola kekayaan negara secara benar, termasuk harta milik umum, sehingga negara memiliki kemampuan finasial yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Negaralah pihak yang paling bertanggungjawab mendirikan rumah sakit-rumah sakit, berikut segala sesuatu yang dibutuhkan untuk berjalannnya fungsi rumah sakit, termasuk dalam hal ini menyediakan para dokter dengan berbagai bidang keahlilannnya.
Adapun konsep otonomi daerah/ desentralisasi kekuasaan tidak saja terbukti menyulitkan terwujudnya hak-hak pelayanan kesehatan publik, namun lebih dari pada itu bertentangan dengan konsep yang sohih. Karena syari’at Islam telah menetapkan kekuasaan bersifat sentralisasi dan tata pelaksanaan bersifat desentralisasi.
Demikianlah sejumlah konsep sohih yang harus diadopsi pemerintah agar mampu menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Disaat bersamaan, meniscayakan hak-hak pelayanan kesehatan yang selama ini terampas akan kembali pada pemiliknya. Yaitu pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik, kapanpun dan dimanapun bagi siapapun. Penerapan konsep sohih inilah yang menjadi kunci bagi terwujudnya pelayanan kesehatan yang menyejahterakan dan memuliakan semua pihak, baik pemerintah, insan kesehatan maupun masyarakat secara keseluruhan.
Namun penting dicatat, sifat konsep-konsep sohih ini hanya compatible (serasi) dengan sitem politik Islam, khilafah Islam. Dan pemerintah mesti mengadopsinya sebagai sistem politik yang harus diterapkan dalam pengurusan urusan publik, termasuk urusan pemenuhan hak-hak pelayanan kesehatan masyarakat. Karenannya kehadiran syariat Islam berikut Khilafah Islam merupakan persoalan yang tidak perlu diperdebatkan lagi urgensitasnya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan” (TQS Al Anfal (8): 24).[]

Mendurhakai Orang Tua Menuai Petaka

Kita sudah lama mendengar bahwa Rasul SAW pernah bersabda, “Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu.” (Musnad Syihab al-Qadha’i).
Namun, saat ini, saat kehidupan makin sekular dan liberal, tak sedikit anak-anak Muslim yang tidak lagi menghormati apalagi berbakti kepada kedua orang tuanya. Tak sedikit anak yang tidak sopan dalam berbicara kepada orang tua, tidak berterima kasih kepada orang tua, menentang perintahnya bahkan menyakiti perasaan orang tua. Yang lebih parah, ada anak yang sampai tega menyakiti orang tua secara fisik, bahkan membunuh orang tuanya sendiri. Padahal Allah SWT telah berfirman: Tuhanmu telah mewajibkan agar kalian tidak menyembah selain Dia dan agar kalian berbuat baik kepada kedua orang tua (TQS al-Isra’ [17]: 23).
Terkait itu, Ibn Abbas ra berkata, “Ada tiga ayat yang turun, yang di dalamnya satu perkara dikaitkan dengan perkara lainnya; yang salah satunya tidak bisa diterima tanpa melibatkan yang lainnya. Pertama: Firman Allah SWT yang berbunyi, “’Athi’ulLah wa ‘athi’ur-Rasul (Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul).” Siapa saja yang menaati Allah tetapi tidak menaati Rasul maka ketaatannya tidak diterima. Kedua: Firman Allah, “Aqimush-shhalah wa atuz-zakah (Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat).” Siapa saja yang menunaikan shalat tetapi tidak mau membayar zakat maka shalatnya tidak diterima. Ketiga: Firman Allah, “An asykur Li wa liwalidayka (Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu).” Siapa saja yang bersyukur kepada Allah tetapi tidak bersyukur (berterima kasih) kepada kedua orang tuanya maka syukurnya tidak diterima. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda, ‘RidhalLah fi ridha al-walidayn wa sukhtulLah fi sukhti al-walidayn (Ridha Allah ada pada ridha orang tua. Murka Allah ada pada murka orang tua). (Adz-Dzahabi, Al-Kaba-ir, I/13).
Ibn Umar berkata bahwa seorang laki-laki pernah meminta izin kepada Nabi SAW untuk berjihad bersama beliau. Nabi SAW bertanya, “Apakah orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu Nabi SAW bersabda, “Berbaktilah kepada kedua orang tuamu terlebih dulu, lalu berjihadlah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis ini jelas sekali, berbakti kepada orang tua dan melayani mereka lebih diunggulkan/diutamakan daripada berjihad di jalan Allah SWT.
Durhaka kepada orang tua adalah dosa besar sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW bersabda, “Maukah kalian aku beri tahu dosa besar yang paling besar: Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Perhatikanlah, bagaimana Rasul SAW mengaitkan sikap buruk dan durhaka kepada kedua orang tua dengan sikap menyekutukan Allah SWT.
Rasul SAW juga bersabda, “Andai Allah menginformasikan ada yang lebih remeh dari sekadar mengucapkan kata “Ah!” (kepada kedua orang tua) maka pasti Allah akan melarang hal demikian. Karena itu lakukan saja oleh orang yang durhaka kepada kedua orang tua apa saja yang mereka inginkan, niscaya mereka tidak akan pernah masuk surga. Lakukan pula oleh orang-orang yang berbakti kepada kedua orang tua apa saja yang mereka kehendaki, niscaya mereka tidak akan pernah masuk neraka selama-lamanya.” (Adz-Dzahabi, Al-Kaba-ir, I/14).
Durhaka kepada orang tua akan mendatangkan azab yang cepat bagi pelakunya. Rasul SAW bersabda, “Setiap dosa Allah tunda (azabnya) sampai Hari Kiamat, kecuali dosa durhaka kepada kedua orang tua; maka azabnya Allah segerakan atas pelakunya di dunia sebelum dia mati.” (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).
Terkait durhaka kepada kedua orang tua, Kaab al-Ahbar pernah ditanya, “Apa yang dimaksud dengan durhaka kepada kedua orang tua?” Ia menjawab, “Yaitu jika ayah atau ibunya membagi sesuatu kepada dia, dia tidak menerimanya dengan baik; jika keduanya memerintah dia, di tidak melakukannya; jika keduanya meminta kepada dia, dia tidak memberi; jika keduanya memberi amanah, dia tidak tunaikan.” (Adz-Dzahabi, Al-Kaba-ir, I/14).
Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasul SAW pernah bersabda, “Ada empat kelompok manusia yg menjadi hak Allah untuk tidak memasukkan mereka ke dalam surganya dan mereka tidak akan menikmati sedikitpun nikmat surga di dalamnya: pemeras khamar, pemakan riba, pemakan harta anak yatim secara zalim dan orang yang durhaka kepada kedua orang tua—jika mereka tidak bertobat.” (Adz-Dzahabi, Al-Kaba-ir, I/14).
Terkait berbakti kepada orang tua, Rasul SAW memberikan tuntunan. Seseorang pernah datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, “Ya Rasulullah, siapa yang lebih berhak aku pergauli secara baik?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasul, “Ayahmu, lalu orang-orang terdekatmu dari yang paling dekat.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
WalLau a’lam bi ash-shawab. [] abi

Jumat, 06 Mei 2016

Wahai Para Anak-anakku

Mengingat masa kecil adalah masa dimana semua hal akan muda, kasih sayangpun didapatkan begitu gampangnya, namun itu semua tidak untuk saya ketika masih kecil.  Disamping karena waktu itu belum paham apa itu masa kecil, masa kanak-kanak, juga tidak dapat akses yang luas seperti saat ini.  saat ini anak-nakan baru beberapa bulan saja sudah pergang HP, LapTop, Gadget, bahkan sudah diperdengarkan suaranya sejak baru lahir.  Maka perbedaan itu sangat aku rasakan.  apa lagi waktu usia sekolah kenal aja dengan yang namanya HP tidak perna, tapi sekarang sudah menjadi tren bagi anak-anak, misalnya ada tugas dari gurunya untuk mencari lewat internet, android, Gadget, dsb.   Tapi itulah perubahan.  setiap masa punya kejayaan masing-masing.  semoga dengan adanya semua itu tidak menjerumuskan anak-anakku sekalian.  Wahai para orang tua sebagai pengayam anak-anaknya didik mereka di rumah, beri kasih sayang yang tulus ikhlas kepada anak-anaknya agar mereka kelah jadi harapan orang tuanya.  wahai para guru dimanapun anda berada, sebagai pendidik, didiklah anak-anak kita dengan penuh kesungguhan, penuh tanggungjawab karena mereka sudah dititipkan oleh orang tuanya ke sekolah-sekolah.   Tugas kita adalah amanah dari Tuhan AllahSWT.  Jangan membiarkan mereka terlantar, jangan menakut-nakuti mereka, jangan dikasari tapi beri ia kelembutan, kasih sayang, perhatian.  Karena mereka sangat mengharapkan perhatian.  Agar mereka kelak jika kalian para guru tidak berada didekat mereka maka mereka akan merindukanmu, mencarimu bahkan mengharapkanmu.
        Kekuatan adalah cinta dan kasih sayang, seperti kita sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah Azza Wajallah, karena kasih sayang Allah kita diberikan karuniahNya yang tak terbatas.

Pengumuman UN 2016

Salakan - Perayaan kelulusan sekolah identik dengan aksi corat-coret seragam oleh para pelajar. Kini, setelah nilai ujian nasional (UN) tidak lagi menjadi syarat mutlak kelulusan, diharapkan para siswa tidak berlebihan dalam merayakan kelulusan mereka.
Direktur SMA di Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasamen), Kemdikbud, Purwadi mengingatkan, para siswa bisa merayakan momen kelulusan dengan cara yang lebih terpuji.
"Para siswa supaya lebih sopan dalam merayakan kelulusan, tidak perlu hura-hura. Misalnya, ketimbang mencorat-coret seragam sekolah, lebih baik menyumbangkannya ke orang yang membutuhkan," ujarnya, belum lama ini.
Selain itu, kata Purwadi, Kemdikbud juga sudah memberikan imbauan kepada para pimpinan Dinas Pendidikan (Disdik) bagi para siswa untuk merayakan kelulusan mereka dengan cara yang wajar. Termasuk juga tidak perlu konvoi usai pulang sekolah.
"Kemdikbud sudah menghimbau siswa melalui Dinas Pendidikan di semua wilayah supaya menjaga kesopanan dalam merayakan kelulusan," tambahnya.
UN jenjang SMA/sederajat dengan metode paper based test (PBT) dan computer based test (CBT) dihelat 4-12 April. Pengumuman hasil UN dijadwalkan pada 7 Mei. Saat ini, hasil UN 2016 sudah diserahkan ke panitia SNMPTN 2016 sebagai salah satu pertimbangan seleksi calon mahasiswa di tiap PTN.
Secara etika pun budaya coret-mencoret itu adalah budaya hedonisme yang munculnya itu dari barat, maka hal tersebut tidaklah pantas dilakukan oleh para siswa, dan itu menodai sistem pendidikan nasional.  sebaiknya jika pakaian seragam disumbangkan kepada adik-adik kelasnya. dan pasti mereka sangat membutuhkan.  semoga bermanfaat.......

Selasa, 03 Mei 2016

pendidikan hari ini

Melihat sejarah masa lalu, para pejuang pendidikan talah berusaha untuk memperjuangkan bagaimana pendidikan di masa depan terutama untuk anak-anak bangsa....... namun yang tercatat dalam sejarah hanyalah segelintir orang yang dianggap sebagai pahlawan nasional, seperti yang kita kenal Ki Hajar Dewantara.  Pada hal apakah hanya dia yang pantas menjadi aikon perjuangan dalam bidang pendidikan, bagaimana dengan para kiyai, para ulama, para pejuang islam yang lainnya.   Apakah ini karena dipengaruhi oleh pelaku sejarah masa lalu. jawabannya adalah ya.  bahkan para pelaku pendidikan, pemerhati pendidikan merujuk pada negera-negara barat yang membawa berbagai masalah dalam seluruh linih, Misalnya terkait dengan Akhlak mereka, bahkan agama mereka tidak jelas..... pada hal dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia selalu berkaitan dengan Akhlak Mulia, Iman dan Iptek.  Kenapa kita harus berkiblat kepada mereka?  Tidakkah cukup sistem pendidikan yang telah melahirkan begitu banyak prof, Dr. Master, Sarjana, Diploma, Dll.

Bismillah

Dengan Nama Allah, melakukan sesuatu yang baik harus diawali dengan ucapan Basmala, karena dengan ucapan itu adalah maka ......amalan kita akan dicatat oleh Allah sebagai satu kebaikan.